‘Main Saham’ Semudah ‘Meukat Campli’

oleh

Oleh Muhammad Syukri*

Muhammad-SyukriBERDAGANG (trader) atau meukat, bukan profesi baru bagi orang Aceh. Bukan saat ini saja orang Aceh gemar meukat, tetapi sudah dilakoni sebelum negara ini lepas dari penjajahan Belanda. Kita sering mendengar orang Aceh berdagang ke Pulau Penang, Malaysia. Mereka menjual hasil bumi dari pantai timur Aceh, lalu sekembalinya dari negeri jiran itu, mereka membawa kain dan berbagai kebutuhan lainnya.

Para penjelajah Selat Malaka itu dikenal sebagai saudagar Aceh. Di kampungnya, para saudagar itu dipanggil dengan sebutan tauke, sebutan untuk kelompok kelas menengah dalam strata sosial di sana. Mereka hidup berkecukupan dan memiliki rumah lebih bagus dibandingkan rumah warga sekitarnya. Di mata warga, para saudagar itu adalah patron, idola anak muda. Makanya, para anak muda kerap “bermimpi” ingin menjadi seorang tauke.

Demi meraih posisi kelas menengah yang berjuluk tauke, anak muda di sana sering memutuskan untuk merantau. Uniknya, bukan hanya anak muda yang pergi merantau, seorang suami rela meninggalkan anak isteri di kampung halaman untuk mengadu nasib di perantauan. Tujuannya hanya satu, bisa membuka usaha sendiri. Meski usaha itu hanya sebagai penjual cabe merah di pasar subuh, tetapi di kampungnya, dia sudah dipanggil tauke campli (saudagar cabe).

Menjadi tauke
Dewasa ini, setelah internet masuk ke seluruh pelosok negeri, sebenarnya siapa saja bisa menjadi tauke. Tidak perlu berjualan cabe di pasar subuh, atau merantau ke kota lain, apalagi harus berlayar ke Pulau Penang. Dengan fasilitas teknologi informasi, kita bisa menaikkan status sosial menjadi tauke, meskipun bekerjanya dari meja makan, dari kamar tidur, dari ladang maupun dari warung kopi. Penasaran?

Itulah berdagang di bursa saham, berinvestasi pada perusahaan-perusahaan raksasa yang ada di Tanah Air. “Tauke saham, peu bala nyan?” begitu komentar warga ketika menyinggung urusan saham. Sebuah usaha yang dianggap ribet dan rumit, apalagi harus berhadapan dengan teknologi informasi. Disadari, trader atau pedagang di bursa saham belum se-familier menyimpan paon ringgit atau meukat campli.

Buktinya, dari 4,2 juta lebih penduduk Aceh, hanya 2.784 orang yang ikut sebagai trader saham dengan nilai investasi sebesar Rp 745 miliar (Harian Ekonomi Neraca, 29/1/2016). Data itu mempertegas bahwa setiap 1.521 orang yang tinggal di Aceh, hanya 1 orang yang menginvestasikan uangnya dalam bentuk saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Padahal, seperti kata Kepala Kantor BEI Aceh, Thasrif Murhadi (Neraca, 29/1/2016], untuk menjadi seorang investor tidak perlu memiliki biaya yang besar, dengan biaya Rp 100 ribu saja juga sudah bisa menjadi seorang pemilik aset. Benarkah?

Menurut saya cukup benar. Mari kita ambil contoh saham maskapai Garuda (kode saham GIAA). Pada penutupan pasar saham 29 Januari 2016 lalu, harga saham GIAA Rp 395 per lembar. Murah bukan?

Bagaimana tidak murah, dua lembar saham Garuda setara dengan sebatang rokok. Harga sebungkus rokok merek DHL saat ini adalah Rp 18 ribu, maka harga setiap batangnya Rp 900 (Rp 18.000 dibagi 20 batang sama dengan Rp 900 per batang). Seandainya seorang perokok mampu menghabiskan sebungkus rokok setiap hari, maka nilainya setara dengan 40 lembar saham GIAA. Fantastis!

Makanya cukup benar pernyataan Thasrif Murhadi tadi, investasi dalam bentuk saham tidak mesti dengan uang puluhan atau ratusan juta rupiah. Cukup dengan uang Rp 79.000, kita sudah bisa membeli 2 lot (1 lot = 100 lembar) saham GIAA (Garuda). Maknanya apa? Dengan kepemilikan saham tersebut, sesungguhnya kita sudah mempunyai andil dalam bisnis maskapai penerbangan Nasional itu. Maskapai yang setiap hari mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar.

Berdagang di bursa saham cukup simpel, semudah meukat campli. Mari kita buat analoginya, misalnya, tadi pagi seorang tauke campli membeli 100 kilogram cabe merah dengan harga Rp 4.000 per kilogram. Tidak sampai lima menit, datang seorang pemilik rumah makan yang ingin membeli cabe merah itu dengan harga Rp 4.100 per kilogram. Merasa sudah memperoleh laba Rp 10.000, tauke campli langsung deal, jual.

Sesaat kemudian, datang lagi seorang petani menjual cabe merah dengan harga Rp 4.100 per kilogram, setelah tawar menawar, disepakati harga pada angka Rp 4.050 per kilogram. Sepuluh menit kemudian, datang seorang ibu rumah tangga yang ingin membeli cabe merah itu. Tauke campli mematok harga Rp 4.500 per kilogram, si ibu setuju. Terjadilah transaksi jual beli karena si tauke campli sudah menghitung dapat laba Rp 450 setiap kilogramnya.

Bursa saham
Nah, begitu pula transaksi trading online di bursa saham, kurang lebih seperti transaksi antara tauke campli dengan ibu rumah tadi. Contohnya, ketika 10 lot saham Garuda (GIAA) yang kita beli kemarin pada harga Rp 395 per lembar (harga 10 lot = Rp 395.000), lalu harganya naik dalam pasar bursa saham hari ini. Dari harga Rp 395 per lembar menjadi Rp 450 lembar. Apa yang harus dilakukan? Jual atau diamkan.

Dalam keadaan seperti ini, ada dua keuntungan yang mungkin bisa diperoleh seorang pemegang saham. Pertama, membiarkan saham itu karena dia mengharap deviden atau pembagian keuntungan dari perusahaan. Dan, kedua, ingin memperoleh capital gain, yaitu selisih antara harga beli dan harga jual. Misalnya, harga 10 lot saham GIAA Rp 395.000. Hari ini, harga saham itu naik menjadi Rp 450 per lembar, maka diperoleh selisih harga sebesar Rp 55 ribu apabila saham itu dijual.

Siapa yang bertugas menjual saham itu, kita? Bukan, kita adalah tauke yang memberi perintah kepada broker atau pialang saham untuk jual (sell) atau beli (buy) saham. Untuk memudahkan para tauke berdagang saham, para pialang menyediakan fasilitas trading online. Cara beli atau jual, para tauke saham mengisi form di laman website trading online itu, ketik kode saham yang tersedia. Klik GO, klik tombol buy (beli) atau sell (jual). Lalu keluar harga saham detik itu, isi jumlah lot dan muncul total harga secara otomatis, isi PIN Code, dan klik submit sebagai tombol perintah kepada pialang. Dalam tempo sekian detik, perintah itu langsung direspons dengan munculnya keterangan di kolom order: matched (cocok), open (buka/menunggu), atau reject (tolak).

Lantas, apa yang diperoleh para pialang itu? Fee dari setiap transaksi jual atau beli berdasarkan perintah dari para tauke saham, meskipun tauke kecil karena sahamnya senilai Rp 39.500 (1 lot saham), tapi perintahnya dipatuhi oleh pialang.

Siapa saja pialang saham yang menyediakan fasilitas trading online itu? Banyak, ada BNI Securities, CIMB Securities Indonesia, First Asia Capital, Henan Putihrai, Indo Premier Securities, Kiwoom Securities Indonesia, Lautandhana Securindo, Mandiri Sekuritas, Mega Capital Indonesia, dan beberapa pialang lainnya. Berminat, silahkan mencoba!

* Staf Ahli bidang Ekonomi Pembangunan (Ekbang) pada Pemkab Aceh Tengah.
(Sumber : aceh.tribunnews.com)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.