Masyarakat Gayo di Bali, Perantauan Gayo yang Paling Kompak

oleh
Gayo di Bali

img-20161013-wa0137

KAMIS malam 13 Oktober 2016, sehabis mengikuti acara penutupan World Culture Forum 2016 dengan peserta tidak kurang dari 1300 orang dari 63 negara yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali, saya dan Win Wan Nur putra asal Kute Rayang Isaq bersilaturahmi dengan masyarakat Gayo yang ada di Bali.

Pertemuan yang sudah saya angan-angankan sejak lama ini berlangsung di rumah Iskandar, sekretaris Algaba (Asli Gayo Bali) yang lebih dikenal dengan nama panggilan Marly. Dia pengusaha sendal berasal dari Kenawat Lut.

Menurut pengakuan dari masyarakat Gayo yang ada di Bali, selama ini mereka memang menjadikan LintasGayo sebagai sumber utama untuk mendapatkan informasi tentang Gayo.

Karena itulah dalam acara yang berlangsung penuh keakraban dan kekeluargaan ini, terlihat masyarakat Gayo yang ada di Bali begitu antusias menyambut saudara yang baru datang dari kampung halaman. Ada banyak hal yang mereka tanyakan dan juga sebaliknya, ada banyak hal yang saya disampaikan tentang kondisi kekinian di Gayo.

Banyak hal menarik termasuk profesi mereka sebagai pengusaha yang terbilang sukses walau bukan dalam kategori super sukses alias milyuner. Dan mereka yang kini berjumlah 26 Kepala Keluarga semuanya bukan sarjana.

Satu hal menarik disampaikan oleh Ir aman Deva, pengusaha kerajinan perak asal Kampung Kenawat Redelong.

img-20161013-wa0135

“Dari semua perkumpulan masyarakat Gayo, mau di Indonesia atau di luar negeri, kami di Bali inilah yang paling kompak”, klaim Aman Deva pada kepada saya yang seumur hidup baru pertama kali menginjakkan kaki di Bali.

“Iya, aku pernah ke Bekasi, orang Gayo yang tinggal selang lima rumah aja nggak saling kenal”, timpal Rizal, pedagang barang antik asal Kampung Lampahan Bener Meriah.

Pernyataan ini tentu tidak menampik giatnya upaya silaturrahmi yang dibangun urang Gayo di beberapa daerah perantauan lainnya, seperti Jabodetabek, Medan, Banda Aceh, Bandung, Yogyakarta, Sabang dan lain-lain.

Di Bali semua orang Gayo yang ada di pulau ini memang saling berhubungan dengan baik. Mulai dari Kuta sampai sejauh Negara, ibukota Kabupaten Jembrana yang berjarak 140-an kilometer keberadaan orang Gayo terpantau dengan baik.

Dulu sebelum ada smartphone, mereka kerap bertemu saat Shalat Jum’at dan saling bertukar informasi. Tapi setelah ada smartphone, hubungan ini semakin erat lagi. Contohnya, ketika mereka mengetahui kedatangan saya, semua masyarakat Gayo di Bali yang kebetulan memiliki waktu luang, segera berdatangan ke rumah Marly.

img-20161013-wa0155

Contoh lain, Urang Gayo kerap melakukan kegiatan bersama, dari kegiatan seni semisal Didong dan Saman juga keagamaan dan olahraga. Terlebih sebelum masa damai Aceh 2005, urang Gayo di Bali lebih dari 100 Kepala Keluarga. Pernah, tari Saman dilakoni urang Gayo di Bali tampil memeriahkan pelantikan salah seorang Bupati di Bali.

Menurut Jaskur, pengusaha cairan kimia pembersih asal kampung Bale Atu Takengen. Kedekatan seperti ini bukan hanya melulu dimonopoli oleh masyarakat Gayo. Tapi kelompok daerah manapun di Bali juga seperti itu. Perkumpulan masyarakat Minang, Banyuwangi, Makassar, sampai Flores semuanya sangat hidup. Jaskur kemudian berspekulasi, “Mungkin ini karena jauh dari Kampung halaman, kami jadi lebih dekat”, kata Jaskur

Tapi spekulasi ini dibantah oleh Win Wan Nur, perantau asal Isak yang juga kolumnis LintasGayo. Menurutnya “Hidupnya” kelompok-kelompok kedaerahan di Bali sebenarnya tidak terlepas dari karakter masyarakat Bali sendiri yang sangat sentris kelompok. Di Bali, dalam sebuah desa yang sama terdapat dua sistem.

Pertama namanya “Desa Dinas” dan kedua adalah “Desa Adat”. Desa Dinas adalah desa yang sifatnya administratif, segala urusan surat menyurat dan perizinan itu adalah urusan desa dinas. Tapi selain desa dinas, di tempat yang sama juga ada desa adat. Desa adat inilah yang mengatur segala macam urusan yang kaitannya dengan adat. Mulai dari upacara keagamaan, upacara perkawinan, upacara kematian sampai hari raya dan pemeliharaan Pura Desa.

img-20161013-wa0152

Dalam setiap desa terdapat unit kemasyarakatan yang lebih kecil yang disebut Banjar, yang di daerah lain kira-kira sama dengan dusun. Masyarakat yang berada di bawah satu banjar ini memiliki hubungan yang lebih erat lagi dibandingkan dengan hubungan satu desa.

Di Bali, amatan Win Wan Nur, desa dinas bisa berganti-ganti tapi desa adat adalah desa yang diwariskan oleh nenek moyang. Tidak pernah berganti, tidak peduli di manapun kita tinggal di muka bumi. Karena itulah Bali berbeda dengan Jakarta atau kota-kota besar manapun yang menjadi magnet ekonomi dan mengundang banyak orang untuk mengadu nasib.

Jika di Jakarta orang datang lalu melebur membentuk satu karakter dan budaya khas yang sama, ditegaskan Win Wan Nur, Bali tidak demikian.

Bali bukan “melting pot” alias “kolam percampuran”, di Bali orang hidup seperti rel kereta api, berdampingan tapi tidak pernah bersentuhan. Jangankan dengan pendatang dari luar pulau. Orang Bali asal Singaraja di Utara yang bekerja di Kuta, dia tidak akan selamanya menjadi orang Singaraja. Tak akan pernah dilibatkan dalam segala kegiatan keagamaan dan juga budaya di desa dinas tempatnya tinggal. Meskipun tempat tinggal di KTP-nya sudah tertulis Kuta. Apalagi kalau orang di luar. Di Bali, orang tidak melebur.

Menurut Win Wan Nur yang juga dekat dengan masyarakat Perancis yang ada di Bali, karakter seperti ini bukan hanya terjadi pada masyarakat pendatang dari nusantara. Para ekspatriat yang ada di Bali pun umumnya terpilah-pilah berdasarkan asal negara.

Win mencontohkan, di komunitas masyarakat Perancis, setiap musim semi selalu ada acara “Fête de la musique”. Semua masyarakat Perancis yang ada di Bali, baik yang tinggal di Canggu, Kuta, Jimbaran sampai Ubud sudah tahu akan ada acara itu sejak jauh-jauh hari. Tapi orang Australia yang tinggal selang lima rumah dari lokasi acara, tidak tahu apa yang terjadi.

img-20161013-wa0150

Itulah jawaban atas pertanyaan banyak orang selama ini. Mengapa Bali yang dikunjungi begitu banyak orang dan diserbu dengan berbagai macam budaya dan kepercayaan yang datang dari timur, barat, selatan dan utara tetap bisa mempertahankan identitas lokal dan keagungan budayanya.

Jawabannya ternyata adalah kuatnya desa adat, desa adat inilah yang berhasil menjadi filter dan mencegah segala macam sisi negatif dari kebudayaan luar yang datang ke Bali, mempengaruhi dan merusak budaya Bali.

Tampaknya apa yang dipraktekkan masyarakat Bali ini, bisa menjadi inspirasi bagi Gayo yang saat ini juga mulai terancam dengan serbuan pendatang dari luar yang membawa serta budaya dan kebiasaan. Baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Karena sistem desa adat inipun sebenarnya ada di Gayo, tapi sekarang sudah ditinggalkan. Mungkin inilah saatnya Gayo mencoba untuk menghidupkannya kembali. [Khalis]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.