Banda Aceh-LintasGayo.co : Perdamaian Aceh sudah berlangsung selama 11 tahun. Dalam periode tersebut sudah banyak pekerjaan, pembelajaran serta berbagai pengalaman yang didapatkan oleh seluruh elemen masyarakat. Kondusifnya situasi Aceh juga terbukti dengan semakin banyaknya investor yang berinvestasi. Hal ini tentu saja berimbas positif bagi perkembangan perekonomian masyarakat di Bumi Serambi Mekah ini.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Gubernur Aceh, dr H Zaini Abdullah, dalam sambutan singkatnya pada acara Peringatan 11 Tahun Damai Aceh, dihadapan ribuan masyarakat yang memadati arena panggung utama, Komplek Taman Ratu Safiatuddin, Senin (15/8/2016).
Menurut Gubernur, setelah terlepas dari kungkungan konflik berkepanjangan, yang ditandai dengan Kesepakan Bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, di Helsinki Finlandia, Aceh telah mampu keluar dari keterpurukan dan mampu bangkit perlahan menuju kesejahteraan.
“Oleh karena itu, saya mengajak semua pihak untuk merawat perdamaian ini dengan sebaik-baiknya. Saya yakin, tidak ada seorangpun yang menginginkan konflik teulang lagi di Aceh. Mari bersama kita bangun daerah yang kita cintai ini, dengan berbuat sebaik mungkin demi kejayaan Aceh di masa mendatang,” ajak pria yang akrab disapa Doto Zaini itu.
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur juga menyampaikan rasa suka citanya atas terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR yang didahului dengan penetapan Qanun Aceh tentang KKR.
“Ini adalah suatu bukti bahwa penghormatan terhadap hak asasi manusia semakin meningkat. Pemerintah Aceh bersama DPR Aceh telah menetapkan Qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang saat ini sedang dalam proses pelantikan Komisionernya, saya harapkan dalam tahun ini Komisioner KKR sudah mulai bekerja,” kata Doto Zaini.
Aceh Pasca MoU
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur juga menyampaikan beberapa capaian Pemerintah Aceh pasca MoU. Diantaranya adalah Indeks Pembangunan Manusia atau IPM, yaitu indikator untuk mengukur kualitas hidup masyarakat.
“Empat tahun lalu Aceh berada pada ranking ke 22 dari 34 provinsi di Indonesia. Tahun lalu, IPM Aceh melonjak hingga posisi ke-11. Dan pada tahun ini, kita mendapatkan penghargaan dari Pemerintah atas keberhasilan sebagai daerah yang berhasil mencapai Tujuan Pembangunan Global atau biasa disebut dengan MDGs atau Millenium Development Goals.”
Sementara itu, sambung Gubernur, dalam bidang pembangunan demokrasi, pasca konflik Aceh sudah dua kali melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada secara langsung serentak tanpa ada halangan yang menggagalkan. Prestasi ini mendapatkan apresiasi baik dari Badan Pusat Statistik yang memposisikan Aceh sebagai wilayah dengan indeks demokrasi tertinggi di Indonesia.
Gubernur menambahkan, untuk keterbukaan informasi, pada tahun 2015 Pemerintah Aceh mendapat penghargaan sebagai lembaga dengan Indeks Keterbukaan Informasi terbaik di tanah air. Oleh karena itu, Gubernur berharap, para Komisioner Komisi Informasi Aceh dapat segera dilantik dan mulai bekerja dalam tahun ini.
Hal yang sangat membanggakan, adalah dalam hal pengelolaan keuangan negara. Setelah 10 tahun perdamaian, Aceh mendapat predikat Disclaimer dan Wajar Dengan Pengecualian oleh Badan Pemeriksa Keuangan, akhirnya untuk pelaporan keuangan tahun 2016 Aceh berhasil meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian atau WTP.
“Alhamdulilah, berkat kerja keras seluruh jajaran Pemerintahan Aceh, hasil audit keuangan Aceh tahun 2015, BPK RI memberikan predikat WTP kepada Pemerintah Aceh. Saya harapkan prestasi ini dapat kita pertahankan dan tingkat kualitasnya,” harap Doto Zaini.
Menurut Gubernur, beberapa prestasi tersebut telah menunjukkan bahwa kerja keras semua elemen di Pemerintahan Aceh dan dukungan dari masyarakat untuk merawat dan mewujudkan misi perdamaian mulai menunjukkan hasil yang cukup baik.
“Pencapaian ini harus kita tingkatkan lagi ke depan melalui program-program pembangunan yang lebih merespon dan menjawab kebutuhan rakyat dalam meningkatkan kualitas kesejahteraannya secara efektif, transparan dan tepat sasaran,” sambung Gubernur.
Masih Ada Pekerjaan Rumah
Meskipun telah banyak keberhasilan yang dicapai, namun Gubernur mengakui masih ada ‘Pekerjaan Rumah’ yang harus dituntaskan, di antaranya soal kemiskinan dan minimnya lapangan pekerjaan.
“Kita akui tingkat kemiskinan di Aceh masih relatif tinggi. Untuk permasalahan ini, kami telah menandatangani Peraturan Gubernur Aceh tentang Arah Kebijakan dan kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan Aceh, sebagai kebijakan Aceh dalam percepatan penanggulangan kemiskinan, pengurangan dan kesenjangan,” ungkap Gubernur.
Selain itu, saat ini Pemerintah Aceh juga terus berupaya untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan secara terpadu yang dimulai dari gampong. Saat ini Pemerintah telah memberikan alokasi dana secara khusus melalui dana desa untuk 6.474 gampong yang tersebar diseluruh Aceh.
Untuk diketahui bersama, tahun 2015 Aceh mendapat dana desa terbesar ketiga di Indonesia, yaitu sebesar Rp1,7 triliun. Dengan anggaran tersebut, tahun lalu setiap gampong di Aceh dapat mengelola anggaran sekitar Rp240 juta hingga Rp650 juta. Sedangkan di tahun 2016 ini, dana tersebut menjadi Rp3,8 triliun, sehingga setiap gampong bisa mengelola anggaran hingga Rp 851 juta.
Dengan dana sebesar itu, Gubernur berharap gampong dapat menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Aceh. untuk itu, Gubernur juga telah menginstruksikan seluruh jajarannya untuk melaksanakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ekonomi, membuka akses rakyat atas lapangan kerja, menurunkan tingkat kemiskinan dan peduli pada pelestarian lingkungan.
“Kepada masyarakat, saya sangat berharap dapat berpartisispasi dalam pembangunan Aceh dengan kritik dan saran membangun yang disampaikan dengan cara yang baik. Sikap kritis masyarakat adalah salah satu bentuk pengawasan atas keseluruhan proses pembangunan di gampong dan pembangunan Aceh pada umumnya,” kata Doto Zaini.
(Ngah | DM)