Reje Musuket Sipet

oleh

Oleh: Ali Abubakar

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka (QS. asy-Syura: 38)

ALI-Abu-bAKARDIANTARA kriteria pemimpin (reje) dalam masyarakat Gayo tercermin dalam pepatah (peri mestike) “reje musuket sipet, imem muperlu sunet, tetue musidik sasat, rakyat genap mupakat.”  

Secara bebas, peri mestike ini bermakna raja (pemimpin dari kelas manapun) memiliki kemampuan memahami segala bentuk watak (sipet) rakyatnya, pemimpin keagamaan (imem) memahami hukum-hukum agama yang dilambangkan dengan muperlu sunet.

Perlu berasal dari kata “fardhu”, sedangkan   sunet “sunnah” yang berarti perbuatan yang dianjurkan. Dua kata ini (fardhu dan sunnah) dianggap mewakili tiga norma hukum yang lain yaitu mubah, makruh, dan haram.

Tetue musidik sasat bermakna para orangtua bijak yang memiliki kemampuan yang dapat menyelesaikan suatu masalah setelah menyelidikinya dengan sebaik-baiknya.

Sedangkan rakyat genap mupakat bermakna persatuan dan kesatuan yang harus dimiliki oleh segenap masyarakat. Itulah empat komponen yang dalam tatanan masyarakat Gayo masuk ke dalam sarak opat yaitu reje, imem,  petue, dan rakyat (perwakilan rakyat).

Tulisan ini hanya fokus pada kriteria reje. Di sini dikemukakan beberapa sifat yang  harus dimiliki balon (bakal calon) reje Gayo.

Pertama, sudah dikemukakan bahwa kriteria reje yang disebut dalam peri mestike di atas adalah kemampuan memahami segala bentuk watak (sipet) rakyatnya. Artinya, reje harus tahu betul bentuk masyarakat, adat istiadat, dan resam yang kemudian membentuk kepribadian rakyatnya.

Kemampuan ini harus dimiliki seorang reje agar semua keputusan yang diambil betul-betul telah mempertimbangkan kemaslahatan semua komponen yang ada dalam masyarakat yang ia pimpin. “Si kuen kiri, atas tuyuh, seringkel kampung turah ibetihie.”

Dalam term ilmu pengetahuan modern, reje Gayo harus memiliki memahami sosioligis, antropologis, dan psikologis masyarakatnya. Tanpa kemampuan ini, ia akan menjadi raja yang “asing” karena tidak memahami rakyatnyat.

Reje yang tidak memiliki kemampuan seperti itu disebut dalam peri mestike yang lain, “awah ni reje gere berampis, ume karang sabe wan tiris”. Artinya, jika keputusan reje diambil tanpa pertimbangan matang (diibaratkan dengan gere berampis/tidak dirapikan), laksana sawah yang  tidak dapat digenangi air alias tiris, sehingga yang dicapai adalah kegagalan.

Kedua, untuk menunjang kemampuan pertama, maka reje akale relem, ilmue dele, pikirne lues. Artinya reje memang harus memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam dan luas. “Mendalam” bermakna mengetahui satu bidang sampai sedetil-detilnya, sedangkan “luas” bermakna mengetahui banyak bidang.

Dengan kata lain, reje mustinya adalah orang-orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang tinggi; bergelar sarjana mungkin bisa mewakili ini, tetapi tidak menentukan kapasitas tersebut. Banyak orang yang tidak menempuh pendidikan formal dan tidak memiliki gelar tertentu, tetapi memiliki pengetahuan luas karena banyak membaca, aktif dalam organisasi atau karena pengalaman hidup yang banyak.

Ketiga, reje harus memiliki integritas moral yang tinggi. Dalam masyarakat Gayo, ini disitir dalam pepatah “beret ni malu atan ruang, beret ni reje atas astana”.  Penulis tidak jelas betul apa yang dimaksud dengan “malu” di sini. Yang jelas bukan “malu” dalam bahasa Indonesia (kemel).

Jika dihubungkan dengan pepatah “malu tertawan”, kemungkinan besar kata ini bermakna “muhrim perempuan” yang harus mendapat perlindungan saudara laki-lakinya (dengan).

Bagi seorang laki-laki, perendahan martabat saudara perempuannya adalah sebuah hal yang merusak martabatnya (nahma teraku). Makna ini diperkuat oleh ungkapan “empus ipegeri, koro iuweri, emas ipuroi, malu iruangi.”

Jadi, kalimat bijak “beret ni malu atan ruang, beret ni reje atas astana” dapat diberi makna “kehormatan perempuan diperoleh jika ia tetap dalam perlindungan, dan kehormatan raja tetap ada jika ia menjaga “kode-etik” hidup sebagai raja dalam istananya.

Keempat, memiliki kabinet yang profesional, rapi dan kompak. Ini langsung ditunjukkan oleh peri mestike yang dibahas di awal: “reje musuket sipet, imem muperlu sunet, tetue musidik sasat, rakyat genap mupakat.”  

Dengan kata lain, reje tidak dapat bekerja sendiri. Ia adalah manajer yang memimpin sekelompok kecil orang yang profesional dan bekerja bersama-sama untuk menjalankan pemerintahan. “Si teger kin penemah, si bijak kin perawah, si ogoh wani tetah.”

Cukup banyak pepatah Gayo yang menyebut keharusan adanya persatuan dan kesatuan dalam segala lini kehidupan, baik pemerintahan, maupun kelompok masyarakat. Yang terkenal adalah “bulet lagu umut tirus lagu gelas, rempak lagu re bersusun lagu belo”.

Jika syarat-syarat tersebut terpenuhi maka berlakulah kalimat bijak “reje adil reje isemah” (pemimpin yang adil akan diikuti dan ditaati), sementara jika tak terpenuhi maka “reje lalim reje ibantah” (jika pemimpin zalim, maka rakyatnyalah yang akan melawan dan menurunkannya dari tahta).

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS. an-Nahl: 90)

*Ali Abubakar Aman Nabila adalah Dosen Filsafat Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh. email: aliamannabila[at]yahoo.co.id

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.