Media (Jangan) Ikut Perkosa Korban Perkosaan

oleh

Catatan: Iranda Novandi

ilustrasi media

DALAM beberapa pekan terakhir ini, kita dibuat marah besar sekaligus sedih dengan maraknya aksi pelecehan seksual dan pemerkosaan yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Ironisnya lagi, para korban pelecehan seksual tersebut adalah anak-anak dibawah umur dan juga dilakukan oleh anak-anak juga.

Bahkan yang teramat menyedihkan dan memilukan lagi, perlakuan pemerkosaan itu dilakukan secara sadis yang dilakukan secara bergerombol layaknya perlakukan hewani hingga berujung pembunuhan yang sadis.

Sebut saja kasus seorang anak sekolah berusia 14 tahun di Bengkulu yang diperkosa secara bergiliran kemudian dibunuh oleh kawanan manusia berusia remaja yang berhati hewani.

Kasus lainnya, perkosaan yang juga dilakukan secara bergerombol oleh penjahat kelamin ini terjadi di Aceh, dimana seorang siswi SMP di perkosa di dalam mobil dan pelakunya genk anak motor, memvideokannya lalu disebar ke sama anak genk.

Begitu juga seorang siswi SMP yang masih berusia 13 tahun di Surabaya. Ironisnya, pelakunya masih tergolong ingusan dan berstatus pelajar SMP dan SD, dimana lima pelaku masih bertatus pelajar SMP dan tiga siswa SD. Tragisnya kasus pencabulan ini sudah terjadi sejak April 2016 dan terus berlanjut hingga terungkap.

Kita yakin, masih banyak lagi kasus yang terjadi diberbagai daerah di negeri ini, namun tak terekspos ke luar atau media massa. Hal ini bisa dilihat dari catatan Tahunan 2016 Komnas Perempuan. Dimana, dari kasus kekerasan terhadap perempuan, kekerasan seksual berada di peringkat kedua, dengan jumlah kasus mencapai 2.399 kasus (72%), pencabulan mencapai 601 kasus (18%) dan sementara pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%).

Di Aceh sendiri, Polda Aceh sudah menangani 47 kasus kekerasan seksual terhadap anak sepanjang 2016. Termasuk kasus pemerkosaan remaja 15 tahun oleh empat pemuda di dalam mobil, kasus ayah mencabuli anaknya sendiri yang masih berusia tujuh tahun, ada juga perlakuan sodomi yang dilakukan seorang pria terhadap 11 anak.

Hasil dari investigasi yang dilakukan The Foundation Kita dan Buah Hati, Aceh menduduki peringkat pertama aksi kejahatan pelecehan seksual di Indonesia. Kemudian peringkat selanjutnya disusul Jawa Timur dan ketiga Jawa Barat.

Sungguh pilu memang nasib anak-anak kita. Rasanya seperti tidak ada lagi tempat aman dan nyaman bagi mereka dan tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya untuk bisa melindungi dan menjaga buah hati ini.

Disisi lain, dengan maraknya kasus pelecehan seksual dan perkosaan ini, semakin menjadi-jadi, hanya karena media massa (cetak, elektronik, cyber/online) masih banyak yang tidak ber-empaty.

Setiap hari, masyarakat pembaca ‘diajari’ dengan bagaimana cara melakukan perkosaan tersebut, dengan mengulas secara detil dari detik awal hingga detik akhir perlakukan perkosaan tersebut, layaknya roman picisan.

Tindakan tersebut, sama saja media juga ikut memperkosa pelaku perkosaan tersebut. Sebab diurai dengan detil, sehingga anak-anak yang tidak tahupun jadi tahu, bagaimana cara memperkosa yang baik.

Begitu juga dalam menyebutkan data atau nama korban perkosaan. Media seakan sadar benar tidak boleh menyebutkan nama korban pelecehan seksual atau perkosaan, namun dibagian lain menjelaskan dengan detil alamat, sekolah, bahkan nama orang tua korban.

Sunggu ironi memang. Padahal dalam ikwal pemberitaan menyangkut pelecehan seksual ini, jelas sudah di atur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dimana, Pasal 4 KEJ dengan jelas menyebutkan: “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul”.

Dalam penjelasannya pasal 4 ini pada poin (c) dan (d) telah diuraikan, poin (c). Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan dan poin (d). Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

Menyangkut indentitas korban pelecehan seksual atau perkosaan, pada pasal 5 KEJ juga sudah sangat jelas. Dimana, pada Pasal 5 disebutkan “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan”.

Penafsiran dari pasal ini, yakni: (a). Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. (b). Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Begitu juga dengan penampilan foto atau ilustrasi juga sangat banyak yang tidak berempati bahkan sama sekali tidak beretika. Dimana, gambar (foto) yang ditampilkan memperlihatkan korban dengan jelas. Begitu juga dengan ilustrasi, terkadang menonjolkan cara melakukan perkosaan tersebut, seperti tangan wanita yang jepit dari atas tangan laki-laki. Ada juga ilustrasi yang mengambarkan perkosaan langsung meskipun dalam bentuk siluet atau remang-remang.

Yang sangat vulgar, sering diperlihatkan dalam judul berita. Dimana, judul yang begitu bombastis seakan-akan menonjolkan perlakuan pelecehan tersebut. Judul yang bombastis namun tidak mendidik ini jelas-jelas, semata-mata dibuat hanya untuk mencari rating saja, terutama untuk media-media berbasis cyber atau online.

Seharusnya, jangan hanya untuk mengejar rating, lalu etika dan etis kita sebagai wartawan hilang. Bukankah, wartawan itu prinsifnya pendidik, sebagaimana empat dasar fungsi per situ sendiri.

Lalu, apakah media yang melakukan pelanggaran ini bisa dikenakan sanksi hukum? Memang tidak ada sanksi hukum yang diatur sejara jelas dalam UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Namun, sanksinya lebih kepada sanksi moral.

Pelanggaran KEJ memang lebih bersifat moral, terutama terkait dengan kepercayaan masyarakat terhadap karya jurnalistik. Jika, ada media yang terkena sanksi moral ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa wartawan/jurnalis tidak memiliki standar dan tolok ukur yang jelas dalam menjalankan profesinya atau saat ini dikenal dengan nama tidak kompeten.

Meskipun, tidak ada sanksi hukum secera jelas ini, namun bila ada yang merasa dirugikan dengan pemberitaan kasus pelecehan seksual dan perkosaan ini bisa menempuh jalur hukum dengan melaporkan wartawan dan media tersebut ke Dewan Pers. Lewat jalur Dewan Pers, bisa jadi wartawan tersebut dikenakan sanksi hukum bahkan media bisa dipidana, bila media tersebut tidak berbadan hukum Indonesia dalam hal penerbitannya.

Di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), ada empat jenis sanksi yang dijatuhkan bagi wartawan yang melanggar KEJ, yakni Peringatan Biasa, Peringatan Keras dan Skorsing dari keanggotaan selama dua tahun serta pencabutan keanggotaan atau pemecatan dari anggota PWI.

Terakhir, sebagai wartawan dan media, hendaknya janganlah kita menjadi bagian dari objek pelaku, meskipun kejahatan seksual tersebut dilakukan secara ferbal dengan pemberitaan yang tidak berpihak pada korban.

Berita yang disiarkan media, janganlah menjadi “alat pendidik” bagi pihak lain untuk melakukan pemerkosaan atau pelecahan seksual. Hanya karena media menceritakan secara detil bagaimana aksi pemerkosaan itu dilakukan dari tahap ke tahap hingga akhir (klimak).

Ingat Wartawan, jangan ikut melakukan pemerkosaan lewat berita yang dibuatnya.!!!

Penulis, Wakil Ketua Bid Pendidikan PWI Aceh

Kepala Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.