Mencari Inspirasi dari Pasar, Hingga Dikira Wartawan LintasGayo.co

oleh

Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*

PasarAda kejadian lucu ketika tadi pagi sambil berangkat ke tempat kerja, saya menyempatkan diri “blusukan” ke pasar sayur di Paya Ilang. Hanya berbekal android untuk mengambil gambar beberapa ibu-ibu pedagang sayur yang berjualan disana, entah karena sebagian dari mereka memang mengenali saya sebagai penulis di media online LintasGayo.co, entah karena mereka “rajin” membaca tulisan-tulisan di media ini, sebagian ibu-ibu itu agak terlihat “heboh”, memang sih, meski tidak berstatus wartawan, tapi Insya Allah saya terus intens menulis dan mengirim berita di media ini.

“Gelah jeroh senyuma Aka, oya male I ayon ku Lintas Gayo” (Yang bagus senyumnya Kak, itu mau dimasukkan ke Lintas Gayo) celetuk seorang ibu setengah berteriak ketika saya mulai mengarahkan kamera ke salah satu lapak sayuran di pasar itu, pedagang sayur yang saya ambil gambranya, sebenarnya sedang menyuapkan makan paginya langsung menghentikan suapannya ,

“Inoo, mari mulo keta aku, sana si godak aku ni Win, nge tue le aku” (Kalo begitu berhenti makan dulu aku, ngapaian saya difoto Win, saya ini sudah tua), sahut perempuan tua itu sambil terkekeh, saya hanya senyum-senyum saja,

“Yoh, bier pe nge tue ibu ni hebat, tetap gigih mungenal nepekah, gere mera putetiro sedekah, gere lagu si semelaha” (Yah, biarpun sudah tua, ibu ini hebat, tetap gigih mencari nafkah, nggak mau minta-minta sedekah, tidak seperti yang disebelah itu), begitu “berakah” (candaan) saya, kebetulan di sebelah ibu tadi ada seorang laki-laki paruh baya yang terlihat sehat fisiknya tapi kerjanya hanya jadi peminta-minta (saya sengaja tidak mengambil gambarnya, karena memnag bukan fokus saya), ibu-ibu yang ada disitu langsung “besurak hahoy” seperti kebiasaan perempuan-perempuan di Gayo,

“Hahaha wiuw, ayon ko mi Win ku Lintas Gayo, kati kami engon senyum ni Aka ni” (Masukkan terus Win di Lintas Gayo, biar kami lihat senyum Kakak ini), sahut ibu lainnya sambil tertawa, suasanya jadi agak riuh, semua mata jadi tertuju kearah kami, tapi saya terus mengambil gambar seperlunya, kemudian setelah “muniro tabi” (meminta maaf) kepada ibu-ibu tadi, saya segera berlalu dari pasar itu, karena harus segera menuju ke tempat kerja.

Sebenarnya misi “blusukan” saya ke pasar paya ilang tadi pagi, bukan khusus untuk “meliput” ibu-ibu para pedagang sayur itu, mungkin di kesempatan lain saya akan mengangkatnya secara khusus, karena banyak inspirasi yang bisa saya ambil dari para perempuan yang rata-rata sudah berusia senja itu. Kedatangan saya ke pasar itu sebenarnya hanya mengambil dokumentasi untuk melengkapi tulisan saya yang berisi tentang pengalaman beberapa tahun yang lalu, memang sih masih terkait dengan para pedagang sayuran pasar itu, sengaja saya mengangkatnya kembali karena saya anggap ada nilai inspiratif dari pengalaman saya itu, begini kisahnya :

Bu Mariyam, hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di sebuah desa yang terletak di pinggiran kota, selain sebagai ibu rumah tangga, perempuan berusia 47 tahun ini juga punya pekerjaan sampingan sebagai petani sayuran dengan memanfaatkan pekarangan rumahnya yang lumayan luas. Berbagai jenis sayuran seperti sawi, tomat, cabe, seledri, kacang kapri dan beberapa jenis sayuran lainnya, tumbuh dengan subur di pekarangannya, karena dia memang rajin merawat dan memupuk tanamannya. Karena memang tidak punya kesibukan lain, bu Mariyam lebih suka memasarkan sendiri hasil pekarangaannya di pasar sayur yang ada di kota itu. Keluarga kami termasuk salah satu pelanggan setianya, karena saya tau sayuran yang dihasilkannya benar-benar sayuran organik, karena hanya menggunakan pupuk yang berasal dari limbah pertanian dan limbah ternak sapi piaraan suaminya, dia tidak pernah menggunakan bahan kimia apapun untuk merawat tanamannya. Tidak seperti pedagang sayur lainnya yang berjualan seharian penuh, bu Maryam hanya berjualan sayuran sekitar satu jam saja, dari jam 7 sampai jam 8 pagi, karena sayuran yang dijajakannya lebih sering diambil oleh pedagang sayuran lainnya untuk kemudian dijual kembali di pasar itu. Itulah sebabnya sayuran yang dijajakan bu Maryam biasanya dalam bentuk ikatan besar, yang kemudian “dipecah” menjadi ikatan-ikatan kecil dan di ecerkan oleh pedagang lainnya.

Pagi itu, kira-kira lima atau enam tahun yang lalu, saya menemani isteri untuk belanja sayuran di tempat bu Mariyam biasa mangkal. Sedang asyik memilih-milih sayuran segar, seorang ibu dengan pakaian mewah yang baru turun dari mobilnya menghampiri bu Maryam, saya segera mengenali perempuan itu, dia isteri seorang dokter yang cukup dikenal ditempat kami tinggal (untuk menjaga privasi, saya tidak sebutkan detil identitasnya). Tanpa “menghiraukan” kami yang sedang memilih-milih sayuran, perempuan cantik itu segera mengambil seikat besar daun seledri,

“Berapa daun seledrinya bu?” tanyanya pada bu Mariyam,

“Sepuluh ribu bu” jawab bu Mariyam singkat, karena dia juga sedang melayani pembeli lain, termasuk saya dan isteri saya,

“Mahal kali bu, boleh kurang nggak?” perempuan itu menawar, bu Maryam berhenti sejenak melayani pembelinya,

“Itu sudah murah lho bu, kalo diikat kecil-kecil harga seribuan bisa jadi lima belas ikat lho bu” kliah bu Maryam,

“Lho saya kan mau beli, wajar dong saya nawar” kata perempuan itu rada ketus, bu Maryam sepertinya agak “terpancing” dengan ucapan perempuan itu,

“Bu, kalo saya berobat ke suami ibu, semahal apapun saya nggak pernah nawar kok” bu Mariyam sedikit “menyindir” perempuan itu. Sindiran bu Mariyam ternyata “mengena”, wajah perempuan itu memerah, dan entah karena malu karena semua pembeli yang da disitu memandanginya, akhirnya perempuan itu mengambil tiga ikat seledri,

“Ya sudah bu, saya ambil tiga ikat, ini uangnya” kata perempuan tadi sambil meletakkan uang 30 ribu, dia segera berlalu masih dengan muka merahnya, beberapa pembeli tersenyum sambil mengacungkan jempol kearah bu Mariyam,

“Ibu hebat, orang kaya seperti dia memang sekali-sekali mesti digituin bu” celetuk salah satu pembeli sambil terkekeh, bu Mariyam hanya tersenyum, sementara saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Dalam hati saya berguman, kalo orang-orang kaya di kota ini bersikap sama seperti isteri dokter tadi, kasihan banget para pedagang sayuran itu, padahal uang sepuluh ribu itu kan nggak ada artinya buat orang kaya seperti dia. Saya juga membayangkan jika bu dokter itu belanja sayurannya di mini market, pasti dia langsung akan mengambilnya tanpa menayakan harganya kepada pelayan, karena disitu memang sudah tertera harga pas yang nggak bisa ditawar, padahal kualitas sayuran yang dijajakan di mini market belum tentu lebih baik dari sayuran organic yang dijual bu Mariyam.

Di kesempatan lain beberapa bulan berikutnya, saya juga punya pengalaman masih di pasar yang sama, hari sudah menjelang sore ketika saya pulang dari tempat kerja, mungkin jam 2 atau setengah tiga. Kebetulan saya melintasi pasar itu dan iseng-iseng saya mampir nyari buah untuk dibawa pulang. Tanpa sengaja saya melihat seorang ibu yang sedang membeli sayuran pada pedagang sayaur yang sudah cukup tua, mungkin sekitar enam puluhan tahun usianya. Agak aneh juga saya melihat ibu tadi, dia membeli sayur yang sudah agak layu dan kering dan yang dibelinyapun tidak sedikit, satu plastik kresek besar. Saya jadi tertarik untuk mengikuti ibu tadi, sambil menenteng plastik besar, ibu tadi menuju pangkalan becak yang ada di pinggir pasar itu, dan sebelum ibu tadi menaiki becak, saya mencoba “mewawancarai” ibu tadi,

“Maaf bu, tadi saya lihat ibu kok beli sayurannya yang sudah agak layu dan kurang bagus, kan di sebelahnya masih ada sayuran yang masih segar-segar” pancing saya, ibu itu tertegun sejenak, tapi kemudian tersenyum ramah,

“Abang ini kayak wartawan saja, itu tadi saya kasihan sama ibu penjual sayur itu, sudah sore begini masih banyak sayurannya yang belum laku, ya saya beli saja, kalo nggak ada yang beli kan kasihan ibu itu, dia jualan sayur seperti itu kan buat cari uang untuk keluarganya” jawab ibu tadi seperti “menyengat” telinga saya, dia kemudian memperkenalkan diri sebagai bu Dewi, seorang guru di sebuah sekolah di kota ini,

“Terus mau ibu apakan sayuran sebanyak ini?” tanyaku kembali ingin tau,

“Ya sampe di rumah, sayuran ini saya siram dengan air, terus yang agak kering atau busuk saya buang, terus saya masukkan kulkas sebentar, kan jadi segar kembali” jawab bu Dewi agak mengejutkan saya “Sebagian saya sayur sendiri dan sebagian lagi saya bagikan ke tetangga, kalo disayur sendiri kan nggak habis, karena hampir setiap hari saya mampir ke pasar ini setiap pulang dari sekolah” lanjutnya, saya jadi makin kagum dengan ibu guru berpenampilan sederhana ini, begitu mulia hatinya.

Sambil menaiki motor tua yang setiap hari setia menemani saya ke tempat kerja, saya terus kepikiran dengan ibu guru itu, kalo semua orang bisa bersikap seperti ibu itu, tentu banyak ibu-ibu pedagang sayur yang terbantu. Ya, meski awalnya hanya karena rasa kasihan, tapi sikap iu guru ini adalah cerminan rasa peduli kepada sesama yang butuh uluran tangan, bukan dengan mengemis tapi dengan kerja keras sebagai pedagang sayur. Saya jadi sempat “membandingkan” ibu guru ini dengan isteri dokter yang pernah saya lihat beberapa waktu yang lalu di pasar ini, jauh sekali bedanya.

Teringat pengalaman saya itu, saya jadi sangat setuju dengan “statemen” seorang penulis di sebuah media “Stop menawar dagangan pada pedagang kecil”, dan sikap bu Dewi bisa jadi inspirasi buat kita semua untuk peduli kepada para pedagang kecil itu, karena sesungguhnya mereka-mereka itulan perempuan-perempuan tangguh yang mau bekerja keras demi kelangsungan hidup keluarga mereka, tanpa kepedulian kita, nasib mereka tidak akan berubah. Karena kalau mereka bisa meilih, menjadi pedagang sayur dengan modal pas-pasan, tentu bukan pilihan mereka, mereka melakukan itu semata-mata karena tuntutan hidup. Mereka tak butuh belas kasihan, tapi mereka butuh kepedulian kita.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.