Pendidikan Anak, Keluarga dan Keteladanan

oleh

Oleh : Muhamad Hamka*

Muhammad-HamkaPendidikan adalah ziarah kemanusiaan. Karena hanya melalui pendidikanlah; paradigma, sikap, dan perilaku umat manusia dapat berubah dan tercerahkan. Maka tak heran kalau Nabi Muhammad Saw. menyuruh umatnya menuntut ilmu hingga ke negeri Cina, sebuah negeri yang tentu saja sangat jauh dari jazirah Arab pada masa itu.

Seturut dengan itu, seorang filsuf terkemuka Inggris, John Locke (1632-1704), juga ikut menggemakan pentingnya pendidikan. Menurut Locke, “sejak lahir manusia merupakan sesuatu yang kosong dan dapat di isi dengan pengalaman-pengalaman yang diberikan lewat pendidikan dan pembentukan terus menerus.” (Seri Buku VOX, seri 38/3/1993).

Sementara itu, kita tahu bahwa tempat pertama seorang anak mendapatkan pendidikan adalah dilingkungan keluarga. Hal ini bahkan ditegaskan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya “tiada seorang bayi pun yang lahir, melainkan dilahirkan dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orangtuanyalah yang menjadikanya Yahudi, Majusi, dan Nasrani.” (Hadis Riwayat Al Bukhari). Sehingga keluarga sudah seyogianya menjadi madrasah atau sekolah pertama dan utama seorang anak. Karena di lingkungan keluargalah, seorang anak melewati nyaris sebagian besar waktunya dalam memperoleh pendidikan. Maka tidak berlebihan kalau keluarga disebut sebagai pondasi pendidikan seorang anak.

Sehingga kokoh atau tidaknya pondasi pendidikan anak, baik atau buruknya pondasi pendidikan anak, sangat tergantung pada pendidikan di keluarganya. Maka figur bunda dan ayah memiliki peran penting dan strategis dalam menumbuhkan karakter positif, sekaligus menggali segenap potensi kemanusiaan seorang anak sebagai karunia Tuhan; baik itu potensi ruhaniyah (spiritual), aqliyah (pikiran), nafsiyah (jiwa), dan jasmaniyah (tubuh).

Agar ayah dan bunda bisa memaksimalkan peran mereka dalam menumbuhkan karakter yang manusiawi dan menggali berbagai potensi kemanusiaan sang anak, maka kedua orangtua harus memosisikan anak sebagai titipan sekaligus karya Tuhan yang harus dijaga dan dirawat dengan sepenuh hati dan segenap cinta dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Munif Chatib, seorang praktisi Multiple Intelligences merefleksikan hal ini dengan baik, “saya percaya, setiap anak yang dilahirkan dari rahim ibunya bagaimanapun kondisinya, dia adalah masterpiece. Karya agung Tuhannya. Sebab Allah Swt. tidak pernah membuat produk-produk gagal. Hanya kesabaran orangtualah yang di uji.” (dalam buku: Orangtuanya Manusia:2012).

Menjadi orangtua adalah anugerah terindah yang harus disyukuri. Maka salah satu cara terbaik untuk mensyukurinya adalah dengan menjadikan keluarga sebagai tempat pendidikan yang paripurna bagi anak. Untuk itu, semangat kerjasama antara ayah dan bunda sangat penting, pun kesamaan visi menjadi mutlak bagi bunda dan ayah dalam menentukan arah pendidikan anak dikeluarga.

Dengan visi yang selaras dan semangat kerjasama, kedua orangtua akan menemukan formulasi yang tepat dalam menumbuhkan karakter positif dan menggali potensi kemanusiaan anak. Dan yang tidak kalah pentingnya tentu saja kesabaran. Kesabaran merupakan kunci bagi orangtua dalam mendidik anaknya. Kesabaran akan menuntun ayah dan bunda dalam menemukan potensi kemanusiaan seorang anak. Dengan kesabaran, orangtua bisa menemukan bintang terang dalam diri seorang anak.

Untuk itu, orangtua harus memosisikan anak sebagai titipan Tuhan yang punya hak dan kemerdekaan sebagai seorang anak manusia. Maka ruang dialog menjadi keniscayaan dalam mendidik anak. Komunikasi yang partisipatif dan dialogis akan membuat anak dihargai sekaligus memacu ia untuk bertanggung jawab dengan segala tindakannya. Hal ini menjadi sangat penting, karena sejak didalam kandungan bundanya, seorang anak sudah terbiasa diajak dialog dan komunikasi. Sehingga akan menjadi aneh baginya ketika lahir didunia, ia tidak diberikan ruang yang terbuka untuk mengemukakan pikiran, berkreasi dan berekspresi.

Ruang dialog yang partisipatif meniscayakan diskusi, yang ujungnya akan melatih anak menggunakan akalnya untuk berpikir kritis. Sehingga orangtua yang baik diharuskan belajar menjadi pendengar yang baik sekaligus responsif. Menjadi pendengar yang baik dan responsif akan menstimulus karakter positif, potensi, dan kecerdasan seorang anak. Karena “anak memiliki kemampuan seluas samudera: kemampuan kognitif yang menghasilkan daya pikir positif, kemampuan psikomotorik yang menghasilkan karya bermanfaat dan penampilan dahsyat, serta kemampuan afektif yang menghasilkan nilai dan karakter yang manusiawi sesuai fitrahnya.” (Chatib:2012).

Diatas itu semua, orangtua yang baik adalah ayah dan bunda yang bisa mengharmonikan kata dan perbuatan, atau sering kita sebut dengan keteladanan. Keteladanan merupakan hal yang fundamental dalam menumbuhkan karakter manusiawi seorang anak. Keteladanan merupakan pembelajaran yang akan menuntun anak—mengutip Ali Syariati dalam bukunya Man and Islam (1982)—pada kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas.

Bangsa kita saat ini sesungguhnya sedang mengalami krisis keteladanan. Untuk itu, sebagai orangtua, mari kita mulai membangun peradaban bangsa ini dengan menjadi teladan yang baik bagi anak dan keluarga kita. Pendidikan anak dalam keluarga bukan soal teori atau strategi parenting yang hebat, namun soal yang sungguh sangat sederhana, yakni keteladanan.

*Ayah seorang putri

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.