Terhitung hingga Agustus, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Aceh akan dilangsungkan dalam limit enam bulan kedepan, tepatnya pada Februari 2017.
Bagi kandidat Bakal Calon (Balon) Gubernur, Bupati/Walikota, tentu limit tersebut merupakan senggang waktu yang singkat untuk promosi diri. Belum lagi melakukan lobi politik antar pihak.
Pilkada Aceh tahun ini dominan mereka dari Petahana (Incumbent). Bagi kandidat ini mungkin cukup ‘cadas’ dalam menarik simpati rakyat.
Kandidat ‘Perte’ (Kalangan-Red) ini waktu tersisa untuk Pilkada tidak menjadi persoalan. Bahkan mereka sudah mencapai titik Finishing untuk promosi.
Kenapa tidak, hampir disetiap program pemerintahan yang dilakukan tercium aroma kampaye terselubung. Penyalahgunaan wewenang kerap terjadi disana.
Pemegang tampuk kekuasaan nomor satu dipemerintahan, bahkan berani mencetus nama pribadi dalam wujud keberhasilan program pemerintahan. Padahal untuk mencapai kesuksesan itu perlu kerja keras semua pihak.
Lihat saja salah satu keberhasilan diantara deretan kegagalan pemerintah itu adalah penghargaan yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk Aceh.
Dalam penggunaan anggaran 2015, Aceh mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Penghargaan itu lantas diumbarkan kepada masyarakat luas melalui media massa yang dikemas dalam bentuk advoria (Iklan Berbayar).
Kita rakyat tidak mengetahui atas dasar apa penobatan Aceh mendapat WTP, karena sejatinya masih terdapat ribuan masyarakat Seuramoe (Serambi-Red) ini kelaparan.
Belum lagi masih banyak yang menghuni gubuk reok, busung lapar, anak-anak putus sekolah dan kriminal terus melangit.
Penghargaan WTP yang diperoleh pemerintah rezim Zaini-Muzakkir memang patut kita apresiasi, bahwa secara administrasi penggunaan anggaran oleh pemerintah Aceh dapat dipertanggungjawabkan.
Kendatidemikian, WTP juga bukan berarti pemerintah Aceh bersih dari tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
WTP juga tidak bisa menjamin pemerintah Aceh bersih dari mafia proyek.
WTP juga tidak dapat mengubah nasib rakyat aceh yang kerap kita temui hidup melarat, meski anggaran untuk Aceh Meuruah (Berlimpah-Red) dengan Otonomi Khusus (Otsus).
Masyarakat Aceh kini resah dengan cara pemimpinnya menghamburkan uang demi pencitraan, karena dengan cara itu pemimpin kita kerap melakukan timpangan, penyalahgunaan wewenang dan uang rakyat.
Korbannya jelas masyarakat, karena setiap gerak langkah ‘Keumudoe’, rakyat yang menaggung beban dengan segala pengeluaran dan biaya hidup pemimpin.
Pemimpin saja terkadang merasa jadi raja. Padahal sungguh ia adalah sosok budak. Budak yang sewajarnya melayani rakyat atas segala persoalan.
Jelang Pilkada ini, pemimpin kita di Aceh sibuk dengan pencitraan di media massa melalui iklan berbayar. Tayangan iklan ini-pun hampir saban hari kita jumpai di media. Ini tentu membutuhkan biaya besar. Lagi-lagi, uang rakyat kembali telah disalahgunakan.
Bayangkan saja, jika anggaran pencitraan itu dialihkan kepada pembangunan rumah duafa atau sejenisnya untuk masyarakat miskin.
Langkah itu bahkan menjadi pencitraan positif dan menguntungkan bagi kandidat Incumbent serta beruntung pula bagi masyarakat.
Dewasa ini masyarakat Aceh tidak sebodoh yang dipikir. Pencitraan ala tahun 60-an sudah tidak menjadi patokan untuk menentukan pilihan dikotak pencoblosan.
Pemimpin kita jelas sudah lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri, kerabat dan keluarganya dibanding hajat hidup orang banyak.
Pemimpin kita sudah buta. Buta melihat rakyatnya melarat. Buta mendengar rakyatnya menjerit. Buta merasa rakyatnya kelaparan.
Kita rakyat ‘Ogoh’ dengan WTP. Kita cuma butuh HTP (Hidup Tanpa Penindasan). Ya, penindasan dari pemimpin kita sendiri.[]
Penulis adalah alumni Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh dan Alumni Basri-Dahan Jurnalis Institut (BJI) Kota Lhokseumawe.





