Berdialog dengan Penghuni Danau Lut Tawar

oleh
Populasi Memin Kul atau Kijing Taiwan (Anodonta woodiana) bersama sampah di dasar Danau Lut Tawar pada kedalaman enam meter dibawah permukaan danau.(LG.co_Munawardi)

Catatan Iranda Novandi

Populasi Memin Kul atau Kijing Taiwan (Anodonta woodiana) bersama sampah di dasar Danau Lut Tawar pada kedalaman enam meter dibawah permukaan danau.(LG.co_Munawardi)
Populasi Memin Kul atau Kijing Taiwan (Anodonta woodiana) bersama sampah di dasar Danau Lut Tawar pada kedalaman enam meter dibawah permukaan danau.(LG.co_Munawardi)

MENIKMATI panorama yang indah merupakan impian setiap orang yang berkunjung ke Kabupaten Aceh Tengah. Tentu saja, panorama yang teramat indah itu adalan Danau Lut (Laut) Tawar (DLT).

Seperti biasa, bila ke Aceh Tengah kesempatan ini selalu ku manfaatkan,itu melihat panorama ciptaan Agung yang Masa Kuasa. Memang, danau yang memiliki luas 5472 hektar dengan panjang 17 km dan lebar 3,219 km adalah anugera yang terindah bagi Gayo.

Namun, kali ini ada rasa yang berbeda dari waktu-waktu sebelumnya. Saat menikmati panorama DLT, seakan ada suara-suara tangisan dan rintihan dari dalam danau. Ku coba selami jiwa-jiwa dibawah laut tawar tersebut. Betapa terkejutnya saat ku temykan 46 jenis plankton yang terbagi atas 11 kelas, diantaranya Chlorophyceae sebesar 35%, Bacillariophyceae 24%, Myxophyceae 9%, dan kelas lain sebesar 32%.

Mereka bertanya pada ku. “Apa kami sudah tak berguna lagi bagi Gayo”. Pertanyaan itu membuatku terdiam.

“Siapa kalian,” tanya ku.

“Kamilah penghuni sah Danau Lut Tawar ini,” ujar mereka serempak dengan nada serak, seperti manusia yang baru usai menangis.

“Sabar…,” ujar ku lirih sambil meninggalkan mereka yang masih terlihat bersebuku. Belum jauh ku menyelami meninggalkan mereka para plankton tersebut, aku dihadang 3 jenis moluska (hewan bertubuh lunak), 1 jenis annelida  (Annelida, dari bahasa Latin anellus, “cincin kecil”), 37 jenis ikan termasuk salah satunya ikan endemik, yakni Depek.

“Kalian ini siapa lagi,” tanya ku.

“Kamilah kekayaan yang terpendam urang Gayo” ujar mereka.

“Kenapa kalian tampak bersedih,” tanya ku.

“Apa dosa kami, sehingga kami diusir dari istana kami,” ujar mereka serempak.

“Sabar…,” ujar ku sambil meninggalkan mereka, sama seperti yang ku lakukan pada kawanan Plankton.

Karena tak sanggup lagi menjawab, bila berjumpa dengan kawasan penghuni Danau Lut Tawar, ku putuskan untuk mengakhiri penyelaman ini. Namun, apa terjadi. Saat berada di pinggir danau sekelompok Hydrilla sp, eceng gondok, dan kiambang secara tak sengaja menemui ku di pinggiran danau.

“Kenapa kalian menghalangi ku, aku mau ke daratan,” ujar ku

“Tunggu, kami memang mungkin tak bermanfaat bagi manusia, namun kami bermanfaat bagi penghuni danau yang ada di dalam sana,” ujar mereka.

“Lalu, apa hubunganya dengan ku,” tanya ku rada kesal.

“Hari ini kami boleh musnah, namun suatu hari yang ada di dasar Lut Tawar juga akan musnah,” ujar Hydrilla yang memiliki tubuh paling panjang.

“Sabar…,” ujar ku sambil bergegas naik ke daratan dan berupaya meninggalkan Danau Lut Tawar.

Belum dua langkah ku meninggalkan danau, tiba-tiba 49 jenis serangga yang hidup di kawasan Danau Laut Tawar dari 20 spesies mamalia yang terbagi atas 13 famili, menghadang ku lagi. Meskipun tubuh mereka kecil-kecil, tapi kalau main keroyok seperti ini, rasanya aku tak sanggup menghadapi mereka.

“Saya tau, kalian adalah kekayaan urang Gayo danau ini dan kalian juga merupakan penghuni sah danau ini,” ujar ku.

“Bukan saja itu, kami adalah penyanggah kelestarian danau ini,” ujar mereka.

“Sa…”. Belum tuntasku ucapkan, mereka segera memotongnya.

“Sabar… sampai kapan? Sampai semuanya tinggal cerita,”ujar mereka.

“Tap…” ujar ku terputus, karena mereka kembali memotong perkataan ku.

“Tapi apa,” sergah mereka dengan nada tinggi. Apakah nasib kami juga harus seperti saudara kami yang seharusnya dilindungi, namun punah  atau hilang kemana rimbanya.

Aku tersadar, bahwa sebelumnya di sekitar Danau Lut Tawar ini dulu ada sejumlah hewan sebagai penghuni, seperti binturung, pukas, trenggiling, landak, kancil, napu, owa, siamang, tanado, harimau, kucing hutan, rusa, dan kijang.

Diantara mereka semua itu sebagian sudah punah, ada yang sudah berpindah habitat, tidak lagi menjadi penghuni sah di kawasan DLT. Ironis memang, penghuni sah saja bisa hilang, apalagi yang tidak sah.

Dari pertemuan dengan penghuni sah danau itu, bergegas ku buka buku-buku pelajaran waktu SMA dulu saat aku sekolah di SMA Pegasing – sekarang SMA … Takengon (nomornya aku lupa) guna mencari tau siapa sebenarnya mereka itu, semua yang mengaku penghuni sah DLT.

Yang pertama sekali ku temukan, fitoplankton. Ini mungkin masih satu keluarga dengan Plankton. Dimana, peran utama fitoplankton dalam ekosistem air tawar adalah sebagai produsen primer. Sebagai produsen, fitoplankton merupakan makanan bagi komponen ekosistem lainnya khususnya ikan. Posisi di dasar piramida makanan mempertahankan kesehatan lingkungan air. Bila ada gangguan terhadap fitoplankton, maka seketika komunitas lainnya akan terpengaruh. Komposisi fitoplankton tergantung pada kualitas air, karena itu jenis alga tertentu dapat digunakan sebagai indikator eutrofikasi air (Isnansetyo & Kurniastuty, 1995, hlm: 17).

Baru satu hal ku temukan, rasanya sudah mewakili semuanya. Bahwa memang mereka penghuni sah DLT dan harus diselematkan. Lagi pula, DLT ini merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya.

Bayangkan saja, jumlah aliran air permukaan yang mengalir ke Danau Lut Tawar terdapat sebanyak 25 aliran/sungai kecil yang berasal dari 18 daerah tangkapan air, dengan debit bervariasi antara 11 L/det – 2554 L/det (Saleh, et al, 2000). Jumlah daerah tangkapan air yang memiliki aliran permanen ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Saiful Adhar Alsa (2010), dimana hanya 12 daerah tangkapan air yang mengalirkan airnya secara permanen ke Danau Lut Tawar dengan jumlah titik inlet air sebanyak 18.

Tak terbayangkan jika 25 aliran sungai dan 18 daerah tangkapan air itu murka, mungkin bisa lebih dahsyad dari tsuami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam yang mengakibatkan ratusan ribu jiwa melayang.

Disaat membayangkan aliran sungai dan daerah tangkapan air itu, tiba-tiba air bah naik dan menghantam tubuhku. Dan saat itu juga aku tersadar, bahwa aku sedang bermimpi di siang hari di sebuah pondok kecil di pinggir Danau Lut Tawar di kawasan Toweran.

“Ah… ternyata hanya mimpi,” guman ku. Seperti dibawa nelangsa ku lirik sekitar. Ternyata baru ku sadari bahwa hutan di pinggiran danau mulai gundul, orang-orang pada menimbun pinggiran danau untuk dijadikan daratan.

Belum lagi sampah berserakan mengotori bibir danau. Sampah yang dibuang oleh para pengunjung dan  orang-orang yang lupa, bahwa mereka hidup dari danau itu. Bukankah sampah itu merupakan salah satu sumber pencemaran?

Mungkin, aktivitas para manusia serakah inilah yang membuat penghuni sah Danau Lut Tawar meminta ku untuk menyelamatkan mereka. Menyelamatkan mereka dari tangan-tangah jahil yang tak bertanggung jawab merusak Danau Lut Tawar yang merupakan sumber kehidupan bagi mahluk yang ada di sekitarnya. Bukan saja manusia, namun biota laut yang ada di dalamnya.[]

Penulis, wartawan Harian Analisa di Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.