Oleh: Ir. Muhammad Sragafa, M.Pd., M.Si. *)
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dengan sangat terang telah dinyatakan didalam peraturan perundang-undangan kita yang di awali dari Undang-undang Dasar 1945, dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Di dalam ketentuan perundangan terakhir ini jelas dinyatakan hak dan kewajiban Pemerintah mulai dari Pemerintah Pusat sampai ke Pemerintah Kabupaten/Kota. Malah dari segi pendanaan, di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen beberapa kali itu dengan jelas dinyatakan bahwa biaya untuk penyelenggaraan pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi dibebankan kepada pemerintah minimal sebesar 20% dari total anggaran APBN atau APBD.
Pendidikan tinggi sebagai bahagian dari penyelenggaraan pendidikan telah menjadi obsesi bagi beberapa daerah untuk penyelenggaraannya guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia masyarakatnya, terutama sekali bagi aparatur pemerintah yang bekerja di pemerintahan daerah setempat. Hal ini mengingat aparatur pemerintah yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi sangat terikat dengan berbagai ketentuan seperti jarak tempat pendidikan dan ketentuan tentang kewajiban jam kerja, pertimbangan jabatan dan berbagai pertimbangan lainnya. Namun berdasarkan berbagai sisi pandang bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh yayasan yang dikelola oleh masyarakat dan pemerintah daerah memberi dampak dan manfaat positif bagi peningkatan kualitas hidup individu dan kinerja aparatur pemerintahan sehingga penyelenggaraan pendidikan tinggi menjadi sesuatu hal yang wajar untuk difasilitasi.
Euporia otonomi daerah berimplikasi kepada penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Banyak pemerintah daerah memanfaatkan kesempatan ini dengan mendirikan perguruan tinggi di daerah, baik yang dikelola oleh yayasan milik pemerintah daerah ataupun mendorong yayasan milik masyarakat untuk ikut berperan dalam pendidikan tinggi dengan komitmen sesuai dengan aturan yang berlaku.
Kabupaten Aceh Tenggara yang lahir berdasarkan Undang-undang Nomor 74 Tahun 1974 dengan julukan Bumi Sepakat Segenep tidak ketinggalan memanfaatkan momen ini. Tahun 1993 Kabupaten Aceh Tenggara yang kala itu dimpimpin oleh Drs. H. Syahbudin BP mendirikan Perguruan Tinggi Gunung Leuser Kutacane di bawah bendera Yayasan Pendidikan Gunung Leuser Kutacane, dengan didukung oleh Ir. H. Hasanuddin B sebagai dewan penyantun/dewan kurator yang kala itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh Tenggara. Dibantu oleh beberapa tenaga muda yang potensial, akhirnya terwujud dua perguruan tinggi yaitu Akademi Manajemen Gunung Leuser dan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Gunung Leuser Kutacane.
Keinginan pimpinan daerah kala itu mendirikan perguruan tinggi adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa khususnya masyarakat Aceh Tenggara, dan ternyata dalam perkembangannya perguruan tinggi ini semakin maju dan pengelola sendiri yaitu Yayasan Pendidikan Gunung Leuser Kutacane yang notabene adalah milik Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara pun sering mendapat goyangan oleh pihak-pihak tertentu yang dikait-kaitkan dengan politik. Terobsesi oleh keinginan yang besar untuk mencerdaskan bangsa, regenerasi pimpinan daerah juga secara alami terus bergulir dan, apakah obsesi awal itu masih melekat di benak pimpinan daerah? Saat ini Aceh Tenggara dipimpin oleh Ir. H. Hasanuddin B, MM, yang pada awal pendirian Perguruan Tinggi Gunung Leuser Kutacane adalah sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Aceh Tenggara. Kenyataan saat ini, setelah dua puluh tiga tahun berdiri, dan setelah H. Hasanuddin B menjadi bupati sejak tahun 2007 yang lalu dan priode terakhir berpasangan dengan H. Ali Basrah sebagai Wakil Bupati yang memang berasal dari dunia pendidikan, ternyata perguruan tinggi ini terus menggeliat, berbenah, dan kepercayaan masyarakat untuk memasukinya semakin tinggi. Saat ini sudah ribuan mahasiswa yang sedang menuntut ilmu disini dengan fasilitas gedung ruang kuliah berlantai dua sebanyak 5 unit masing-masing delapan ruang belajar, kantor akademik, perpustakaan, laboratium komputer, laboratorium biologi dan fasilitas olahraga. Bupati selaku ketua dewan pembina yayasan juga terus terobsesi meningkatkan kualitas tenaga pengajar sehingga tahun ini dikirim 20 orang untuk mengikuti Program S2 (Magister) di luar daerah dan tahun 2017 direncanakan akan dikirim mengikuti Program Doktor (S3). Saat ini Universitas Gunung Leuser Kutacane telah memiliki dosen tetap yayasan dan dosen dpk Kopertis berjumlah 75 orang dengan pendidikan S2 (Magister) sebanyak 73 orang dan 2 orang berpendidikan S3 (Doktor) dengan rasio dosen dan mahasiswa telah sesuai aturan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa begitu banyak dampak positif yang muncul dengan keberadaan perguruan tinggi ini yang awalnya hanya ada dua perguruan tinggi, saat ini sudah menjadi empat fakultas yang telah bermetamorfosa menjadi Universitas Gunung Leuser sejak tanggal 13 Maret 2011 yang lalu melalui surat keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41/D/O/2011. Sebahagian obsesi pendiri, yang saat ini menjadi pimpinan daerah, belum sepenuhnya terpenuhi. Keinginan untuk menjadikan Universitas Gunung Leuser Kutacane menjadi icon dan kebanggaan daerah masih terus bergulir. Dukungan semua pihak seperti legislatif, eksekutif, pengelola dan mahasiswa, menjadi sesuatu hal yang harus dan wajib. Lulusan yang sudah mencapai angka ribuanalumni dan berada pada berbagai posisi jabatan strategis di pemerintahan, pembangunan fisik yang demikian gencar, serta berbagai perhatian yang diberikan lainnya, belumlah memenuhi dahaga obsesi yang begitu besar dari pemerintah daerah, mahasiswa dan masyarakat.
Dalam perjalanan waktu yang terus bergulir, proses alami dan ilmiah terus berjalan. Kegiatan akademik dan akreditasi, pengelolaan kelembagaan, pembangunan fisik dan pembangunan SDM tenaga pengajar adalah obsesi yang tetap harus terwujud. Obsesi terbesar yang ingin diraih adalah bagaimana Universitas Gunung Leuser menjadi sebuah Perguruan Tinggi Negeri di wilayah tengah Aceh yang memang harus menjadi pemikiran pimpinan daerah yang mengerti arti pendidikan. Semoga komitmen obsesi pimpinan daerah ini terus mengkristal untuk menjadikan daerah bermartabat, dan bukan hanya sekedar komitmen, tetapi adalah sesuatu yang menjadi wajib untuk dilaksanakan sehingga kecintaan mahasiswa dan masyarakat akan semakin tulus kepada almamater, tentunya juga kepada pemimpinnya demi kemajuan daerah yang bermartabat. Semoga….
*) Penulis adalah pemerhati pendidikan di Aceh Tenggara