Oleh : Dr. Johansyah, MA*
Cukup menggelitik kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhajir Effendy. Awal menjabat mendikbud, beliau melontarkan kebijakan full day school (sekolah sehari penuh) yang menuai pro-kontra. Saat ini ada lagi kebijakan Pak Menteri yang lagi ramai dibincangkan dan diperdebatkan terkait dengan kebijakan guru wajib 8 jam berada di sekolah per harinya.
Rencana kebijakan ini antara lain dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa guru tidak boleh membawa pekerjaan sekolahnya ke rumah. Di rumah guru bisa fokus memberikan perhatian kepada anaknya. Hitungan 8 jam di sekolah pun bukan didasarkan pada hitungan tatap muka belaka, tetapi mencakup kegiatan lain, baik administrasi, persiapan mengajar, dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Seperti biasa, setiap kebijakan akan selalu menuai pro-kontra, dan berdampak positif negatif. Dalam hal ini saya tidak memposisikan diri sebagai orang yang mendukung maupun menolak rencana kebijakan ini, tetapi akan coba menerjemahkan maksud Pak Menteri. Untuk itu akan diuraikan sebagai berikut.
Pertama, bisa jadi kebijakan ini akan dijadikan alternatif bagi guru sertifikasi yang keluar mencari jam tambahan ke sekolah lain untuk pemenuhan jam wajib sertifikasi 24 jam. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini pemerintah menuntut para guru sertifikasi agar dapat memenuhi jam wajib sertifikasi meskipun harus mencari tambahan jam mengajar ke sekolah lain, jika tida uang sertifikasi tidak cair.
Dalam pelaksanaannya ternyata kebijakan seperti ini menimbulkan masalah baru guru. Di mana ternyata banyak guru sertifikasi yang mencari jam tambahan ke sekolah lain, hanya mengisi absen saja dan mereka tidak mengajar. Secara administrasi guru tersebut sudah memenuhi tuntutan, walaupun dalam prosesnya tidak demikian.
Di sisi lain guru sendiri banyak yang mengeluh, karena banyak di antara mereka yang harus mencari jam tambahan ke dua sekolah yang jarak tempuhnya lumayan melelahkan sehingga mereka tidak maksimal dalam menjalankan tugas belajar mengajar. Dampak lain dari kebijakan mencari jam tambahan tadi adalah bahwa sedikit sekali waktu guru berada ditempat tugas pokoknya, dan lebih banyak berada di tempat lain.
Jika persoalan ini dijadikan dasar pemikiran oleh Mendikbud dan menganggap semua kegiatan guru selama 8 jam di sekolah sebagai kegiatan belajar mengajar yang diakui, bisa jadi rencana kebijakan ini dapat dijadikan solusi bagi persoalan guru sertifikasi. Jadi mereka tidak perlu lagi mencari jam tambahan ke sekolah lain karena sudah terpenuhi di sekolah masing-masing. Di pihak lain, kalau keberadaan dan kegiatan guru selama 8 jam di sekolah tidak diakui sebagai proses belajar mengajar, dan guru tetap mencari jam tambahan ke sekolah lain, ini namanya penyiksaan guru.
Kedua, rencana kebijakan ini juga bisa jadi mengurangi kecemburuan sosial kaum struktural di pemerintahan. Kelompok struktural banyak sedikit terusik dengan tunjangan sertifikasi yang sangat besar. Sementara mereka yang tidak mendapat tunjangan sebesar itu, dituntut untuk berada di tempat tugas dan tidak boleh keluar tanpa alasan tertentu yang mendesak. Inilah yang kemudian menjadikan kelompok struktural terusik dan agaknya menuntut adanya persamaan jumlah jam kerja dengan kelompok fungsional.
Kalau orientasinya menyelaraskan kelompok struktural dan fungsional, tentu konteksnya tidak tepat karena tugas pokok dan fungsi antara keduanya berbeda. Oleh karena itu perlakuannya juga tidak sama, harus diposisikan pada tempat dan tugas masing-masing. Untuk itu pula sebenarnya antara keduanya tidak boleh menuntut hak dan kewajiban yang sama, tapi harus disikapi secara profesional dan proporsional.
Ketiga, jika rencana kebijakan ini tidak berdasar, hanya dimunculkan begitu saja, maka boleh jadi ini semua merupakan sebuah upaya untuk menunjukkan bahwa Mendikbud Muhajir Effendy punya program dan ingin tampil beda dengan menteri sebelumya, semoga tidak. Jika benar, ini adalah kekeliruan besar Pak Menteri karena untuk memperlihatkan diri berhasil tidak diukur dengan kehebohan program yang dibuat, tetapi sejauh mana program itu dapat mendatangkan kemashlahatan bagi dunia pendidikan, khususnya kaum guru.
Pelibatan Guru Dalam Mengambil Kebijakan
Hampir dapat dipastikan, semua produk kebijakan pemerintah terkait dengan guru tidak didasarkan atas kajian, telaahan yang seksama, apalagi didasarkan pada pendapat dan pandangan para guru di Indonesia. Kebijakan dibuat begitu saja tanpa melibatkan para pemerhati pendidikan, dan para guru. Terkadang muncul asumsi dalam benak saya, apakah pemerintah menganggap para guru ini bodoh dan tidak sama levelnya dengan mereka pembuat kebijakan? Apakah guru dianggap tidak memiliki kewenangan dan hak untuk berpendapat terkait dengan perbaikan pendidikan?
Semestinya setiap kebijakan pendidikan harus didasarkan pada pandangan berbagai kalangan dalam dunia pendidikan, termasuk guru. Rencana kebijakan tentang guru wajib 8 jam di sekolah juga seharusnya demikian. Tanya dan mintalah pendapat para guru. Jangan mentang-mentang karena pembuat kebijakan sudah bergelar Profesor dan Doktor, seolah-olah kebijakan mereka sudah tepat dan akurat, padahal berbeda arah dengan pandangan guru yang setiap hari berhadapan dengan masalah ril pendidikan.
Kalau memang ada asas keterbukaan, seharusnya Pak Menteri meminta pendapat, saran, masukan, bahkan kritikan dari berbagai pihak apakah kebijakan tersebut berimplikasi positif, atau sebaliknya. Pak Menteri juga sejatinya menyadari bahwa kebijakan yang diambil harus berdasarkan masalah ril di lapangan bukan berdasarkan telaah teoritis semata. Untuk itu pelibatan guru dalam proses pengambilan kebijakan adalah suatu keniscayaan.
Sekiranya cara semacam ini ditempuh, maka ketika kebijakan telah ditetapkan, saya yakin tidak akan banyak kontroversi dan kritikan karena sudah didiskusikan sebelumnya. Sebaliknya jika kebijakan pendidikan diambil berdasarkan pertimbangan sepihak, maka akan memunculkan masalah baru dalam dunia pendidikan kita. Contoh paling dekat adalah kebijakan tentang guru sertifikasi yang wajib mencari sekolah lain untuk memenuhi jam wajib sertifikasi, di mana belakangan banyak yang tidak setuju dengan kebijakan ini. Kesan yang timbul adalah bahwa kebijakan tersebut dipaksakan.
Akhirnya, kita berharap pada Pak Muhajir agar menelaah dengan seksama setiap kebijakan yang akan dia keluarkan. Kebijakan selain didasarkan pada pengkajian teoritis, juga tidak boleh menafikan persoalan ril di lapangan sehingga dalam pengkajiannya guru harus dilibatkan, karena merekalah yang melihat dan merasakan langsung persoalan pendidikan.
*Dr. Johansyah, MA adalah pemerhati pendidikan, Alumni Program Doktor Pendidikan Islam Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email; johan.arka@yahoo.co.id.