Meneladani Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Membina Keluarga

oleh

Oleh: Drs. H. Hamdan. MA

received_120300000141164903MINGGU, 11 September 2016 merupakan puncak dari perjalanan ibadah haji tahun 1437 H, yaitu bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah 1437 H, dimana semua tamu Allah dari seluruh penjuru dunia berkumpul di padang Arafah untuk melakukan Wukuf, mereka larut dalam ibadah serta khusyuk dalam doa, seakan kita satu, tiada perbedaan disana, kiblat yang kita hadap sama, tempat wukuf sama dan kalimat tauhid yang kita ucapkan dan kita yakini juga sama, persatuan adalah pesan penting yang ditunjukkan oleh para jamaah yang sedang melaksanakan ibadah haji.

Mulai dari malam sejak terbenamnya Hilal 9 Zulhijjah, di seluruh penjuru dunia menggema suara Takbir, Tasbih, Tahmid dan Tahlil seakan membelah angkasa seantero jagad raya ini baik di Aceh, Asia, Amerika dan juga Afrika. Umat Islam dengan bangga mengangungkan kebesaran Allah SWT sambil mengucapkan:

الله أكبر الله أكبر الله أكبر ولله الحمد

Gema takbir ini mengisi angkasa bebas, menyuarakan kalimat agung yang mampu meluluh lantakkan hati, jiwa dan perasaan kita, membawa kita kedalam suasana haru gembira laksana parade kemenangan ketika pulang dari medan pertempuran.

Kumandangan takbir yang menyentuh kalbu setiap insan yang melintas dipadang pasir menuju padang Arafah melintasi Muzdalifah dan Mina lalu mereka ke Makkah untuk melakukan Thawaf dan Sa’i. Mereka mengulang napak tilas Nabi Ibrahim AS yang meletakkan sendi-sendi pengabdian dan pengorbanan yang ikhlas, tunduk dan patuh atas perintah Allah SWT, Mereka terus menyeru “Aku memenuhi panggilanMu ya Allah aku memenuhi panggilanMu. Aku memenuhi panggilanMu tiada sekutu bagiMu aku memenuhi panggilanMu. Sesungguhnya pujian dan ni’mat adalah milikMu begitu juga kerajaan tiada sekutu bagiMu”.

Bulan Dzulhijjah yang sekarang kita sedang berada didalamnya adalah bulan yang sangat tepat untuk dijadikan sebagai moment untuk mengevaluasi keimanan dan ketaqwaan melalui peristiwa-peristiwa agung yang ada pada bulan ini, seperti ibadah qurban yang berawal dari sebuah peristiwa heroik religious, peristiwa yang sangat mendebarkan antara seorang ayah Ibrahim AS dan anaknya Ismail As.

Sejenak melihat bagaimana kisah Nabi Ibrahim AS yang rela menyembelih anak kesayangannya Ismail AS, padahal Nabi Ibrahim As dalam rentang waktu yang cukup lama menanti dan mendambakan keturunan, kemudian Allah SWT memperkenankan doa Ibrahim dengan lahirnya seorang putra dari istrinya Siti Hajar yang dberi nama Ismail. Pada saat itu betapa senang dan bahagianya keluarga ini dengan kehadiran sang buah hati, betapa sayang dan cintanya mereka, sang buah hati tumbuh dan berkembang dengan membanggakan orang tuanya. Ia menjadi anak yang patuh dan penurut kepada ibu bapaknya, ia cerdas dan pintar, ia berakhlak mulia, ia menjadi harapan orang tua bagi masa depannya.

Namun ditengah senang dan bahagianya melihat perkembangan Ismail yang menginjak dewasa, Allah SWT menguji kekuatan iman nabi Ibrahim AS. Allah perintahkan agar Ibrahim menyembelih anak kesayangannya (Pada saat itu nabi ismail bukanlah seorang nabi, artinya pada saat itu belum diangkat menjadi nabi”). Terasa deras aliran darah ditubuh Ibrahim mendengar perintah tersebut.

Kalau kita mencoba untuk mencerna secara logika tidaklah masuk akal, siapa yang tega melakukan ini, orang tua mana yang sanggup melaksanakan ini, tapi karena perintah dari Allah SWT, Ibrahim siap menjalaninnya, ketaatan yang luar biasa baginya “ Sami’na Wa atha’na”. Tentu semua kita mengetahui bagaimana cinta seorang ayah kepada anak, layaknya nabi Ibrahim yang sangat mencintai anaknya, akan tetapi Nabi Ibrahim AS siap memenuhi perintah Allah dengan penuh keimanan. Sementera kita berbeda, aplikasi cinta kepada anak dengan memberikan apa yang dia inginkan, padahal belum tentu dengan itu dapat membawa ia kepada kemashlahatan, namun dalam melaksanakan anjuran Rasulullah untuk Qurban sangat berat bahkan kadang melalaikan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Iman, keteguhan jiwa, kemantapan Taqwa Ibrahim dan Ismail benar-benar di uji Allah, Ibrahimpun menyampaikan perintah ini kepada Ismail sesuai Firman Allah SWT dalam Surah Ass-Shaffat 102:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Ismail, selalu taat dan patuh terhadap perintah Allah, sebab tekad yang demikian ini, Ibrahim hanya menjalankan perintah Allah. Bukan atas kemauannya tetapi Allah yang menghendaki. Maka ketika antara ayah dan anak sudah sama-sama pasrah dalam ketaatan kepada Allah, yaitu akan melaksanakan perintah Allah ternyata Allah mempunyai maksud yang bebeda yang sama sekali, tidak diketahui oleh hambanya.

Kisah sejati ini Allah abadikan dalam Al- Qur’an sebagai pelajaran dan gambaran betapa besar pengaruh iman dan taqwa dalam menentukan dan mengambil sebuah keputusan. Peristiwa ini kalau dilihat dari sisi kemanusiaan (humanisme) adalah hal yang mustahil, coba bayangkan siapa yang tega atau siapa yang sanggup menyembelih anak kandungnya dengan pasrah, tawakkal dan sabar membaringkan diri menyerahkan leher didepan pedang ayahnya yang tajam. Sekali lagii karena iman dan taqwa melebihi sekedar kasih dan sayang orang tua kepada anaknya. Ketauhilah wahai ayah dan anak, agar senantiasa melahirkan sikap dan pengorbanan dalam kehidupan kita, hari ini tidak ada satu orangtuapun yang senang kalau ada anak yang tidak shalat, menggunakan narkoba dan lain-lain yang dilarang oleh Allah.

Mencoba melihat pergeseran nilai budaya santun hari ini, akhlak terpuji yang ada disekitar kita disebabkan berbagai kemajuan yang katanya modernisasi. Anak yang dulunya taat dan patuh pada orang tua, kini ia telah berani meninggikan suara didepan orang tua, anak yang dulunya malu tidak mampu mengaji/membaca al-Qur’an, malu bila tidak shalat kini banyak yang tidak mampu mengaji dan meninggalkan shalat. Kharisma keislaman yang santun, berakhlak mulia boleh jadi akan berubah dengan penampilan yang katanya modern. Kedepan semua dikalahkan oleh modernisasi dan kemajuan teknologi.

Mengahadapi segala perubahan dan perkembangan yang terjadi, kita harus belajar kepada peristiwa Nabi Ibrahim As dan Ismail As, pola hidup Lukmanul hakim seperti yang diceritakan dalam Al-Qur’an. Kita harus mampu dan konsisten dalam mengikuti dan mengamalkan ajaran Muhammad SAW yang telah sempurna dalam bingkai Syariat Islam. Tidak perlu memasang topeng atau berpura-pura alim didepan umum, didepan mertua atau takut kena razia oleh WH, tetapi jadilah sebagai muslim yang sejati, tulus dan ikhlas dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Ibrahim dan Ismail telah mencontohkan ketulusan dan keiklasan yang hakiki, ketaatan dan pengorbanan, amat sulit memang menandingi atas apa yang mereka wariskan. Kita tahu ketulusan dan keikhlasan adalah kunci ibadah. Ibadah apapun yang kita lakukan baik pribadi maupun jama’i bila tidak dilandasi dengan tulus dan ikhlas akan menjadi sia-sia tak bermakna, termasuk ibadah Qurban yang kita lakukan.

Kini saatnya kita mempertebal kewaspadaan atas rapuhnya nilai kebersamaan, rapuhnya iman dan lemahnya pemahaman terhadap agama, sehingga dengan sangat mudah umat ini di adu domba, di obrak abrik, aqidahnya didangkalkan, dijauhkan dari syariat Islam. Jangan kita biarkan kemalasan, kemunafikan, dekasi moral, ketidakberdayaan sebagai alas an pembenaran saat kita di gilas oleh lajunya arus globalisasi. Kini sudah saatnya moment idul adha ini, kita bersatu padu, menguatkan barisan, melawan semua bentuk kejahatan, kezaliman, kesewanangan, pembodohan ummat, kebohongan, intimidasi, terror dan juga kepura-puraan.

Kita semua merindukan keluarga bahagia, keluarga yang Sakinah Mawaddah Wa Rahmah, untuk itu bangunlah Pondasi rumah tangga kita dengan Iman dan Taqwa kepada Allah Swt. Orang tua memiliki peran penting dalam mewujudkan cit-cita mulia ini, dalam mendidik anak-anak diperlukan niat dan tekad yang ikhlas dan kuat serta sabar dalam menghadapi berbagai permasalahan, begitu juga anak, harus patuh dan berbakti kepada orang tua.

Akhir-akhir ini kondisi keluarga muslim, dari berbagai arah di terpa cobaan, angka perceraian meningkat, anak-anak terlantar, KDRT, bahkan ada anak yang tega membunuh Ayah/Ibunya, dulu tidak pernah kita dengar dan kita baca di aceh ada anak yang membunuh orang tua, namun setelah narkoba merejalela, kejadian yang keji ini sering menjadi berita di media massa. kondisi diatas perlu antisipasi dari kita semua, sebagai orang tua berusaha memberikan kehidupan yang lebih baik kepada anak dan anak harus patuh dan hormat kepada orang tua.

Kalau kita sadar akan besarnya pengorbanan dan tanggung jawab orangtua terhadap anaknya, maka hal-hal yang kecil seperti diatas tidak mungkin terjadi. Ayah adalah sosok yang selalu berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, terik matahari dan hujan tidak menjadi penghalang baginya dalam meraih rejeki yang halal untuk keluarganya. Kalaupun ayah jauh dan berpisah dengan keluarga demi tugas dan mencari nafkah ia selalu peduli, menanyakan kondisi anak-anak dan seraya terus berdoa. Kadang-kadang kita anak berpikir ayah kita adalah sosok tegar dan tak pernah menangis bahkan bersedih, namun apakah benar seperti itu?? banyak air mata yang keluar pada sosok yang hebat itu tanpa kita ketahui.

Begitu juga dengan sosok ibu, seorang ibu adalah simbul cinta abadi yang tak pernah pudar, semua orang yang berada disekitarmu akan berubah, kecuali ibu, semua orang disekelilingmu akan meninggalkanmu kecuali ibumu, ketika kita mendapat cobaan, bangkrut, terpuruk, semua orang meninggalkanmu kecuali ibumu. tidak ada peran seperti peran seorang ibu.

Komunikasi yang dibangun Ibrahim dalam mendidik Ismail merupakan satu pelajaran beharga bagi kita, lihat pada saat Ibrahim memberitahukan kepada Ismail kalau ia akan di sembelih dan juga bagaimana reaksi Ismail As, begiu santun ia menyahut dan menyambut perintah itu, kita bisa bayangkan, kondisi kita hari ini, komunikasi dengan anak-anak kita, bahkan ada diantara mereka membentak dan menjawab dengan kasar. Kadang kita enggan berbicara lemah lembut dengan anak kita, ada komunikasi terputus dalam keluarga sehingga menimbulkan efek negative dalam memabangun sebuah keluarga. Kisah diatas sepantasnya kita abadikan dan juga menjadi teladan bagi kita dalam membangun keluarga.[]

*Kepala Bidang Urais dan Binsyar Kanwil Kemenag Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.