Oleh: Ali Abubakar Aman Nabila
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada dirinya (QS. Ar-Ra`du: 11).
BAGAIMANA Urang Gayo menghadapi hidup? Apakah takdir dipahami sebagai posisi manusia yang pasif menunggu dan menerima apapun yang akan dialaminya atau bersikap aktif menciptakan “takdirnya” sendiri? Ini penting dijawab karena secara umum wilayah Tanoh Gayo, baik Aceh Tengah maupun Bener Meriah, tergolong wilayah yang angka kemiskinannya tinggi di Aceh.
Tulisan ini melihatnya dari sudut pandang falsafah hidup yang terekam dalam beberapa peri mestike. Ada peri mestike yang cukup tegas, juga ditemukan yang bernada lebih lembut. Yang sangat kuat semangatnya adalah ari atu ipecah, ari tutu ibelah (batu pun dipecah, alu pun dibelah). Maknanya, untuk mempertahankan kehidupan, satu hal yang amat berat pun harus dilakukan. Rejeki harus dicari, tidak ditunggu dengan berpangku tangan. Yang agak lebih lembut dimuat dalam peribahasa, ike gere penah munekar ni puting, enti harap emping kirimni jema. Kalimat yang semakna adalah suk mulo seme kati lale munatang bili. Artinya, keberuntungan baru diperoleh setelah sebelumnya mengeluarkan modal, baik tenaga maupun benda, dana, atau bentuk partisipasi non-bendawi. Jika hal itu tidak ada, maka kita tidak dapat berharap akan ada keberuntungan.
Kesungguhan berusaha dalam falsafah Urang Gayo dapat dipahami juga pada pernyataan “jema jemen”, beluh bertunung, osop berperah. Artinya, suatu pekerjaan harus dilakukan karena ada tantangan. Dengan kata lain, setiap tantangan hidup harus dihadapi. Itulah hidup yang sesungguhnya. Sebaliknya, orang yang tidak mau menghadapi tantangan hidup, alias tidak mau berusaha diungkap dengan perumpamaan murip orop munyungkuhi langit, mubereti bumi. Nasehat ini bermakna hidup jangan sampai menjadi beban bagi orang lain; tidak ada manfaatnya sedikitpun bagi orang lain. Di masa modern, peribahasa tersebut dikuatkan dengan apiknya oleh para seniman, misalnya, isesilen pumuni baju, tetahi dirimu (A.S. Moese), ike kenak murip derajat tinggi, perah kin diri kune kin jerohe (Arita Bujang).
Pepatah petitih yang amat bijak di atas bukan sekedar gubahan para ahli adat Gayo pudaha, tetapi mengandung pesan-pesan ilahiah dan nabawiyah. Banyak sekali ayat al-Qur`an dan hadis Nabi yang memerintahkan kita mempergunakan akal pikiran semaksimal mungkin dan agar bekerja keras terus menerus. Merujuk ke hadis, Nabi menyatakan, makanan terbaik adalah makanan yang dihasilkan dari pekerjaan tangan sendiri (HR. Jamaah). Dalam hadis riwayat Ahmad disebutkan, Sesungguhnya Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bekerja.
Jika demikian, maka bekerja keras adalah bagian dari hidup, bahkan hidup itu sendiri. Tanpa kerja keras, tidak mungkin hidup lebih baik akan dapat diperoleh, kecuali ketol udah mujadi nege.
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, tentu Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah. Kemudian diberikannya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. At-Taubah [9]: 105).[]
*Penulis adalah dosen Filsafat Hukum Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh.