Para Muallaf di Kala Wih Ilang, Sudahkah Hak Mereka Ditunaikan?

oleh

Catatan Feri Yanto*

img20160925183616

BERAWAL dari bincang-bincang di warung kopi bersama seorang teman tentang sebuah dusun terpencil yang berpenduduk muallaf (orang baru masuk Islam) di Aceh Tengah, dusun ini bernama Dusun Kala Wih Ilang salah satu dusun dari kampung Wih Ilang Kecamatan Pegasing Aceh Tengah yang aksesnya cukup jauh dari kampung induknya, sekitar 9 Km.

Bahkan untuk menuju dusun tersebut dari kampung Wih Ilang harus memutar dan melewati perkampungan lainnya, kampung Wih Terjun dan beberapa kampung lainya. Medannya sulit karena harus melewati jalan tanah tanpa pengerasan apalagi aspal. Saat musim hujan jalan tidak bisa dilalui dengan mobil bahkan sepeda motorpun akan kesulitan.

Berpenduduk sekitar 100 kepala keluarga, mayoritas merupakan pendatang dari Sumatra Utara yang mencari kehidupan sebagai petani. Menariknya, masyarakat pendatang ini dahulunya merupakan non muslim namun setelah menetap mereka memilih memeluk agama Islam.

Aku memang sudah pulang dari dusun ini beberapa hari yang lalu, sekilas sudah tau kondisinya seperti apa, aku kemudian menanyakan pada temanku ini, apakah dia nanti mau mengabdi disana untuk membina masyarakatnya terutama soal agama dan mengajar anak-anak sekolah, karena kawan saya ini memang backgroundnya adalah pendidikan agama Islam, menurut saya cocok apalagi memang jiwa aktivis melekat di tubuhnya, seorang kader HMI yang militan.

“Bi, kamu mau ngabdi gak disana, di kampung mualaf?, kondisinya sangat memprihatinkan”. Tanyaku sambil menceritakan kondisinya lalu ku tunjukkan beberapa foto yang sempat ku ambil.

Awalnya kawan saya ini kurang percaya, namun tetap saja penasaran dan memaksa saya untuk pergi kesana sore itu juga, “Kita harus kesana ni sekarang, kita lihat dulu cerita kamu benar apa enggak”, kata Hasbi mengajakku kesana sedikit memaksa seolah enggak sabar.

img20160925182522

Awalnya aku enggak mau karena udah sore, karena sudah pasti sampai disana magrib, tapi karena terus di paksa ya sudahlah langsung gerak.

“Kita pergi naik apa ni?” Tanyaku.

“Naik ini..”, kata Hasbi menunjukkan motor matic nya.

“Heummm ini enggak cocok kita bawa kesana udah pasti enggak naik,” kataku.

“Ya sudah kita tukar sama punya Amin aja, Min kita tukar dulu ya”, kata Hasbi.

Akhirnya dengan memakai jeket tebal kamipun berangkat menuju dusun Kala Wih Ilang, di dekat Uning saya teringat bahwa disana banyak anak-anak, langsung saja saya tanya ke Hasbi apa yang akan dibawa kesana, kamipun membeli rambutan dan dibungkus-bungkus kedalam plastik supaya mudah membagikannya kalau jumpa anak-anak, kamipun hanya bisa membeli 6 ikat buah rambutan karena enggak punya uang.

Setibanya disana sekitar jam 6 sore kami langsung mencari rumah pak dusun, dimana menurut masyarakat setempat pak dusun inilah yang membawa orang-orang di dusun tersebut dari medan, namun ternyata pak dusunnya enggak ada di tempat lagi keluar.

Karena pak dusun enggak ada, kami menuju kerumah ibu guru yang mengajar di MIS yang ada di dusun tersebut, seorang pegawai honorer dari KUA Pegasing yang di tugaskan di dusun tersebut untuk mengajar anak-anak mengaji dan juga masyarakat kampung tersebut, namun sayangnya ibu tersebut juga enggak di tempat.

Akhirnya kami bertemu laki-laki paruh baya berbadan kurus, rambutnya gondrong tak terurus, kamipun mendekatinya dan memarkir sepeda motor kami tidak jauh darinya, matanya melotot tajam menatap kami seakan begitu memperhatikan setiap langkah kami yang terus mendekat menghampiri nya.

Didekatnya ada seorang orang anak laki-laki bermain dengan anak anjingnya, sesaat kami semua terdiam seakan tidak ada yang berani memulai bicara, hanya saling tatap dan kaku, istrinyapun mengintip dari balik pintu rumah plastiknya.

img20160925183038

Akupun kemudian membukakan tas yang di gendong Hasbi, ku ambil satu ikat rambutan, untuk kuberikan pada anak laki-laki itu, langsung saja anak itu mendekat ke saya dan merebutnya, air mataku berlinang seakan hampir tumpah saat itu, akupun mencoba tersenyum.

“Bilang terimakasih cik..”, laki-laki itu bicara. “Terimakasih cik”, kata bocah itu mengikuti perintah ayahnya.

“Rumah kami kecil”, kata Jafarudin, nama lelaki itu. Mengisyaratkan bahwa kami tidak bisa masuk kedalam rumahnya untuk bertamu.

“Enggak apa-apa pak, kami disini aja di luar aja kita bincang-bincang,” kata Hasbi menyahuti.

Suasana mulai cair, ceritapun dimulai panjang lebar hingga waktu shalat Magrib sudah tiba, kebetulan pak Jafar mau mengambil air ke sumur tetangga yang jaraknya sekitar 100 meter dari rumahnya, kamipun pergi menemaninya sembari ambil wuduk.

Sepulang dari sumur kamipun shalat Magrib, Hasbi yang menjadi Imamnya dan saya makmum, kami shalat di sebuah gubuk tidak jauh dari rumah pak Jafar, melihat kami shalat dalam kegelapan pak Jafar pun datang membawa obor, tapi sayangnya angin yang terlalu kencang membuat pak Jafar gagal menghidupkan obor tersebut hingga kami selesai shalat.

Hari semakin gelap, tidak ada penerangan di rumah pak Jafar, beruntung cuaca malamnya cerah tidak ada kabut apalagi hujan, langit di taburi bintang-bintang, pak Jafar menghidupkan api, kamipun larut dalam suasana malam yang hangat dan berbagi cerita, pak Jafarpun menceritakan kisahnya, kamipun mendengarkan sesekali bertanya.

Jafaruddin, pindah dari Binjai Sumatra Utara ke Aceh Tengah tepatnya di dusun Kala Wih Ilang kampung Wih Ilang Kecamatan Pegasing tiga tahun yang lalu dan kemudian di Islamkan satu tahun yang lalu.

“Kami pindah ke sini tiga tahun yang lalu, masuk Islam setahun yang lalu bulan 10 ini sudah satu tahun”, Katanya kepada kami, Minggu malam 25 September 2016.

Dikatakanya bahwa dulu saat pindah ke Aceh Tengah juga ada bersama lima keluarga lainnya, namun yang lain sudah pulang kembali ke Medan.

“Dulu kami datang ada lima keluarga tapi mereka sudah pulang lagi, tinggal kamilah sama keluarga yang dulu datangnya sama-sama”. Ujarnya.

Dilanjutkannya sebelumnya memang sudah banyak orang dari daerah Medan yang pindah kesini, sampai disini mereka masuk Islam, baru kemudian ada lima keluarga lainnya masuk Islam termasuk dengan saya dan keluarga.

“Namun belum semua disini sudah Islam, masih ada yang belum ada enam lagi”. lanjutnya.

Saat ditanya siapa yang membawa mereka pindah dari Sumut ke Aceh Tengah disebutkanya kepala dusun yang telah membawa mereka dari Sumut ke Aceh Tengah.

“Pak dusun yang bawa kami dari Binjai ke sini, yang lain juga dibawa pak dusun, pak dusun juga yang bujuk masuk Islam”. Katanya.

Jafaruddin memiliki empat orang anak yang paling besar perempuan berumur 9 tahun dan sudah tidak sekolah sejak kelas 2 MIS, kemudian laki-laki namanya Ranto berumur sekitar 7 tahun tidak sekolah, anak ke tiga berumur sekitar 5 tahun dan anak paling bungsu berusia sekitar 2 tahun.

Keluarga mualaf ini tinggal di rumah berukuran tiga kali tiga meter beratap plastik yang sudah mulai bocor dan dindingnya terbuat dari plastik pula, sementara untuk menafkahi keluarganya Jafarudin sehari-hari bekerja sebagai buruh di kebun orang lain, saat ini Jafaruddin sudah memiliki sebidang tanah dengan luas 50 kali 200 meter namun belum dapat dikelola secara maksimal disebabkan faktor kebutuhan untuk hidup, namun sudah ditanami kopi dan pohon pisang serta terong belanda.

“belum bisa ku kelola kebun ini dengan baik, kalau aku ke kebun nanti enggak bisa ongkosan, nanti makan apa kami?”, katanya lirih.

Haripun sudah larut malam kami harus pamit pulang ke Takengon, rasanya memang belum cukup untuk mendengarkan cerita pak Jafar, tapi waktu harus memisahkan sementara.

20160925_191634

Disini kemudian timbul beberapa pertanyaan dalam otakku, siapa yang bertangung jawab terhadap kehidupan mereka, bagaimana mereka Islam namun tidak ada yang membinanya, siapa yang akan mengajari mereka Shalat? Apakah haknya sebagai mualaf sudah terpenuhi?, Bukankah seharusnya ummat menjamin kehidupannya disaat mereka sudah Islam, sehingga bisa belajar Islam dengan baik, lalu siapa yang salah?, dan masih banyak pertanyaan lainnya mucul yang tidak bisa ku jawab sendiri.

Diperjalan pulang, kembali aku bertanya kepada Hasbi “Bi.. apa kamu mau mengabdi disini?”, Tanyaku.

“Aku sudah mantap mau tinggal disini selama satu tahun”, kata Hasbi menjawab.

Mendengar jawaban Hasbi sepertinya hati sudah sangat bahagia. Tapi, ini belum selesai mau saja belum cukup,bagaimana dengan jaminan hidupnya, siapa yang jamin?, lagi pertanyaan ini harus dijawab, bagaimana mungkin seseorang yang mau mewakafkan dirinya untuk ummat tapi tidak ada yang menjamin kehidupannya, bukan mencari kekayaan tapi kebutuhan hidup harus tetap di perhatikan, harus juga dikaji sisi realistisnya, tidak bisa hidup seperti lilin, menerangi namun mengorbankan diri hingga habis, tapi bagaimana agar tetap menyala untuk menerangi, semoga ada jalan.[]

*Ketua HMI Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.