Oleh: Ali Abubakar Aman Nabila
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS. an-Nisa: 58)
CANANG Pilkada sudah ditabuh. Setiap pasangan calon sudah mulai menebar pesona dan janji, silaturrahmi dan blusukan mulai diaktifkan lagi, termasuk “bagi-bagi” bermacam barang, bahkan uang. Semua hal itu dilakukan tentu saja untuk meraih simpati yang berujung pada satu kali tusukan paku ukuran 6 inchi pada gambar calon reje tersebut.
Di antara hal yang sangat penting sebagai bahan kampanye merebut hati pemilih adalah janji-janji jika kemenangan dapat diraih oleh sang calon. Janji ini biasanya berisi pembangunan yang merata, perbaikan jalan, renovasi masjid atau mersah, pencetakan sawah baru, pemasaran hasil pertanian yang lebih menguntungkan petani, pengembangan jenis tanaman baru untuk pertanian atau perkebunan, sampai janji pengajian rutin di kampung, pengadaan alat-alat kasidahan dan segudang kosa kata lain yang mungkin dipakai dan diidamkan oleh masyarakat.
Peri mestike juga menyebar cantik pada baliho atau selebaran, mendampingi foto-foto cerah para calon. Inilah yang disebut dengan beranyang delah alias bersilat lidah.
Dalam momen-momen seperti ini, para calon seringkali berubah menjadi Ratu Adil yang datang untuk memberikan keselamatan dan menyelesaikan semua persoalan masyarakat yang dihadapinya. Namun demikian, sering kali juga peran Ratu Adil itu segera hilang setelah kekuasaan ada di tangan.
Pilkada benar-benar dijadikannya sebagai panggung ilusi. Janji-janji menjadi sejarah hikayat yang dibaca setiap kampanye, tanpa pernah terealisasi. Sang tokoh kembali ke karakter aslinya. Urang Gayo menyebutnya asam perege gembali ku asam pepok. Posisinya menjadi seolah tidak pernah muncul di tengah masyarakat. Keberadaannya tidak lagi membawa manfaat apapun bagi para pemilih yang telah menggantungkan banyak harapan padanya. Arae gere kin penggenap, beluhe gere kin penesoh. Orang Arab menyebutnya dengan ungkapan wujuduhu ka`adamihi (adanya sama dengan tidak adanya).
Inilah tipe orang yang tidak layak menjadi reje Gayo. Dapat dipastikan ia tidak akan membawa ketenteraman dalam masyarakat. Sebaliknya, ia akan membuat kerlop, bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga kerlop untuk dirinya. Yang ia bawa bukan kedamaian dan kesejahteraan, tetapi pertikaian dan malapetaka. Cogah ini ni karu, tipu munemah mara.
Harapan kita pada para calon reje, kembalilah pada falsafah Urang Gayo: Amanah enti i pepari, janyi enti orop dikekata. Ini bukan hanya sebuah peri mestike yang menjadi bahan melengkan para ahli adat. Ini adalah “pembudayaan” kalimat Tuhan: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Sungguh, amat besar murka Allah jika kamu mengatakan sesuatu yang tidak pernah kamu kerjakan” (QS. Ash-Shaf: 2). Bekerja dan berkaryalah untuk umat; masyarakat tidak perlu mengumpulkan banyak kata janji.
Bagi pemilih, kita berharap mereka akan menyerahkan amanah pada yang berhak menerimanya. Jika tidak, maka kita akan termasuk pada orang yang diprediksi Nabi Muhammad sebagai golongan yang akan mukerlop: “Jika suatu urusan sudah diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran” (Hadis).[]
Penulis adalah Dosen Filsafat Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh.