Oleh: Ali Abubakar
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (QS. a-Mukminun: 1-3)
DI antara hal yang harus dihindari seorang mukmin adalah obrolan yang sia-sia, tidak berisi, tidak ada ujung pangkalnya, atau tidak ada manfaatnya. Perbincangan seperti itu adalah perbuatan yang dinilai sia-sia. Masyarakat Gayo mengungkapkannya dalam tamsil: atu itarah kin perahu, owe iputer kin tali (batu dipahat menjadi perahu, rotan dibentuk menjadi tali) alias perbuatan yang sia-sia. Artinya, obrolan (cerak-cerak) tanpa manfaat hanya menghabiskan waktu dan energi, sementara manfaatnya tidak ada, harus dihindari. Tamsil ini dikuatkan oleh kalimat lain, arang meh, besi gere pijer (arang habis, besi belum berpijar). Nabi Muhammad sudah mengajarkan ini dalam hadis: berkatalah yang benar saja, atau sebaiknya kamu diam.
Jadi, masyarakat Gayo sudah memiliki falsafah hidup yang tinggi dalam memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Mereka adalah orang-orang yang telah menjalankan Syariat Islam dalam bentuk nilai-nilai luhur yang sudah terpatri dalam kehidupan adatnya. Peri mestike di atas mengajarkan kita untuk senantiasa mengisi waktu dengan kegiatam yang positif. Muyang Datu mengamanahkan agar isi pembicaraan tidak hal yang sama setiap saat—tidak ada perkembangan dan kemajuan: Senare opat kal, seneta due jengkal. Dalam pepatah lain disebut, ampa enti kebeni, kuyu enti itengkam (padi kosong/puso jangan disimpan di dalam lumbung, angin jangan ditangkap).
Artinya, tetue jemen juga menghendaki agar isi cerak senantiasa berubah dan rasional; tidak ada cerita yang menyebut ketol mujadi nege (cacing menjadi naga) kecuali untuk kekeberen atau memang menyatakan sesuatu yang tidak mungkin berubah (istilah ketol mujadi nege biasanya dipakai untuk menguatkan bahwa pinangan yang sudah diterima tidak akan dibatalkan, kecuali kalau suatu hal luar biasa terjadi dan tidak dapat dihindari). Termasuk dalam hal ini adalah berakah yang keterlaluan sehingga terkadang sampai menyinggung perasaan orang lain. Dengan kata lain, Urang Gayo menghendaki agar informasi yang kita dapat dan kita sampaikan kepada orang lain senantiasa mengalami kebaruan. Jadi, isi informasi yang didapat dan disampaikan senantiasa menuju ke depan, tidak berbalik ke belakang; selalu mengarahkan masyarakat kepada hal-hal yang masuk akan atau mengembangkan potensi akal.
Puasa sesungguhnya melatih kita untuk mengendalikan diri berbicara yang benar dan bermanfaat saja serta perkataan yang tidap pada tempatnya atau yang tidak baik. Selanjutnya, keadaan seperti itu tetap kita pakai selama sebelas bulan di luar Ramadhan nanti. Kapan pun, di manapun, obrolan yang tidak bermanfaat diperintahkan Allah untuk dihindari. Banyak ahli menyatakan bahwa Ramadhan adalah bulan pelatihan dan penyegaran yang manfaatnya akan dirasakan selama sebelas bulan berikutnya. Mari kita hindari perkataan atau obrolan yang masuk dalam kategori pungi mumepar, tenaruh mujadi puyuken (petir menggelegar, telur menjadi busuk).
“Puasa itu benteng, selagi puasa janganlah berbuat kotor dan berbuat bodoh”
(HR Bukhari)
—
Ali Abubakar Aman Nabila adalah Dosen Filsafat Hukum Islam pada UIN Ar-Raniry Banda Aceh. email: aliamannabila@yahoo.co.id