Catatan: Iranda Novandi
APA, yang terpikir saat pertama sekali membaca judul di atas. Apakah jadwal Shalat Magrib? Masa perang Diponogoro? Atau jadwal jam tertentu? Asal jangan berpikir itu “kode” untuk dipasang. Hiks..hiks..hiks..
Sebenanya, saya hanya ingin mengingatkan, bahwa itu adalah jam “duka” bagi dua anak manusia dan jam keprihatinan kita sebagai anak bangsa, akan nasib masyarakatnya yang pemimpinanya berhadapan dengan kasus hukum.
Pertama, Badan Narkotika Nasional (BNN) menggerebek rumah pribadi Bupati Ogan Ilir (OI) AW Nofiadi Mawardi di Jalan Musyawarah III, Kelurahan Karanganyar Gandus, Minggu (13/3/2015) malam.
Dimana, menurut sumber internal BNN sebagaimana dilansir media massa, penggerebekan di rumah orang tua AW dilakukan sekitar pukul 18.20 WIB. Baru sekitar pukul 22.00 wib bupati termuda ini dibawa BNN untuk menjalani pemeriksaan.
Kedua, Bupati Bener Meriah Ruslan Abd Gani (RAG) dengan mengenakan rompi tahanan oranye keluar dari gedung KPK sekitar pukul 18.40 WIB. Tidak ada sepatahkatapun yang keluar dari pejabat asal Gayo karena, langsung masuk ke mobil tahanan untuk membawanya ke rutan Guntur.
Sebagaimana yang juga di lansir banyak media massa, RAG tersandung perkara kasus oleh KPK, dengan sangkaan, berdasarkan Pasal 2 ayat 1 atau UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP terhadap Ruslan.
Dalam kedua kasus ini, belajar dari berbagai kasus lainnya yang ditangani BNN dan KPK, bila sudah ditangkap dan ditahan, maka akan sulit bisa bebas. Mereka langsung jadi “pesakitan” hingga ke meja hijau.
Namun, azas praduga tak bersalah tetap berlaku dalam hukum positip di negeri ini. Dimana, putusan mejelis hakim merupakan keputusan tertinggi yang berhak menentukan seseorang bersalah atau tidak.
Disamping dua hal menyangkut jam atau jadwal di atas, ada juga tiga hal lain yang perlu kita ambil pembelajarannya dari kedua kasus tersebut. Ketiga hal tersebut yakni:
Pertama: Bukan bermaksud membela keduanya, namun janganlah hendaknya keduanya divonis di pengadilan massa, terutama di dunia media social (medsos). Seperti sebuatan “Bupati Sabu”, “Bupati Kotor”, “Bupati Busuk”. Ada juga kalimat “Mampus Kau…kini baru kau rasa” dan berbagai cap miring lainnya.
Namun, tak sedikit pula yang menulis, “Sabar Pak….”, “Semua ini ada hikmahnya….” “Inilah permainan kotor Pilkada” dan seabrek kesan keprihatinan lainnya. Tentunya, kedua pernyataan yang berbeda, antara hujatan dan keprihatinan ini dilakukan oleh orang-orang yang berbeda cara pandangnya dan semua itu bisa diterima sesuai akal sehat dari yang memberi pernyataan.
Dari kasus ini, mungkin sangat bijak kalau kita tidak menghakimi orang secara sistematis, terstruktur dan masif, meskipun dia benar-benar bersalah. Karena ada pihak yang lebih berhak menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak.
Kedua: Mengingat Aceh saat ini menjelang Pilkada. Ada 20 kabupaten/kota termasuk tingkat provinsi yang akan melaksanakan pesta demokrasi rakyat tersebut. Maka, kita harus benar-benar selektif dalam memilih jangan sampai ada calon yang ikut merupakan terlibat apalagi pecandu narkoba.
Begitu juga, para calon harus bisa benar-benar bebas dari indikasi korupsi. baik dilakukan saat masih aktif di karir birokratnya, maupun profesi lain yang kerap melakukan indikasi korupsi. artinya, katakana TIDAK bagi calon kepala daerah yang terlibat NARKOBA dan KORUPSI.
Ketiga: sering kita dengar ungkapan bahwa Narkoba dan Korupsi adalah musuh bersama. Sudah menjadi rahasia umum bahwa disemua lini juga ada kasus ini. bahkan, aparat hukumpun banyak yang terlibat, seperti pengungkapan kasus yang spektakuler dilakukan mantan Kapolda Aceh Irjen Pol Iskandar Hasan pada tahun 2007 atau 2008, bahwa ada 1000 polisi yang terindikasi terlibat narkoba dan terpaksa dibina, sedangkan yang tak bisa dibina langsung dibinasakan (pecat) – meminjam istilah pak kapolda kala itu –
Dalam kasus korupsi juga sama, banyak juga aparat penegak hukum juga pernah terpaksa berurusan dengan instutusi penegakan hukum. Kejaksaan Agung telah memecat 20 orang jaksa dari kejaksaan di seluruh Indonesia dengan terhormat, di antaranya 15 orang jaksa dipecat karena terlibat kasus narkoba dan 5 lainnya dipecat karena terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Pemecatan terhadap 20 orang jaksa tersebut telah dilakukan Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (JAMwas) M Jasman Panjaitan, sejak bulan Oktober 2014 hingga April 2015. Jasman menjelaskan, 20 orang jaksa tersebut dipecat sesuai dengan peraturan pemerintah (PP) Nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil.
Dari tiga hal tersebut, jika kita simpulkan. Narkoba dan Korupsi, merupakan biang kehancuran satu negara. Maka, sudah saatnya dilakukan ‘revolusi jiwa’ tidak cukup dengan ‘revolusi mental’. Sebab orang sudah terganggu jiwanya dengan narkoba dan korupsi, akan sulit disembuhkan. Orang gila (sakit jiwa) saja meski di obati dan dirawat di RS Jiwa, belum tentu bisa sembuh total.[]
Penulis, wartawan Harian Analisa di Banda Aceh dan penulis buku “Gayo 6,2 SR”.