Oleh : Dr. Johansyah, MA*
Dulu di tahun 80 dan 90-an, peminat madrasah tidak terlalu banyak. Para orangtua murid lebih memilih anaknya masuk ke sekolah umum. Alasannya tidak begitu jelas. Tapi yang jelas, ada sebuah asumsi bahwa kalau anaknya masuk ke sekolah umum, kesannya lebih bergengsi ketimbang masuk ke madrasah. Jadi bisa dikata madrasah adalah pilihan kedua. Orang baru masuk madrasah jika memang tidak tertampung lagi di sekolah umum.
Sekitar beberapa tahun terakhir, kondisinya terbalik, madrasah mulai mendapatkan tempat di masyarakat. Madrasah mulai diminati banyak siswa, baik pada jenjang ibtidaiyah, tsanawiyah, maupun aliyah. Sekolah umum yang dulunya ramai peminat, eh malah sepi penggemar. Kondisi ini tidak hanya menimpa jenjang sekolah dasar, tapi juga menengah pertama dan atas.
Saat berkunjung ke tempat tugas saya dulu (SMP Negeri 13 Takengon) beberapa waktu lalu, sempat berbincang-bincang dengan rekan saya yang menjabat wakil kepala sekolah di SMP tersebut. Saya tanyakan berapa jumlah murid barunya? Ternyata hanya 20-an siswa. Kalau dibanding dengan jumlah murid baru ketika saya masih aktif mengajar dulu di sana, jumlah peminatnya jauh menurun. Dulu paling tidak ada sekitar 50 sampai 60-an murid baru. Berarti sekitar 60% peminat berkurang.
Kondisi yang sama juga dialami oleh salah satu SMA di Takengon. Menurut penjelasan salah satu guru senior di sana, dulu banyak sekali peminatnya sampai-sampai banyak yang tidak bisa ditampung karena kondisi ruangan yang tidak memadai. Sekarang justru berbalik kondisinya, banyak kelas-kelas yang tidak terpakai karena siswanya tidak seramai dulu.
Sebaliknya, di madrasah kondisi sekarang jauh berbeda. Menurut penjelasan salah satu pimpinan di MTsN 1 Takengon, peminatnya tahun ini luar biasa ramai. Sayang, mereka tidak dapat menampung semuanya karena keterbatasan ruangan. Di madarasah-madrasah lain juga sama, ramai peminatnya. Ada peningkatan yang sangat signifikan jika di bandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bagi saya hal ini adalah fenomena baru. Kenapa masyarakat mulai ‘jatuh hati’ kepada madrasah, dan apa sih yang ‘seksi’ sehingga banyak yang tergoda? Kurikulum, sistem pembelajaran, guru, Ujian Nasional (UN), dan lain-lainnya semua tidak jauh berbeda, bahkan nyaris sama. Hanya saja madrasah berada di bawah naungan Kementerian Agama, sedangkan sekolah berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meski begitu, semua kebijakan mendasar pendidikan bersumber dari satu muara yakni Kemendikbud.
Faktor Pelajaran Agama
Beberapa orangtua yang pernah bincang-bincang dengan saya mengatakan bahwa alasan mereka memasukkan anaknya ke madrasah adalah karena ingin anaknya lebih banyak belajar agama. Memang sih, sebagaimana kita tau bahwa alokasi waktu untuk bidang studi agama di madrasah lebih banyak dibanding sekolah. Ini pula yang membedakan keduanya. Bidang studi agama pada madrasah dipecah menjadi beberapa bagian; bahasa Arab, sejarah kebudayaan Islam, aqidah-akhlak, al-Qur’an-hadits, dan fiqih. Sementara di sekolah umum semuanya digabungkan menjadi satu bidang studi agama, dan alokasinya hanya 2 jam dalam seminggu.
Berdasarkan alasan orangtua di atas tergambar bahwa; pertama, adanya keinginan agar anaknya kelak dapat memperoleh porsi pengetahuan agama dan pengetahuan umum secara berimbang. Kedua, adanya perubahan mindset para orangtua terkait pendidikan agama bagi anak mereka. Bahwa pendidikan agamalah yang menjadi fondasi anak menjadi orang yang berakhlak mulia, dan menjadi benteng dari berbagai serangan dan pengaruh kejahatan. Hal ini terkait dengan semakin maraknya tindak kejahatan di kalangan pelajar; narkoba, tauran, seks bebas, dan beberapa persoalan akhlak lainnya. Ketiga, karena keterbatasan pemahaman dan kemampuan orangtua dalam pendidikan agama sehingga mereka memasukkan anak-anaknya ke madrasah dengan harapan dapat memperoleh pengetahuan agama yang lebih banyak.
Dari aspek kognitif kemungkinan alasan-alasan di atas sah-sah saja. Bahwa anak akan lebih banyak tau dan faham tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama, terutama aqidah akhlak dan fiqih. Lalu bagaimana dengan aspek afektif (sikap) dan bagaimana mereka bisa mengimplementasikan pengetahuan agama yang diperoleh ke dalam kehidupan mereka sehari-hari?
Idealnya memang begitu, ketika orang tau bahwa shalat itu wajib maka dia akan konsisten mendirikannya. Demikian halnya dengan perintah atau larangan lain dalam agama. Realisasinya? Jelas tidak semudah yang dibayangkan. Banyak aspek yang mempengaruhi, baik keluarga, lingkungan, negara, bahkan perkembangan dunia global.
Terkait dengan pengamalan agama, beberapa orantua mengatakan pada saya bahwa memang hal ini sulit. Meski demikian, minimal mereka sudah memiliki pengetahuan tentang agama. Anak-anak tau apa dan bagaimana tata cara bersuci, wudhu, dan shalat yang benar? Apa dan mengapa sesuatu itu halal, haram, mubah, makruh, wajib, sunat? Apa dan bagaimana akhlakul karimah? Kurang lebih begitu. Dari pada mereka minim pengetahuan agama, lalu bagaimana kita menuntut dan membimbing mereka agar maksimal dalam pengamalan agama, katanya. Ya ya, saya mengangguk.
Alasan Utama
Secara umum saya menangkap bahwa alasan tingginya minat orantua menyekolahkan anaknya ke madrasah adalah karena ingin memperoleh pengetahuan agama yang lebih, dan tentu ingin anaknya berakhlak mulia. Bukankah sekolah umum juga memiliki visi yang sama dengan madrasah? Bahkan dengan tujuan pendidikan nasional? Lalu di mana bedanya? Ya di situ tadi, alokasi waktu bidang studi agama di madrasah lebih banyak. Faktor inilah yang menurut orangtua sangat mempengaruhi tingkat pemahaman dan pengamalan agama anak. Bahasa lainnya, para orangtua sudah lebih percaya pada madrasah ketimbang sekolah.
Ini adalah masalah baru pemerintah yang sebenarnya harus direspon serius. Bahwa ada pergeseran pola pikir masyarakat mengenai kurikulum pendidikan, terutama yang terkait dengan muatan bidang studi agama. Jadi sebaiknya dievaluasi kurikulumnya. Hal ini bukan berarti harus menawarkan kurikulum baru lagi, sebab bisa membosankan. Intinya bagaimana mereformulasi kurikulum agama sehingga tidak terkesan dikesampingkan oleh pemerintah, padahal itu sangat penting.
Kurikulum agama memang tidak menjadi satu-satunya faktor utama pembentukan akhlak anak, tapi banyak faktor yang mempengaruhinya. Meski demikian kurikulum agama merupakan pintu gerbang siswa untuk mengetahui dan memahami tentang ajaran agamanya. Formulasi kurikulum pendidikan agama di sekolah juga merupakan potret serius tidaknya pemerintah dalam menjadikan agama sebagai landasan utama pembentukan akhlak mulia. Wallahu a’lam.
*Johansyah adalah Dosen STIT Bustanul Arifin Bener Meriah. Email; johan.arka@yahoo.co.id.