Catatan Abdurrahman, SP*
DAHULU ketika zaman primitif, manusia mendapatkan sumber kalori dan energi dari hasil berburu hewan dan ikan, juga hasil panen tanaman liar dalam bentuk umbi-umbian, akar, buah, daun, serat, batang, dan berbagai ekstraknya. Tidak terkecuali di Gayo, khususnya tepi danau Lut Tawar, seperti manusia pra sejarah yang hidup sejak 7500 tahun lalu di Loyang Mendale dan Ujung Karang, mereka belum mengenal cara budidaya atau disebut pola ekstraktif.
Kemudian komoditi yang berpotensi sebagai sumber karbohidrat mulai dibudidayakan di sekitar tempat tinggal mereka kendati masih menggunakan alat pengolah tanah dari kayu dan batu yang sangat sederhana.
Generasi petani bertukar seiring waktu dan mereka mulai mengenal adanya cangkul, pacul, skop, parang dan sebagainya yang bersifat manual. Peralatan ini tidak terlepas dari perkembangan peradaban dan budaya suatu daerah.
Timbul juga ide pengembangan tekhnolgi tepat guna dengan memadukan alat pertanian manual ini dengan tenaga hewan sebagai penggerak. Misalnya tenaga kuda, sapi dan kerbau. Mengolah tanah terasa ringan apabila hewan peliharaan dipadukan dengan alat yang bernama Nengel dan Ceras (Gayo-red).
Dalam sejarah pangan di Indonesia, tercatat bahwa Indonesia mampu swasembada beras di tahun 1984 kendatipun alat mesin pertanian sangat berkekurangan. Inilah yang perlu kita cermati bahwa alat produksi pertanian (alsintan) itu penting tapi mungkin lebih utama dari situ adalah koordinasi antar leading sector penggerak pertanian baik saat menggulirkan program maupun menerapkan di lapangan.
Konon sekarang hampir seluruh tingkatan pekerjaan budidaya pertanian sudah menggunakan berbagai jenis alsintan yang canggih mulai dari pengolah tanah, pemupuk tanaman, penyemprot obat-obatan, pemanen super comban bahkan alat pendeteksi hama penyakit, namun harus kita kaji peluncuran alat mesin pertanian itu belum dapat menjanjikan swasembada pangan, apabila tidak adanya sinkronisasi dan koordinasi yang baik antar pihak yang terkait.
Tekhnologi ini salah satu tujuannya untuk mempercepat akses kegiatan pelaku utama di lapangan. Misalnya alat mesin tanam padi Transplanter dirancang untuk mengimplementasikan pola tanam Jajar Legowo di lahan sawah, efektif atau tidak penggunaan alat ini tergantung pada kondisi lapangan termasuk kemiringan area sawah dan ukuran petakan sawah, kapasitas kerja mesin tanam ini mampu menyelesaikan penanaman 5-6 jam/ha dengan dua orang operator.
Semua alat mesin pertanian yang diberikan kepada kelompok tani di pedesaan belum dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan, ada yang sudah menjadi besi tua dan ada juga masih terbungkus plastik belum pernah digunakan sama sekali, setelah dikonfirmasi ternyata alat yang diserahkan itu tidak disertai dengan penjelasan prosedur penggunaan di lapangan. Dengan spontan penyuluh masuk ke ranah cara pemanfaatan alat yang ada disekitar mereka.
Menerapkan tekhnologi di kalangan keluarga petani cukup sulit, butuh waktu dan bukti otentik dalam meyakinkan mereka.
Adalah kelompok tani Burkayangan yang beralamat di kampung Remesen kecamatan Silihnara Aceh Tengah telah berhasil mengadopsi tekhnologi baru setelah beberapa kali anjangsana dan pertemuan bersama Ida Yusriani SP, penyuluh TLH-TBPP yang tersandung kriteria usia pada calon Aparatur Sipil Negeri (ASN) bulan lalu.
Penyuluh yang berstatus ibu rumah tangga ini tetap bersemangat menggerakan kelompok tani di beberapa wilayah kerjanya.
Kepiawaiannya berhasil meluluhkan pola kebiasaan petani sampai terlaksana penanaman padi dengan menggunakan tekhnologi bergengsi ini. Jauh sebelum menanam petani sudah dituntun menabur benih diatas media semai berukuran 30 x 60 cm sampai dengan keadaan bibit dapat digulung dan diletakan diatas meja jari mesin tanam.
Selain petani Burkayangan koordinator BP3K Silih Nara akan memacu penyuluh lainnya menerapkan tekhnologi baru ini kepada kelompok tani padi sawah dengan memberi pengetahuan teknik persemaian benih ala Transplanter.
*Penyuluh Pertanian Penyelia