
Pacuan kuda tradisional Gayo yang sudah digelar sejak jaman penjajahan Belanda, memang menarik untuk terus direkam dan ditulis. Tradisi pacuan kuda hingga kini sudah menjadi budaya yang terus dilaksanakan oleh pemerintah di Gayo. (Baca : Sejarah Pacu Kude Gayo)
Ada beberapa hal menarik diamati dalam event terakbar bagi masyarakat Gayo ini. Salah satunya adalah jampi-jampi (Gayo : Dowa-red).
Menggunakan mistis atau jampi-jampi atau dalam bahasa Gayo disebut dowa dalam perhelatan pacuan kuda Gayo lumrah diketahui oleh masyarakat Gayo secara turun-temurun.
Dipercaya dowa mampu memenangkan kuda-kuda yang akan bertanding. Pada masa pacuan kuda digelar di Gelengang Musara Alun, Blang Kolak, Aceh Tengah, memakai dowa bagi kuda-kuda yang berpacu sering terjadi. Saat itu yang berpacu rata-rata kuda lokal Gayo.
Setelah lapangan pacua kuda dipindahkan ke Belang Bebangka, Pegasing, perhelatan pacuan kuda Gayo mulai menunjukkan perkembangan. Tata pelaksanaan mulai berbenah ke arah yang lebih profesional.
Banyak kuda-kuda peranakan luar mulai dibudidaya di dataran tinggi Gayo, salah satunya adalah jenis kuda thoroughbred. Sejak itu pula penggunaan dowa dan selensung dalam event pacuan kuda Gayo mulai berkurang.
Betapa tidak, para pemilik kuda mulai sadar bahwa perawatan kuda menjadi modal utama menjadikan kuda-kudanya sebagai juara. Tanpa perawatan yang maksimal, mustahil kuda-kuda itu dapat berpacu cepat di arena. Pemilik kuda rela merongoh kocek banyak, demi mejadikan kuda-kudanya sebagai juara (Gayo : Beker).
Pemandangan unik terlihat pada hari pertama pacuan kuda Gayo yang digelar memeriahkan HUT ke-71 Kemerdekaan Republik Indonesia, pada Senin 22 Agustus 2016 lalu.
Saat beberapa panitia teknis pacuan menelusuri arena pacuan, ditemukan jenis jeruk purut (Gayo : Mungkur-red), bercocok dengan jarum pentol.
Pandangan tak sedap ini, disinyalir sebagai dowa yang ditanam oleh pemilik kuda saat kudanya akan bertanding. Meski dowa tak lagi dapat dipercaya sebagai barang mistis membuat kuda melaju dengan cepat, namun tradisi ini tetap dipraktikkan oleh orang-orang yang masih percaya dengan bantuan mistis ini.
Pengamat pacuan kuda Gayo yang tak mau disebut namanya mengungkapkan bahwa dalam pacuan kuda modern saat ini dowa tak perlu lagi dilakukan.
“Memelihara kuda itu memang butuh modal besar, tapi juga bernilai ekonomis. Kalau masih ada yang percaya dowa bisa memenangkan kuda, hal itu akan menjadi mustahil jika kuda-kuda pacu tidak dirawat dengan baik,” katanya.
Meski begitu dia mengakui bahwa penggunaan dowa dalam event pacuan kuda Gayo semakin berkurang, seiring dengan pemahaman pemilik kuda yang semakin dewasa.
Yah, itulah sekelumit kisah dowa di lapangan Belang Bebangka. Masih ada yang percaya, banyak yang tidak.
(Darmawan Masri)