(Berbagi Pengalaman sebagai Pendonor Darah)
Oleh : Fathan Muhammad Taufiq

“Saya semakin merasakan bahwa darah yang saya donorkan itu sejatinya bukan darah saya, tapi darah saudara saya yang dititipkan Tuhan dalam tubuh saya, dan pada saat saudara saya membutuhkannya, saya berkewajiban untuk memberikannya. Saya merasa tidak sedangkan menyumbangkan darah saya, tapi saya merasa sedang “mengembalikan” darah saudara saya yang dititipkan di tubuh saya”.
Sampai setua ini, saya termasuk orang yang paling jarang berhubungan dengan jarum suntik, bukan karena alergi, tapi saya memang agak ngeri kalau harus bertemu dengan benda kecil berujung tajam itu. Alhamdulillah, sudah lima puluh tahun umurku, tapi belum sampai sepuluh kali tubuhku ditusuk “senjata”nya dokter dan perawat itu, selain agak takut, Alhamdulillah saya juga termasuk jarang sakit berat yang mengharuskan saya berhadapan dengan jarum suntik. Seingat saya, pertama kali saya merasakan tajamnya jarum suntik adalah ketika saya di khitan dulu pada saat berusia sebelas tahunan, dan setelah itu jarang sekali saya bertemu dengan benda itu.
Tapi anehnya, meski “takut” berhadapan dengan jarum suntik, tapi justru saya sama sekali nggak takut atau ngeri ketika harus “dicoblos” dengan jarum yang lebih besar. Yang saya maksud adalah jarum tranfusi yang dipakai untuk “menyedot” darah saat melakukan donor. Meski tak terlalu sering, tapi sudah belasan kali saya “menumpahkan darah” dan mengalirkannya ke tubuh orang lain yang saat itu membutuhkannya.
Pertama kali saya melakukan donor darah adalah ekitar 20 tahun yang lalu, adalah tepat saat republik ini memperingati ulang tahunnya ke lima puluh yaitu pada tanggal 17 Agustus 1995 yang lalu, itupun terjadi secara tidak sengaja. Ceritanya waktu itu saya akan mengikuti upacara bendera memperingati detik-detik proklamasi di halaman kantor bupati, karena tempat parkir sepeda motor sudah penuh, maka kuputuskan untuk menitipkan kendaraan dinas yang biasa saya pakai di rumah abang angkatku yang kebetulan tinggal tidak begitu jauh dari kantor bupati. Dan sebagai “Abdi Negara” yang patuh, sayapun mengikuti rangkaian upacara sampai selesai ditengah teriknya matahari yang lumayan menyengat kulit.
Usai menjalankan “tugas negara”, sayapun kembali ke rumah abang angkat untuk mengambil “kereta” saya. Kebetulan abang angkat saya yang karyawan swasta lagi libur, dia sedang memberi makan beberapa burung peliharaannya. Melihat kedatangan saya, abang saya memanggil, sayapun mendekat.
“Begini dik, ada anak saudara kita sedang mengalami pendarahan setelah di khitan secara kampung, sekarang dia di rumah sakit dan butuh tambahan darah, golongan darah kamu apa dik?” tanya abang angkatku,
“O..bang,” jawabku singkat,
“Kalau begitu kebetulan, kira-kira bisa nggak kamu jadi pendonor?” tanya abang saya lagi, waktu itu saya belum pernah jadi donor dan nggak tau bagaimana rasanya diambil darah, tapi saya langsung menyanggupi,
“Boleh bang,” jawabku mantap.
Abang angkat saya segera menyiapkan mobilnya, tapi saya memilih untuk mengendarai sepeda motor ke rumah sakit, akhirnya abang saya juga memilih untuk memakai sepeda motornya, kami pun berangkat bersama dengan kendaraan berbeda. Tanpa banyak basa basi, saya segera menuju ke laboratorium rumah sakit, seorang perawat segera memeriksa dan mengecek golongan darah dan HB saya. Golongan darah sudah sesuai dengan yang tercantum di KTP saya dan HB juga di atas 13, kata si perawat saya bisa jadi pendonor.
Perawat tadi segera mengajak saya ke ruang donor, menyuruh saya berbaring di bed yang sudah tersedia, sementara seprang perawat lagi mempersiapkan segala sesuatunya, kulihat sebuah jarum berukuran lebih besar dari jarum suntik yang tersambung dengan selang yang berujung pada kantong plastik khusus. Entah kenapa waktu itu saya sama sekali tidak merasa takut ketika jarum besar itu di”colok”kan di lengan kananku, tak lama kemudian cairan berwarna merah segera mengalir dari lenganku mengisi kantong plastik di ujung selang, saya memperhatikan darah itu mengalir “deras” melewati selang kecil itu,
“Jangan ditengok bang, nanti abang pening,” kata si perawat, tapi mata saya tetap tertuju pada selang yang sedang “menyedot” darah saya itu, saya sama sekali tidak mersa mual atau pening.
Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit, kantong plastik berisi 250 cc itu sudah terisi penuh dengan cairan berwarna merah yang tidak lain darah saya. Perawat mencabut jarum dan mengusap bekas jarum ditanganku dengan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol, masih ada titik-titik darah yang keluar, kemudian perawat menutup “luka” itu dengan plaster. Seorang perawat lagi segera membawa darahku ke ruang rawat pasien yang sedang membutuhkan tambahan darah itu.
“Tiduran dulu sebentar bang, biar nggak pusing” kata si perawat, tapi saya sudah terlanjur bangkit, saya tidak merasakan efek apapun, meski sudah disedot sebanyak 250 cc, dan tanpa memperdulikan “warning” dari perawat tadi, saya langsung ngeloyor ke kantin rumah sakit, abang angkat saya mengikuti dari belakang. Di kantin saya memesan dua butir telor setengah matang dan segelas kopi.
Usai meneggak dua butir telor ayam setengah matang dan menghabiskan segelas kopi, kondisi fisik saya terasa fit kembali, saya segera pamit pulang untuk istirahat, tidak saya rasakan lemas atau pusing, sayapun pulang dengan mengendarai sepeda motor sendiri, sementara abang angkat saya yang merasa khawatir, mengikuti dari belakang. Sampai di rumahpun saya tidak segera membaringkan diri di ranjang, tapi duduk-duduk di kursi dulu menemani abang angkat saya,
“Bagaimana dik, apa yang adik rasakan,” tanya abang saya,
“Nggak ada rasa apa-apa bang, biasa saja,” jawabku, saya sengaja tidak menanyakan siapa yang menerima donor darah saya, yang penting darah yang saya bermanfaat bagi orang lain, toh saya tidak merasakan efek apapun dari donor tersebut.
Hanya berselang beberapa bulan dari situ, seorang temanku isterinya melahirkan di klinik bersalin, persalinanna tidak normal, sehingga harus dilakukan operasi Caesar. Sebuah kebetulan mungkin, saya melintas di depan klinik itu, kulihat temanku melambaikan tangan seperti memanggilku, sayapun menghentikan sepeda motor dan menghampirinya.
“Mas, istriku sedang operasi mau melahirkan, apa mas bisa bantu donor darah?,” begitu katanya dengan wajah terlihat cemas.
“Apa golongan darahnya mas?,” saya balik bertanya,
“O mas” jawabnya singkat,
“Oke, saya siap, kebetulan darah saya O” jawab saya mantap, dia segera memanggil dokter dan memperkenalkannya dengan saya. Sang dokter mengajak saya ke rumah sakit, karena di klinik itu belum ada laboratorium, saya ngikut saja di mobil dokter. Karena sudah pernah donor, sudah tidak ada rasa canggung lagi yang saya rasakan, bahkan saya enggan untuk berbaring ketika darah saya mulai di”sedot”, saya melihat cairah berwarna merah itu mengalir deras mengisi kantong plastic sambil duduk diatas bed, sementara dokter dan temanku tadi menungguku dengan sedikit perasaan cemas. Saat itulah saya merasakan bahwa darah yang sedang mengalir itu bukan darah saya, tapi darah saudara saya yang dititipkan di tubuh saya, dan saat itu saudara saya sedang membutuhkannya, maka saya harus merelakannya, itu yang terfikir di benak saya.
Tak butuh waktu lama, sekantong darah berisi 250 cc sudah berada di tangan dokter yang siap mentransfusikannya ke tubuh istri teman saya. Seperti memburu waktu, sang dokter segera “melarikan” darah itu ke kliniknya. Temanku mengajak saya ke kantin rumah sakit untuk memberi “fooding” pemulih tenaga saya, dan seperti yang sudah saya lakukan, saya memesan dua butir telor setengah matang dan segelas kopi.
“Gimana rasanya mas, pening atau lemas? Saya tadi ngeri lho lihatnya,” tanya temanku.
“Biasa saja kok mas, saya nggak merasakan efek apa-apa” jawabku menepis kekhawatirannya.
“Terima kasih lho mas, saya nggak tau apa yang bakal terjadi kalau tadi nggak ketemu mas,” kata teman tadi,
“Sudahlah, yang penting operasi istri mas bisa berjalan lancar, istri dan anak mas selamat, itu sudah membuat saya ikut bersyukur” jawabku tanpa maksud berbasa basi “Ayo kita balik ke klinik, istri mas pasti sudah menunggu,” ajakku.
Sampai di klinik, operasi sedang berjalan, saya tidak jadi masuk.
“Saya antar ya mas, nanti mas pening di jalan,” teman saya menawarkan,
“O, nggak usah, saya bisa jalan sendiri, nggak usah khawatir, temeni saja istri mas,” jawabku. Dan memang benar, tidak ada efek apapun ketika saya mengendarai sepeda motor sampai ke rumah.
Sejak saat itu, meski tidak terlalu sering, tapi ada saja jalan saya untuk mendonorkan darah saya, tapi begitupun setiap kali saya mendonorkan darah, saya tidak pernah berusaha mencari tau sipa sebenarnya penerima donor darah saya tersebut. Karena setelah berkali-kali mendonorkan darah, saya semakin merasakan bahwa darah yang saya donorkan itu sejatinya bukan darah saya, tapi darah saudara saya yang dititipkan Tuhan dalam tubuh saya, dan pada saat saudara saya membutuhkannya, saya berkewajiban untuk memberikannya. Saya merasa tidak sedangkan menyumbangkan darah saya, tapi saya merasa sedang “mengembalikan” darah saudara saya yang dititipkan di tubuh saya. Dengan demikian saya tidak pernah merasa sedang menanam budi, sehingga tidak pernah berharap balas budi dari apa yang saya lakukan. Itulah sebabnya, setelah belasan kali mendonorkan darah, hanya satu dua orang saja penerima donor yang saya ketahui, selebihnya saya tidak kepingin mencari tau, di tubuh siapa darah saya sudah mengalir, karena saya menganggap bahwa itu adalah sebuah kewajiban kepada sesame yang memang harus saya lakukan.
Pengalaman Aneh.
Sudah belasan kali saya mendonorkan darah, semuanya berjalan lancar-lancar saja, hanya ada satu pengalaman yang rada “aneh” ketika saya mendonor untuk seorang pasien, yaitu orang tua dari teman saya, seorang perempuan tua yang menderita komplikasi beberapa penyakit dan kondisinya sudah sangat “emergency”. Seperti biasa, kejadiannya berlangsung tanpa disengaja, saya berada disitu tepat ketika ada yang membutuhkan darah saya. Tapi yang terjadi waktu itu, mungkin sekitar tiga tahun yang lalu, agak berbeda dari yang sudah-sudah. Biasanya proses pengambilan darah hanya berlangsung sekitar sepuluh menit saja, tapi kali ini sampai lebih dari setengah jam. Beberapa kali aliran darah saya seperti “macet”, tidak mengalir lancar seperti biasanya, sayapun merasa heran, kenapa bisa seperti ini. Bahkan perawat harus beberapa kali mengganti jarum, dan beberapa kali pula lenganku harus rela di”cocok” jarum-jarum itu, tapi waktu itu saya tidak berfikir tentang firasat apapun, karena saya berfikir itu hanya kejadian biasa.
Setelah kurang lebih 45 menit, kantong darah itupun terisi penuh, perawat segera membawanya ke ruang rawat ibu tua tadi, karena mereka bilang harus “direct transfusion”, saya sendiri nggak begitu paham artinya. Meski tidak merasakan efek apa-apa setelah menjalani donor, tapi saya sedikit merasakan keanehan, kok tidak seperti biasanya, tapi saya hanya memendam perasaan aneh itu sebagai sebuah pertanyaan dalam hati.
Dan pertanyaan itu terasa terjawab, ketika beberapa jam kemudian saya mendengar dari teman saya bahwa ibunya sudah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Pertanyaan dalam hati saya seperti terjawab, kenapa tadi darah saya keluarnya tidak lancar, saya hanya menduga, sebenarnya saat itu darah saya sudah tidak dibutuhkan lagi, karena si penerima donor sudah akan “dipanggil”. Tapi saya tidak pernah mempermasalahkan itu, karena saya punya prinsip harus melakukan itu ketika orang lain mebutuhkannya, siapapun orangnya.
Pengalaman itu tetap membekas di benak saya, tapi tidak lantas membuat saya “jera” untuk mendonorkan darah, setiap kali dibutuhkan, Insya Allah saya selalu siap melakukannya, karena mungkin hanya dengan cara itulah saya bisa membantu teman atau saudara saya.
Meski sudah berkali-kali mendonorkan darah, tapi sekalipun saya tidak pernah ikut donor “rame-rame” yang biasa dilakukan oleh komunitas tertentu pada moment tertentu. Bukan kerena jiwa sosial saya yang “tipis”, tapi saya hanya berprinsip pada asas manfaat saja. Ketika saya mendonorkan darah, saya ingin darah yang keluar dari tubuh saya segera bisa mengaliri tubuh teman atau saudara saya yang memang sedang membutuhkannya. Sementara donor “rame-rame” biasanya menghasilkan beberapa kantong yang belum tentu saat itu dibutuhkan orang, dan ketika sampai masa “kadaluarsa”nya, darah itu tidak ada yang menggunakannya, menurut saya itu hanya akan jadi mubazir.
Karena sampai saat inipun saya melakukan donor adalah semata-mata menganggap itu sebuah kewajiban, maka sampai saat inipun saya tidak ingat persis sudah berapa orang yang sudah “teraliri” darah saya, dan dalam tubuh siapa-siapa saja darah saya sudah “mengalir” saya juga tidak tau persis, dan saya memang tidak ingin mencari tau. Saya hanya punya prinsip, ketika darah saya sudah “berpindah tubuh”, maka itu bukan darah saya lagi, itulah sebabnya saya tidak ingin mengingat-ingatnya lagi. Itulah yang menyebabkan saya tidak mau mencatat apalagi mendokumentasikan aktifitas donor saya, bahkan saya selalu melarang perawat atau siapapun ketika mereka akan “mengabadikan” saya saat saya mendonorkan darah saya.
Kalaupun saya tulis pengalaman ini, mudah-mudahan Allah SWT menjauhkan saya dari sifat riya, saya hanya ingin berbagi bahwa donor darah itu bukan sesuatu yang menakutkan dan bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak akan memberi efek negatif bagi pendonor dan Insya Allah justru tubuh kita akan semakin sehat dan bugar, karena darah dalam tubuh kita selalu bertukar secara berkala.