PARUH akhir tahun 1990-an sampai paruh awal tahun 2000-an adalah masa-masa keemasan para perantau asal Gayo di Bali. Pada masa itu, begitu banyak orang Gayo yang mengadu nasib di Kuta, tempat wisata paling terkenal se-Indonesia.
Pada umumnya waktu itu, para perantau asal Gayo berdagang sepatu dan sandal dengan hiasan manik-manik yang di Bali disebut monte atau payet, menjual VCD dan DVD bajakan atau kacamata. Omset rata-rata mereka pada waktu itu sangat menggiurkan, bisa sampai jutaan per hari di mana minimal 70% dari nilai penjualan itu adalah keuntungan bersih.
Krisis ekonomi yang memicu kejatuhan Soeharto pada tahun 1998 justru membuat para perantau asal Gayo semakin di atas angin. Keruntuhan nilai rupiah membuat barang-barang yang dijual di Bali seolah tidak ada harganya di mata para wisatawan. Apa saja yang dijual pasti dibeli.
“Isien kerpe padih isele, lagut ijuel (di sini, rumput disangrai pun laku dijual)”, ungkap salah seorang perantau asal Gayo mengenang masa itu.
Di semua jalan utama Kuta dan Legian, kita bisa menemukan toko sandal milik orang Gayo. Kalau waktu itu kita berjalan-jalan di jalan utama Legian, mulai dari arah Bemo Corner, baru sekitar 20 meter melangkah ke arah Legian, kita akan langsung melihat Toko sendal “ Ikel” milik Almarhum Isa Gutha. Terpisah jarak 30 meter dari Ikel, tepat di depan Bale Banjar Pering, ada satu toko kecil cabang “Adam 12” yang toko utamanya ada di jalan Poppies Lane II tidak jauh dari markas Band “Superman is Dead”. Berjalan lebih jauh lagi, ada “Doran Dekar”, lalu berturut-turut “Mogen Shoes”, “Tiga Saudara Gayo” dan sebelum lampu merah di simpang Peanut ada toko sendal milik Edi yang sekarang berkarir sebagai anggota DPRK Bener Meriah.

Di jalan pantai ada toko milik Rudi dan ke arah Bemo Corner ada toko kacamata Owein.
Di Jalan Bunut Sari ada toko milik Aan, di jalan Bene Sari ada dua toko milik orang Gayo.
Di jalan Poppies selain Adam 12 juga ada toko DVD bajakan milik orang Gayo.
Di jalan Melasti ada Bagus Gayo, belok ke Sahadewa ada Galawa dan Marly from Bali.
Di Legian Kaja ada Classic Shoes dan Kinimiko yang kesemuanya dimiliki oleh orang Gayo.
Di masa itu, bisnis sandal manik-manik seolah menjadi monopoli orang Gayo. Produsen sandal manik-manik asal Gayo nyaris tak punya saingan.
Hebatnya, sandal manik-manik ini, ternyata tidak hanya dijual di Bali. Tempat-tempat wisata utama dunia yang menawarkan suhu hangat, mulai dari Selatan Perancis, Italia, Spanyol dan Yunani di Eropa. Mauritius,Seychelle dan Maladewa di Samudra Hindia. Fiji, Samoa, Tahiti, Bora-bora di samudra pasifik sampai Aruba, Guadeloupe dan Martinique di laut karibia juga menjual sandal manik-manik.
Lalu darimana mereka mendapatkan sandal manik-manik seperti itu, jawabnya Bali. Pada masa itu perusahaan ekspedisi di Bali, setiap bulannya mengirim puluhan kontainer sandal manik-manik ke seluruh dunia. Dan di Bali sendiri, rata-rata sandal-sandal itu diproduksi oleh perusahaan milik orang Gayo.

Waktu itu, bisa dikatakan sekitar 60% sandal manik-manik yang dijual dan beredar di planet ini adalah produksi perusahaan milik orang Gayo.
Orderan dari luar negeri yang diterima oleh para pemilik toko ini jumlahnya bisa mulai dari 10 ribu sampai 100 ribu pasang. Orderan sebesar itu dengan sendirinya membuka banyak lapangan kerja.
Contohnya ketika toko Tiga Saudara Gayo milik Zahri, yang di Bali dikenal dengan nama Jeffry mendapat orderan besar seperti itu. Di garmen yang dibangun di atas tanah yang dia sewa di bilangan Gelogor Carik Denpasar, ada puluhan pekerja pembuat sandal dan kap yang setiap harinya bekerja di sana. Mereka rata-rata berasal dari Mojokerto, sebuah kota di Jawa Timur yang terkenal sebagai pusat produksi sandal dan sepatu kulit.
Setelah sandal selesai dibuat, akan datang seorang pengepul yang akan mengedarkan sandal-sandal itu buat dipasangi manik-manik oleh para perempuan Bali. Jumlah pekerja perempuan asli Bali yang bekerja memasang manik-manik untuk sandal ini jumlahnya bisa mencapai ratusan orang.
Peluang usaha yang begitu cerah di Bali pada masa itu berimbas langsung pada populasi orang Gayo di Bali. Waktu itu tidak kurang dari 100 orang Gayo yang mencari penghidupan pulau wisata terbaik di dunia ini.
Begitu dominannya orang Gayo di Kuta pada masa itu. Ketika kiprah laskar Bali, Baladika dan berbagai ormas kepemudaan yang saat ini begitu banyak di Bali belum sedominan sekarang. Bahkan jagoan yang paling disegani di Kuta pun adalah orang Gayo. Tak ada yang tahu nama aslinya, tapi orang Bali dan orang Gayo yang ada di Bali memanggilnya Bang Yoga yang terkenal dengan julukan “Macan Legian”. Saat ini Bang Yoga sudah tidak bermukim di Bali. (Win Wan Nur)