Mualem, Politik Anti Nalar dan Rasionalitas Publik

oleh
Tagore dan Mualem. (LGco_Kha A Zaghlul)

Muhamad Hamka*

Wagub Aceh dan Wabup Bener Meriah di pesantren Darussa'adah Bener Kelipah Kabupaten Bener Meriah. (LGco-Razab)
Wagub Aceh dan Wabup Bener Meriah di pesantren Darussa’adah Bener Kelipah Kabupaten Bener Meriah. (LGco-Razab)

TAHAPAN Pilkada Aceh belum ditabuh KIP, tetapi para bakal calon (balon) gebernur Aceh periode 2017-2022 sudah mulai mengoperasi taktik dan strategi. Sejumlah balon gubernur seperti Irwandi Yusuf, Muzakkir Manaf, Tarmizi Karim dan Doto Zaini Abdullah sudah lalu lalang ke sejumlah kabupaten/kota di Aceh untuk “memasarkan” dirinya.

Yang paling menarik adalah mulai berseliwernya janji politik diruang publik. Janji politik memang menjadi salah satu strategi yang acapkali dipakai oleh peserta pemilu; baik itu parpol, calon presiden, calon legislatif, calon gubernur hingga calon bupati/walikota untuk memperoleh suara para pemilih. Janji politik yang tak membutuhkan biaya, namun hanya kepiawaian congor dalam mengolah kata, membuat banyak politikus jor-joran mengumbar janji.

Beberapa waktu terakhir, panggung “parlemen dunia maya” ramai memperdebatkan janji politik Wakil Gubernur Aceh, Muzakkir “mualem” Manaf saat berkunjung ke Takengon. Seperti biasa, pro dan kontra pun hadir menyeruak. Ada yang mendukung janji politik Wakil Gubernur Aceh itu, namun tak sedikit yang sinis. Seperti diberitakan oleh laman berita www.lintasgayo.co, terkait dengan persoalan penegerian kampus UGP yang terkatung-katung, Mualem menyarankan pendirian universitas baru di Tanoh Gayo. “Bangun saja Universitas Tanoh Gayo, untuk tahap awal kita siapkan dana 10 milyar, kalau saya terpilih jadi gubernur Aceh segera kita negerikan,” demikian kata Mualem di Takengon, Sabtu 12 Maret 2016.

Kalau memang Mualem serius dan punya itikad baik untuk kemajuan pendidikan tinggi di tanoh Gayo, maka ia seyogianya mendorong dan membangun dialog yang serius dengan komisi 1 DPR Aceh dan pihak terkait lainya agar status tanah kampus UGP di Belang Bebangka menjadi jelas. Karena salah satu persoalan fundamental yang membuat tersendatnya penegerian Universitas Gajah Putih (UGP) adalah status tanah UGP di Belang Bebangka yang belum jelas. Bukan justru hendak mendirikan kampus baru yang notabene membutuhkan dana dan waktu yang tak sedikit.

Janji politik Ketua Umum Partai Aceh ini memang mengusik nalar dan akal sehat banyak orang waras. Bagi orang-orang yang masih sehat pikiranya, tentu saja meradang dengan janji politik yang cendrung anti nalar dari Mualem ini. Atau memang ia sengaja memainkan politik anti nalar untuk mempolusi akal sehat publik Gayo. Padahal masih “membatu” dalam ingatan kolektif rakyat Aceh dengan janji 1 juta/kk yang pernah dijanjikan oleh Muzakkir Manaf dan Zaini Abdullah pada Pilkada Aceh 2012 silam, yang hingga hari ini tak jelas lagi nasibnya. Kita jadi bertanya, 1 juta/kk untuk rakyat Aceh saja tak mampu ditunaikan oleh Mualem, apalagi janji (politik) pendirian universitas Tanoh Gayo. Karena realitas politik yang terjadi selama ini, Gayo selalu berada pada zona pinggiran dalam kebijakan pembangunan pemerintah Aceh. Jadi, terang bagi kita, bahwa janji pembangunan universitas oleh Mualem hanya sekadar cuap-cuap politik belaka, tak lebih.

Mestinya, kalau nalar politik Mualem masih bekerja dengan baik, maka ia tidak patut lagi untuk menghamburkan janji. Ia seharusnya fokus saja mendialogkan visi besar yang bisa dicerna nalar, misi yang dapat dijangkau oleh akal sehat, dan program-program yang terukur dan masuk akal untuk membangun kesejahteraan manusia Aceh. Bukan justru mencemari akal sehat warga masyarakat wilayah tengah dengan janji politik yang tuna nilai. Akhirnya kita perlu mengakui, kalau Mualem memang orang pandai, dalam hal janji politik, hanya dalam hal itu.

Lalu apakah kita bisa menggantungkan masa depan Aceh dalam orkestra janji politik? Tentu saja tidak bisa. Janji politik sukar dipegang. Ini bukan teori politik, namun fakta yang menggiris akal sehat. Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakkir Manaf (Zikir) telah membuat sejarah penting dalam jagad politik di Aceh. Sejarah yang membuka wawasan rakyat, agar tidak boleh lagi percaya dan menggantungkan harapan pada janji politikus. Jutaan rakyat Aceh dengan penuh harap menunggu realisasi janji 1 juta/kk dari hari-ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun kepemimpinan mereka hampir usai, namun janji itu justru bermetamorfosa seperti politik yang sulit ditebak, menguap bahkan hilang tak berjejak. Namun ironisnya, tiba-tiba rakyat Aceh kembali disuguhi janji, justru oleh orang yang sama.

Maka disinilah dibutuhkanya rasionalitas. Rasionalitas publik tidak boleh mati. Karena bakal semakin banyak praktik politik anti nalar dalam bentuk janji ataupun dalam bentuk lainya menyusul semakin dekatnya tahapan Pilkada Aceh. Rasionalitas akan menuntun publik untuk memilah dan memilih dengan pilihan sadar. Dan ini menjadi tugas kita bersama untuk saling mencerahkan. Sehingga nanti usai Pilkada, tidak ada lagi sumpah serapah dan caci maki akibat menunggu janji yang tak kunjung muncul batang hidungnya.[]

*Pengamat Politik, tinggal di Takengon

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.