Jakarta-LintasGayo.co : Masyarakat Gayo mengenal adanya sepuluh sastra lisan Gayo, di antaranya didong, kekeberen, kekitiken, melengkan, pantun, peribahasa, saer, sebuku, tep onem, dan ure-ure. “Yang paling bertahan, didong dengan melengkan,” kata Yusradi Usman al-Gayoni, pembicara utama Seminar Bahasa dan Festival Bahasa Ibu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud dengan tema “Bahasa Ibu Peletak Pondasi Kecerdasan Anak” di Jakarta, Rabu, 30 Maret 2016.
Dalam seminar yang menghadirkan pakar linguistik dan pemerhati/aktivis bahasa ibu tersebut, Yusradi memaparkan Peran Kekeberen dalam Melestarikan Bahasa Gayo dan Relasinya dalam Meningkatkan Kecerdasan Anak. “Kekeberen (bercerita) sangat berpengaruh dalam meningkatkan kecerdasan dan kreativitas anak. Bahkan, memudahkan anak dalam proses belajar di sekolah,” sebut Yusradi, sambil melanjutkan, “Sayangnya, di Gayo (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah), masyarakat sudah jarang berkekeberen. Apalagi, kekeberen yang berisi tentang cerita rakyat Gayo. Karena, dokumentasi tentang cerita rakyat Gayo tidak ada di Gayo. Termasuk, di Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah,” ungkapnya.
Di lain pihak, sambung alumni Linguistik Universitas Sumatera Utara (USU) itu, bahasa Gayo yang dipakai sebagai media berkekeberen sudah mulai tidak dipakai dalam keluarga yang merupakan benteng terakhir pemertahanan bahasa dan tempat berkekeberen. “Ekologi bahasa Gayo itu sudah berubah. Otomatis, daya dukung terhadap kekeberen juga berkurang. Orang tua beranggapan, anak-anak serta merta bisa berhahasa Gayo. Padahal, lingkungannya tadi sudah berubah, berbahasa Indonesia,” katanya.
Disebutkan penulis yang sudah menulis 8 buku dan mengeditori 25 buku itu, karena besarnya manfaat kekeberen terhadap anak, orang tua sebaiknya tetap ber-kekeberen. “Tidak masalah menggunakan bahasa Indonesia, karena saat ini banyak anak-anak yang kurang paham bahasa Gayo. Terutama, kelahiran tahun 1990-an, sampai sekarang. Tapi, istilah, bahasa, dan local content (tentang Gayo) diusahakan tetap dimasukan dalam cerita tersebut. Soalnya, bahasa ibu (bahasa Gayo) merupakan dasar bagi bahasa Indoenesia dan bahasa asing,” tegas Ketua Language Rights Institute itu.
Dalam kesempatan itu, anggota tim peneliti Peran Bahasa dan Kebudayaan dalam Konteks NKRI: Keanekaragaman untuk Persatuan dan Kesatuan di Aceh Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (Januari-Juli 2015) itu, menyinggung perlunya revitalisasi bahasa dan sastra lisan Gayo.
(AF)