Catatan : Darmawan Masri*

Mendengar nama Gayo, pasti yang terbetik dalam hati setiap orang adalah Kopi. Suguhan kopi arabica terbaik dunia ada di daerah ini. Gayo juga merupakan penghasil kopi arabica terbesar di Indonesia, sebanyak 70 persen kopi arabica Indonesia ada di daerah berjuluk kepingan tanah surga ini.
Beberapa waktu lalu, Takengon, Aceh Tengah dipercaya menjadi tuan rumah Kontes Kopi Spesialty Indonesia (KKSI) ke-8. Kontes ini diikuti oleh pelaku kopi dari seluruh penjuru nusantara.
Semua urang Gayo pasti kecewa melihat hasil dari kontes kopi yang digelar di negeri kopi itu. Betapa tidak, saat pengumuman pemenang tak ada nama kopi Gayo yang masuk dalam list juara yang dibacakan dewan juri berjumlah 12 orang (6 warga asing, dan 6 orang juri dari Indonesia).
Kalah di negeri sendiri, sedikit memudarkan harapan dari urang Gayo sendiri atas anggapan yang selama ini bahwa kopi arabica Gayo merupakan kopi terbaik di dunia.
Namun, kekecewaan itu tak perlu berlarut. Pasti ada hikmah dibalik dari sebuah ajang yang bernama kontes. Perlu diketahui bahwa, KSSI yang dilaksanakan oleh Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) sudah digelar delapan kali.
Dan ternyata, perhelatan ajang kontes nasional yang digelar sejak tahun 2008 (2013 tidak digelar), Kopi Gayo tak pernah menjadi juara. Dari data yang dihimpun LintasGayo.co, hanya pada 2010 ada kopi yang berasal dari APED Aceh yang berhasil menjadi juara 1. Belum diketahui, apakah kopi yang dipakai APED Aceh adalah kopi arabica Gayo.
Berkaca pada penyelenggara KKSI itu, tak banyak orang Gayo yang tau, kopi Gayo tak pernah jadi juara, namun karena KKSI ke-8 digelar di negeri sendiri, isu itu menjadi hangat diperbincangkan oleh semua orang di Gayo, baik di kantor, warung coffee dan tempat lainnya.
Lantas, apakah marwah kopi Gayo turun akibat dari kekalahan pada ajang kontes itu?. Jawabnya adalah tidak.
Berbagai alasan logis dapat dijadikan acuan penawar hati yang sedikit sakit. Fakta pertama adalah, sejak 2008 KKSI digelar, kopi Gayo tak pernah masuk dalam tangga juara, namun begitu harga kopi Gayo di pasar dunia tetap lebih tinggi dari harga kopi lainnya di dunia, apalagi di Indonesia. Kondisi ini terjadi hingga saat ini.
Fakta yang kedua adalah, Gayo merupakan produsen kopi terbesar di Indonesia (70 persen). Sekarang mari pakai logika kita, jika pada KKSI ke-8 kemarin yang menang adalah kopi Toraja, terus apakah daerah tersebut mampu mengekspor kopi sebanyak kopi Gayo jika ada buyer yang menginginkan kopi mereka?. Jawabannya adalah mustahil, jumlah lahan kopi di Toraja, mungkin hanya 5 persen dari jumlah lahan kopi Gayo.

Hal ini pernah diungkapkan salah seorang pebisnis kopi Indonesia yang juga menjabat Kasi Evaluasi Teknis IG, pada Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Saky Septiono. Menurut, sosok yang membantu proses Indikasi Geografis (IG) Kopi Gayo ke Uni Eropa, saat ini tengah dalam tahap publikasi, bahwa kekalahan kopi Gayo pada ajang kontes kemarin tak akan mengurangi kecintaan buyer luar negeri terhadap kopi Gayo.
“Sama sekali tidak ada pengaruhnya dari kekalahan itu, jadi tidak perlu kecewa, kopi Gayo tetap the best,” kata Saky beberapa waktu lalu di Takengon.
“Jadi tak masalah, kalau hanya kalah di sebuah ajang kontes. Pertanyaan sekarang begini, mampu enggak daerah dimana juara kopi yang juara pada kontes ini menghasilkan permintaan pembeli seperti yang Gayo hasilkan saat ini. Sangat mustahil itu terjadi,” timpalnya.
Fakta yang ketiga adalah, sudah semuakan para pemain kopi di Gayo mengirimkan sample kopinya pada ajang tersebut. Jawabannya juga pasti tidak. Banyak, para pelaku kopi di Gayo yang tak mengetahui adanya kontes tersebut, proses seleksinya bagaimana dan kemana kopi itu diuji coba.
Dari informasi yang diterima LintasGayo.co, ajang KKSI harus melalui 3 tahapan. Pertama, babak pengiriman sample, kemudian para pengirim sample diseksi untuk dipilih beberapa sample yang kemudian masuk babak semifinal. Dari babak semifinal, dipilih belasan kopi terbaik yang masuk ke babak final.
Kita yakin dan percaya, banyak kopi Gayo yang diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan kopi terbaik hasil racikan pemain kopi di tanoh Gayo yang tidak mengirimkan samplenya di ajang ini.
“Apakah ini fair? belum tentu juga fair. Jadi tak perlu menjudge, bahwa kopi Gayo kalah. Ini hanya kontes, jangan diambil hati. Ini hanya sebagai ajang silaturahmi pebisnis kopi yang tergabung di AEKI,” tegas Saky kembali.
Dari fakta-fakta itu dapat disimpulkan bahwa, ajang KKSI merupakan salah satu ajang nasional yang mempertandingkan berbagai jenis kopi dari daerah penghasil kopi di Indonesia untuk bersilaturahmi, ajang pembelajaran sesama pelaku kopi tentang cara menghasilkan cita rasa kopi, bukan malah sebaliknya, merusak citra dari kopi Gayo.
Urang Gayo tak perlu khawatir kalah diajang silaturahmi bernama KKSI itu. Faktanya, buyer luar negeri tetap masih memilih kopi kita dibandingkan dari kopi daerah lain di Indonesia, kenapa demikian, karena pasti para pembeli dari mancanegara itu tau bagaimana kualitas dari kopi kita.
Yang paling penting lagi adalah, semua pelaku kopi di Gayo mulai dari petani hingga eksportinya harus lebih giat belajar. Jadikan, kekalahan ini menjadi motivasi kita untuk terus menggali ilmu perkopian, sehingga citra dari kopi Gayo sendiri tetap terjaga hingga ke anak-cucu kita kelak.
Salam Kopi Gayo…!!!!