Apresiasi Profesi Guru

oleh

Oleh : Nurul Yaqin, S.Pd.I*

Nurul YaqinPendidikan itu ibarat rumah. Kuat tidaknya tergantung tiang penyangganya. Rumah akan mudah roboh jika tidak ditopang dengan tiang yang kokoh. Begitu juga pendidikan, akan mengalami kemunduran jika tidak didukung dengan pondasi dan tiang yang kuat. Pondasi atau tiang di sini adalah guru. Iya, guru sebagai aktor utama dalam pendidikan.

Sebuah lembaga pendidikan dengan sarana dan prasarana yang sederhana dan seadanya, proses pembelajaran akan tetap berjalan selama ada guru sebagai pemeran utama. Sebaliknya, walaupun lembaga pendidikan dengan fasilitas yang memadai, tetapi tidak ada guru yang bisa mengajar anak didiknya, maka proses pembelajaran tidak mungkin terlaksana. Oleh karena itu, setiap pembahasan pendidikan tidak akan lepas dari peran sentral seorang guru.

Namun, saat ini profesi guru bukan lagi sebuah profesi yang prestisius. Menjadi guru bukan lagi hal yang diidam-idamkan. Salah satu bukti sederhana, jika kita bertanya kepada anak kecil apa cita-cita mereka. Mayoritas mereka akan menjawab ingin menjadi dokter, pilot, dan profesor dari pada sekedar menjadi guru.

Bahkan, akhir-akhir ini profesi yang bergelar pahlawan tanpa tanda jasa ini sering kali dihadapkan dengan ranah hukum. Dari kasus ibu Nurmayani Salam yang ditahan lantaran mencubit siswanya. Aop Saipudin, guru SD di Jawa Barat yang dicukur rambutnya oleh wali murid karena memotong rambut anaknya yang gondrong. Hingga kasus pemukulan oleh orangtua murid terhadap Dasrul, guru SMKN 2 Makassar, Sulawesi Selatan. Ini adalah bentuk pelecehan terhadap martabat dan profesi guru.

Berbeda dengan profesi guru pada awal-awal kemerdekaan. Profesi guru saat itu menjadi profesi yang sangat terhormat. Bahkan di Jawa sebutan “mas” dan “pak” guru mengandung arti sebuah penghormatan yang mendalam terhadap guru. Di desa-desa guru termasuk golongan priayi yang segala ucapannya didengar oleh masyarakat khususnya mengenai pembangun desa serta permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya. Maka, tak mengherankan jika saat itu mayoritas orang tua berharap anaknya kelak menjadi seorang guru dan bangga bila mempunyai menantu seorang guru. (Darmaningtyas, 2015)

Nasib Guru

Selain kasus-kasus yang menggiring guru ke meja hijau, permasalahan guru (honorer) masih saja terfokus kepada rendahnya kesejahteraan, prestasi, dan penghargaan terhadap profesi guru. Rendahnya gaji guru merupakan permasalahan kolektif dan abadi. Bahkan, tahun kemarin guru honorer swasta di Depok belum menerima gaji selam 9 bulan. Sehingga DPRD kota Depok mendesak pemerintah untuk segera mencairkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pada tingkat madrasah tsanawiyah dan aliyah (SindoNews, 11/09/2015).

Menyikapi permasalah ini setiap guru mempunyai beragam pandangan yang didasari oleh berbagai macam latar belakang, khususnya latar belakang ekonomi. Bagi guru yang mempunyai latar belakang ekonomi yang cukup, tentu ini bukan persoalan yang serius. Tetapi, bagi guru yang memiliki latar belakang pas-pasan, ini merupakan persoalan mendasar. Mereka menggantungkan nasib terhadap profesi keguruannya. Penghasilan satu-satunya hanya berasal dari profesinya. Rendahnya gaji guru yang tidak sebanding dengan harga-harga barang yang selalu naik mengakibatkan nasib guru semakin menyedihkan sehingga mengerdilkan semangat dan etos kerja mereka.

Guru yang berasal dari luar daerah atau jauh dari tempat sekolah mengajar, mereka akan menyewa (kost) rumah. Hal ini menjadi beban baru bagi seorang guru. Terpaksa dengan gaji yang kecil mereka harus gali lobang tutup lobang. Jika kondisi demikian, maka fokus kepada peningkatan sekolah pun hilang. Pada akhirnya murid menjadi korban. Murid yang seharusnya memperoleh hak belajar yang layak justru terbengkalai karena faktor guru yang minim kesejahteraan.

Belum lagi, sistem rekrutmen guru yang selalu dibumbui dengan praktek kolusi dan nepotisme sudah menjadi habit yang tak tabu. Guru berusaha semaksimal mungkin agar diangkat menjadi guru PNS walaupun dengan uang pelicin yang berasal dari menjual tanah warisan dan meminjam ke bank. Sehingga sistem pengrekrutan guru terkesan “jual-beli jabatan”. Pola penyaringan guru yang demikian akan menyulitkan guru berkualitas tapi miskin. Di negeri ini hanya yang berdompet tebal yang bisa memperoleh jabatan, termasuk jabatan guru pegawai negeri.

Akibatnya mereka terjebak pada praktek utang-piutang. Imbasnya, ketika guru pertama kali masuk kelas dan berdiri di depan siswa, mereka bukan berfikir untuk meningkatkan profesionalitasnya. Tapi, dibayangi oleh jumlah utang yang harus dilunasi. Mereka berfikir untuk memperoleh masukan tambahan agar bisa mencukupi kehidupan keluarganya.

Selamatkan Guru!

Untuk mengatasi permasalahan guru yang tak kunjung usai, ada beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama, guru sebagai orang yang paling berjasa dalam membimbing anak didik, sudah sepatutnya memperoleh apresiasi yang tinggi dari masyarakat dan wali murid, bukan malah sanksi hukum yang disebabkan oleh masalah sepele. Jangan sampai moral guru runtuh, kepercayaan dirinya terkikis, semangat mendidik anak murid menjadi rapuh. Apabila guru sampai melepaskan profesi keguruannya lantaran kasus-kasus yang menimpanya, maka alangkah ruginya bangsa ini.

Kedua, membenahi sistem rerutmen guru yang di dalamnya terdapat praktek kolusi dan nepotisme agar tidak melahirkan beban ekonomis bagi para guru. Alangkah baiknya jika rekrutmen ini dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan secara langsung. Karena bisa meminimalisir kecurangan dari pada rekrutmen guru yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.

Ketiga, pemerintah seharusnya menyederhanakan sistem pengangkatan PNS, peningkatan karir, dan kenaikan golongan. Agar para guru tidak ditambahi dengan beban keuangan yang bisa menggaggu keefektifan tugasnya.

Keempat, kesejahteraan guru yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Khususnya guru honorer. Mengingat pengabdian mereka yang begitu besar dalam mencetak generasi masa depan. Ketika guru dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik (the best service) bagi anak didik, maka sebagai timbal- baliknya kewajiban pemerintah untuk memberikan kesejahteraan yang lebih baik.

*Nurul Yaqin, S.Pd.I, asal Sumenep, Madura, keseharian berprofesi sebagai penulis dan pendidik di Pesantren Terpadu Daarul Fikri, Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat. Email : mutiarayaqin[at]gmail.com

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.