Lelaki Berawis Öpöh Kerüng

oleh

Oleh; Junaidi A. Delung

Junaidi A DelungDALAM sebuah cerpen buku antologi dengan judul “Perempuan Berjangkat Utem” karya Salman Yoga S dan kawan-kawan, terlihat cover buku dan kisah seorang wanita tua tengah berjalan menggendong kayu bakar dari hutan untuk dibawa ke rumah. Sebagai bahan bakar utama untuk memasak makanan bagi keluarganya. Dari gambar dan kisah yang dilukiskan sangat benar adanya, ketika orang-orang Gayo tempoe doeloe menggunakan alat sederhana itu untuk membawa kayu bakar (Utem) di atas punggungnya.

Dari gambaran tersebut penulis sedikit ingin menukil sebuah antologi cerpen yang pada faktanya masih banyak digunakan di daerah dataran tinggi Gayo, terutama di kampung-kampung pinggiran dan di perkebunan-perkebunan kopi rakyat. Bagi kaum lelaki, benda yang sama berupa jangkat (Gayo; tali rajutan dari kulit kayu keréténg) tali pengangkat, digantikan oleh kain sarung sebagai penggantinya.

Hal tersebut dimanfaatkan sebagai wadah berbagai perbekalan atau berbagai perlengkapan yang akan dibawa kesuatu tempat, atau sebagai kelengkapan bekal bagi pejalan kaki yang menempuh jarak hingga beberapa jam bahkan berhari-hari. Keberadaan awis öpöh kerüng bagi sebagian besar lelaki Gayo yang hidup di pedalaman adalah suatu hal yang sangat lumrah, bahkan telah menjadi simbol budaya sekaligus simbol perjuangan kerasnya hidup. Berikut ilustrasi dari perjuangan seorang ayah / Ama yang berawis öpöh kerüng untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya;

Di pagi yang dini sekali tepatnya di sepertiga terakhir malam, seorang lelaki tua bangun lebih awal dan ditandai ayam berkokok yang menandakan akan terbitnya fajar. Ia kemudian keluar menuju sebuah sumur kecil yang tidak jauh dari rumahnya guna mengambil air wudhu untuk menunaikan ibadah shalat tahajud.

COver Berjangkat Utem

Perlahan-lahan ia bilas, tetesan air jatuh ke bumi yang akan menjadi saksi bisu. dimana suatu saat nanti akan bermanfaat bagi dirinya terutama bagi orang-orang yang senantiasa membiasakan dirinya berwudhu. Secara perlahan dari telapak tangan, berkumur, membersihkan hidung, muka hingga ujung kaki sesuai rukun wudhu yang telah ditentukan. Setelahnya ia menengadahkan kedua tangan, mengahadapkan muka kearah kiblat dengan membaca doa.

Ia kemudian masuk rumah kembali melakukan shalat tahajud. Shalat yang dimana pernah diwajibkan oleh Allah SWT sebelum datangnya perintah shalat lima waktu.

“Tikk,,tikk,,tikk,,,” suara jam berbunyi, waktupun terus berjalan, jarum pendek mulai bergerak pelan-pelan kearah angka pukul 5 pagi. Menandakan shalat subuh sudah bisa ditunaikan. Segala rukun shalat dan kewajibanpun sudah ia tuntaskan dengan lapang dada dan keridhaan hatinya. Selesai ia bersujud menghadap sang Khaliq, kembali ia sejenak mentadaburri firman Allah sebagai pedoman sekaligus tiket hidup umat Islam di alam abadi nanti.

Usai sudah semua kewajiban diwaktu pagi hari itu. Sebelum ia berangkat menuju tempat pengabdiannya kebun kopi, yaitu tempat pengharapan masa depan orang Gayo. Ia kemudian menikmati sekejap hidangan kopi sehat yang menurut pakar penelitian, kopi tersebut tiada bandingannya di dunia, yaitu kopi Gayo. Secangkir kopi dengan setia menemaninya hingga selesai.

Selain menikmati rasa kopi sehat, juga ditemani hidangan sejuknya udara alam yang begitu segar dan sehat yang menghembus dan membelai tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki sambil melihat pemandangan senja dipagi hari. Renungan dan ide-ide membuat ia melangkah maju memikirkan dan beimajinasi untuk masa depan yang cerah dan tentram.

Sebelum matahari terbit menerangi bumi, segala persiapan menuju kebunpun sudah kelar adanya, dimana akan dilapis dengan salah satu alat penutup tubuh manusia ketika shalat, yaitu Opoh Kerong (kain Sarung) sebagai tempat atau wadah, dimana segala bekal peralatan makanan yang akan dibawa kekebun.

Awis namanya, yang dalam kamus bahasa Indonesia ialah memangkul. Setelahnya, Persiapanpun dilakukan dan dimulai dibebankan ketubuh. tapak demi setapak keluar dari pintu rumah menuju arah kekebun jauh (empus gip atau rebe). Puluhan kilo meter ia tempuh. Menghibahkan dirinya menerjang krikil dan serta bebatuan sepanjang perjalanan. Tanpa menggunakan keletek (Gayo=sandal) apa adanya, ia lalui perjalanannya dengan santai. Menaiki tanjakan yang tinggi, menerpa banyaknya tikungan, penurunan, melewati barisnya gunung-gunung disepanjang perjalanan.

Tidak ada mengenal lelah, ia terus berjalan dengan membawa bekal yang semakin berjalan-semakin terasa beratnya. Keringat yang mengalir tidak bisa dipungkiri lagi. Sedikit demi sedikit badan mulai diguyuri keringat hingga basah. Tak terkecuali, kulit hangus dalam melawan terik matahari.

Terkadang, pinggul yang tadinya tidak berbekas, kini harus ada yang berbekas melihat panjangnya perjalanan. Namun ia tidak pernah merasa sakit sedikitpun dan tidak pernah mengeluh bagaimana sedihnya hidup dan perjuangan yang selema ini ia usahakan.

Umur yang sudah renta harus sepenuhnya menafkahi keluarga. Anak yang dibesarkan, sehari-hari semakin tumbuh remaja. Perbekalan harus tetap dicari demi sang buah hati dan keluarga tercinta. walau berada pada posisi yang sangat tidak memungkinkan, ditambah dengan perjalanannya yang begitu jauh, yang dibebani lagi dengan bekal makanan dalam sarung yang dipinggul hingga sampai membekas.

Sungguh ia memperjuangkan segala hidupnya menentang panasnya terik matahari, diguyuri hujan, dan mendaki gunung hanya dengan tapak kaki. Kadang kala ia harus jatuh, lantaran licinnya jalan, kadangkala ia terluka karna tajamnya krikil yang dilalui dan kadangkala ia harus mendapat kesakitan lantaran jauhnya perjalanan yang ditempuh, betis, paha, dan seluruh tubuh tidak tahu lagi bagaimana rasanya (gere tebetehi sakete neh). Letih, lelah senantiasa menerjang tubuh yang renta itu, semua demi dan untuk hidup masa depan.

Beberapa jam perjalanan sampailah ia di kebun. Sepanjang perjalanan panjang sejenak istirahat ia harus tidur beberapa malam, sendiri, masak sendiri tanpa ada yang bisa membantunya. Ketika malam datang ia tidak mempunyai teman bicara selain mendengarkan suara seset (jangkrik malam) disetiap malamnya.

Sejenak ia membaringkan diri, tiba-tiba datang masalah lain mengahampiri tubuh. Terkadang demam datang, flu, kelelahan tingkat tinggi dan lain sebagainya. Semua itu ia tahan dan ia tanamkan dalam jiwa. Yang pastinya ia akan tetap lakukan perkerjaannya yang mulia itu dengan semangat yang berkobar tinggi. Mengingat keluarga dan anak-anaknya yang sangat membutuhkan makanan untuk melanjutkan hidup dan segala apapun tetap ia perjuangkan.

Dipagi harinya ia dikebun, harus kembali bangun cepat dan segera mengarungi kewajiban-kewajiban yang ia pikul. Kembali menikmati kopi yang hangat yang menemaninya dipagi hari. Bekerja sendirian, melakukan apapun yang dapat menghasilkan rezeki, baik dalam jangka panjang hasil yang dipetik atau bahkan dalam jangka pendek. Semua sesuai dengan ketentuan dan hasil yang didapatkan.

Disatu sisi, ia tidak membawa hasil ke rumah, namun hanya sebatas badan dan keringat yang bercucuran. Dari perjalanan mendaki dan menuruni gunung dan perbukitan puluhan kilo meter. Terkadang ada pula ia harus pergi dan pulang membawa badan saja.

Apa yang hendak mau dikata, apapun yang menjadi cobaan hidup memang sudah ketetapan yang diberikan Allah SWT. Kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Segala apa yang diberikan semata hanya ujian dari bentuk kepedulian terhadap hamba-Nya yang shaleh.

Masyarakat Gayo mempunyai sejarah tersendiri dalam kehidupan sehari-hari. Dari banyaknya Budaya dan seni, menjadi suatu keharusan dan keberagaman yang bisa diperhatikan dan menjadi contoh dalam kehidupan. Disamping menjadi sejarah juga menjadi kisah nyata dalam pribadi-pribadi orang Gayo itu sendiri, terutama dalam mencari nafkah untuk keluarga tercinta. Harus jauh dan mendaki gunung dan mengahadapi berbagai rintangan serta perjuangan-perjuangan yang luar biasa. Jika dibandingkan dengan zaman sekarang, kisah perjuangan hidup pada masa lalu orang Gayo sangat menjadi sejarah yang tidak bisa dilupakan.[]

*Junaidi A. Delung adalah mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, putra Gayo kelahiran Kampung Delung Kabupaten Bener Meriah. Bergiat dalam dunia kepenulisan dan menjadi salah seorang kontributor media LintasGayo.co.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.