Nami Bukit Cinta
Oleh: Rismawati*
Eheeee… huuuuu!!!
Canda tawa muda-mudi memecah sunyi di penghujung malam. Sorak-sorai, seraya bertepuk, berdendang, berpantun, bergurau, memeriahkan acara didong jalu pada malam itu. Di antara riuhramai tawa, jangin didong terus bersahutan, sorot mata seorang pemuda tajam membelah hingga ke ulu hati Nami. Senyum simpul, dan debaran rasa disembunyikan di balik kain sarung yang melingkari tubuh Nami, sambil terus merenek pantun-pantun dalam Jangin didong.
Kudenang-kudenang i pematang
terbayang-terbayang waktu senye
kuneh ate-kuneh ate gere bimang
bunge kemang-bunge kemang i lao senye
Perlahan Nami merasakan ada sentuhan di pundaknya. Ibi Sepiah menyodorkan korek api padanya. Hanya Nami yang tahu maksud kedatangan korek api itu. Seketika korek api itu menebar wangi, sebuah kertas di dalamnya bertuliskan ‘gemuruh air menjadi lautan gemuruh hati ingin berkenalan’. Nami tersenyum simpul. Diliriknya lagi pengirim korek api itu. Ada tatapan penuh makna di sana. Seketika, Nami berpura-pura merasa perutnya seperti melilit berputar, dan berpura sempoyongan, Nami menjauhkan diri dari keramaian penyurak didong.
Di sana, di sudut bangsal telah menunggu Ibi Sepiah si comblang bersama seorang pemuda yang sedari tadi meneror tatapan pada Nami, hingga segala rasa tiada terperi dirasakan oleh Nami. Panas dan dingin bercampur baur serupa arabica dan gula merah. Nikmat, manis namun kecut. Dialah Elang, pemuda yang hadir menyurak didong malam itu. Pemuda sederhana, dengan selimpang kain sarung di bahunya. Sesekali asap rokok mengepul dari bibirnya. Ibi Sepiah mengawal mereka. Selain Ibi Sepiah, tak banyak yang tahu Nami dan Elang telah bercerita banyak tentang mereka, di antara riuh surak didong. Nami dan Elang bermain teng iyet-iyet. Riak tawa mereka hingga menjelang fajar. Inilah piasan.
Tanpa disadari Nami, malam itu telah menjadi milik mereka. Malu-malu ia menjadi begitu penurut pada Elang. Sepertinya mantra pengasih ‘user-user batang selasih tertutup ate siguser terbuke ate sikasih’ telah tertiup ke ubunnya. Ini adalah kesuksesan Ibi Sepiah si comblang dan ketajaman mata Elang memilih Nami.
***
Ibi Sepiah datang membawa sepucuk surat saat Nami sedang menganyam tikar pandan bermotif bunga terong. Rasa bahagia membuat tawa mereka pecah. Gerehem Ama mengejutkan mereka. Buru-buru surat diselipkan ke dalam gulungan tikar. Agaknya mereka terlalu sembrono bercerita perihal asmara di siang bolong, bisa-bisa parang dalam genggaman Ama melayang ke arah mereka. Ini adalah pantang. Ibi Sepiah lari ketakutan. Perlahan Nami mengintip isi surat itu, tak banyak yang tertulis di sana, Bukit Cinta, jam 16.30. 0812690XXXX. Bergegas Nami menggulung bakal tikar pandannya yang sedang dianyam. Rasa bergelora sektika muncul memenuhi isi surat itu. Perasaan gembira yang membuncah, nyatanya surat cinta terlesap dari genggaman, jatuh tepat di hadapan Ama.
Di Bukit Cinta Elang menanti. Tak ada kunang-kunang senja ini. Tak seperti biasanya, di sini tempat binatang bercahaya itu berpesta di kala senja. Pondok tempat menanti mentari tenggelam juga kian sunyi. Di sana tempat merajut kasih para pecinta. Khalayak merapalnya serupa negeri kayangan dengan sejuta keindahan. Seindah kabut dan awan yang mengendap perlahan di permukaan desa, menyungai hingga tampak berarak berubah menjadi air yang bening dan memantulkan cahaya matahari bundar, lalu koyak karena aliran angin yang deras. Senja berlalu, Nami tak kunjung datang.
Oh, Bukit Cinta. Sesedih apakah perasaan Nami yang melihat awan itu dari balik jendela rumahnya. Sesekali dia menyaksikan satu persatu merpati melewati jendela kamarnya, sebelum kemudian merayapi bukitan berliku hingga mencapai puncak tusam. Di negeri kayangan itu, Nami menjadi bidadari yang kehilangan jejak. Sepanjang angin akan berembus, selalu ada cerita tentang awan yang berarak di Bukit Cinta juga tentang wanita kesepian. Senja yang menunggunya dalam pelukan awan, lalu keheningan pun terjadi meski sesungguhnya di kejauhan derit mobil dan motor berkejaran dengan asap knalpot hingga terdengar ke batas langit, puncak Bukit Cinta, negeri kayangan itu. Tempat Elang menunggu.
”Aku melihat awan, kabut, dan kemudian hujan kala senja, lalu memikirkanmu,” ucap Nami lirih. Di sore yang merah, di tepi jalan yang melingkari bebukitan, Nami seperti merasakan sedang berdua duduk menjuntaikan kaki. Menikmati embusan angin dan melihat awan berarak tepat di bawah juntaian kakinya. kendaraan berlalu-lalang di jalan berkelok nan mendaki. Nun jauh di bawah sana rumah-rumah penduduk berjejeran serupa miniatur lukisan senja yang temaram. Kampung Penggalangan.
Di Bukit Cinta, panggung seperti disiapkan serupa kerajaan langit. Di sinilah negeri kayangan itu dan Nami merupakan bidadari, satu-satunya!
”Kamu tahu kenapa aku memikirkanmu sejak pertemuan di malam didong, dan setiap kali melihat awan itu? Awan itu seperti dirimu, datang dan kemudian pergi, tapi membawa kesejukan,” Nami membatin.
Suasana Sunyi. Diam. Serupa apakah kenangan dalam bungkusan awan yang konon selalu datang membawa sejuk seluas langit-langit Bukit Cinta. Bayangan tusam tumbuh berpasangan serupa perindu bersama kekasihnya. Oh, Ama sampai kapan anak beru ini kaupingit.
Nun di Bukit Cinta senja mulai kelabu, Elang masih menunggu. ”Aku tetap suka berada di sini menunggumu, meski kau seperti awan. Kalau kau tak ada, pasti awan itu bisa membara membuatku merasa ditimbun kenangan. Maka sejukkanlah aku, Nami.”
***
Orang-orang saling bertanya, namun semua tak menemukan jawabannya. Sebuah teriakan histeris terdengar dari arah rumah Nami tepat kala senja memerah di ufuk barat. Setelah teriakan histeris itu, terdengar tangisan terisak amat panjang, sebuku.Namikah itu? Desas-desus suara tanya itu telah membuat semua orang menjadi tahu bahwa Nami termakan oleh mantra pengasih itu.
Ama membawa surat cinta Nami ke petue. Ama bertanya pada petue, apakah surat cinta itu cukup kuat menjadi bukti bahwa Nami kehilangan akal sehatnya karena seorang lelaki yang bahkan Ama tidak tahu nama lelaki itu. Ama berharap lelaki itu bisa dikenai sanksi hukum adat, seekor kambing dan sekaleng beras. Seperti denda yang biasa dijatuhkan pada pemuda yang mengganggu anak gadis di jalanan. Nyatanya Ama dianggap konyol oleh kaum adat kali ini. Surat cinta itu tidak menyampaikan apapun, hanya nomor telepon genggam, dan ketika dihubungi nomor itu malah tidak aktif.
Ine mulai gelisah dengan keadaan ini. Berkali-kali Ine meminta Nami bercerita perihal apa yang telah membuatnya begitu. Nami diam. Canggung sekali bicara perihal asmara pada orang tua. Nami tertawa dan sesekali menangis, ia betul telah kehilangan akalnya. Mata beningnya tak menceritakan apapun selain kesedihan.
***
Elang melewati setiap senja di Bukit Cinta; masih berharap kehadiran Nami. Di saat itulah dia merasa menjadi laki-laki paling bodoh. Telepon genggam yang diharap berdering menjadi sasaran kemarahan. Dia terus saja dibuntuti kenangan sebegitu dahsyatnya hingga menyayat hati. Kegelisahan Elang dijawab oleh Ibi Sepiah. Dia datang membawa kabar. Bahwa desas-desus Nami kehilangan akalnya telah terdengar hingga ke penjuru desa.
“Kamulah yang bertanggung jawab atas itu,” kata Ibi Sepiah pada Elang.
Sejenak hening.
“Jika kau bersungguh-sungguh pada Nami, bawalah walimu untuk menemui keluarga Nami. Ini sungguh di luar dugaan, mantra yang kuajarkan biasanya tak sedahsyat ini. Apa yang kau lakukan pada mantranya hingga jadi begini. Dengan Nami sedang mencarimu, jangan sampai mereka menemukanmu dan membuatmu mampus di jalan karena sebab ini.”
“Ini mutlak perihal cinta Ibi, bukan karena mantramu, aku juga telah menjadi gila bukan hanya Nami, aku bahkan tidak menghapal mantramu.”
Keadaan ini menjadi semakin pelik, terlebih ketika Ibi Sepiah memutuskan untuk tidak mau berurusan dengan masalah ini lagi. Ini cukup membuatnya jera. Satu mantra pengasih telah membuat gila dua orang sekali gus. Ini di luar dugaan.
***
Di rumahnya Elang begitu gelisah. Mondar-mandir antara dapur, ruang tamu, teras, kamar, seterusnya berulang-ulang hingga berputar waktu pagi, siang, sore, dan malam mukanya kusut dan masam.
Ini adalah pertanda. Jika ini terjadi, orang tua mestilah paham kalau anak bujangnya tertimpa masalah. Ibu dan Bapak memahami keadaan ini. Dipanggilnya Ujang menelisik permasalahan ini pada Elang. Ujang akan dikirim sebagai telangke ke kediaman Nami. Tapi di luar dugaan ujang menolak menjadi telangke. Kemudian bapak meminta pada Uwe, dia juga menolak, petue, Imem, semua keberatan menjadi telangke. Penolakan demi penolakan itu di dengar langsung oleh Elang. Elang tidak paham, kenapa semua menolak. Ini sungguh sudah gila.
“Maafkan kami, kami tidak bisa menjadi telangke, pada gadis yang kamu inginkan Win,” Kata Ujang.
“Tapi kenapa Ujang.”
“Kalau kujelaskan pun, kamu akan sulit untuk paham.”
“Iya, tapi Ujang harus menjelaskannya padaku, sebelum aku benar-benar gila.”
“Karena gadis yang kau inginkan itu berasal dari desa Penampaan. Nenek moyang kita telah pernah bersumpah, orang kampung kita tidak boleh melamar gadis Penampaan. Akan selalu ditolak, sejak penolakan pada datumu beberapa puluh tahun lalu.”
“Tapi apa masalahnya, apa mereka juga lebih mempertahankan sumpah itu daripada anak gadisnya yang menjadi gila, atau aku juga akan menjadi gila Ujang. Ini sumpah yang dibuat-buat Ujang.”
“Win Elang, ditolak lebih sakit dari pada memendam, maka camkan itu. Sebagai lelaki kita harus pertahankan harga diri.”
Elang pergi membuang kegelisahannya. Dia kehabisan akal memperjuangkan kekasihnya Nami. Kanapa harus ada sumpah moyang datu yang demikian. Agama saja tidak melarang. Ini konyol.
***
Di Bukit Cinta, awan kembali bercerita. Elang memandangi bayangan senja dibalik tusam. Kini dia berjanji bertemu Ibi Sepiah. Dia satu-satunya orang yang diharapkan Elang untuk membantunya.
“ Ibi Sepiah, bantulah aku. Bawalah Nami di acara saman sara ingi di Kampung Jawa, kami akan menyelesaikan permasalahan kami di sana.”
“Jangan Elang, aku tidak mau disalahkan. Nami dijaga dengan-nya”
“Kita harus selesaikan masalah ini Ibi, karena kita sudah memulainya. Kumohon. Bantulah aku sekali ini lagi.”
Ibi diam sejenak. Melenguh. “Dengan syarat, kau jangan bilang pada siapa pun. Aku akan membantumu.”
“Iya Ibi. Jika di saman sara ingi Kampung Jawa aku tidak berhasil memperjuangkan cintaku, jangan panggil aku Elang Ibi, jangan panggil aku Win.”
Kiranya, masalah ini akan berakhir tatkala malam telah sempurna turun di Saman sara ingi Kampung Jawa. Elang menjumpai Nami. Menggenggam tangannya erat, lantas menariknya dari keramaian.
“Setelah ini tidak akan kubiarkan kau menangis lagi,” bisik Elang pada Nami.
Nami ketakutan.
“Kuharap kau bisa menjadi pendamping hidupku, menjadi tumpuan kasih sayangku selamanya.“
Nami mengangkat wajahnya. “Aku pasti akan sangat bahagia, bawalah aku bersamamu.”
Kali ini Nami menatap Elang, penuh harap. Wajahnya begitu polos.
Belum selesai mereka berbicara, dentuman keras mengenai geraham Elang. Pukulan, tendangan, bergantian menghantam tubuh Elang.
“Namiii!!!”
Sekumpulan pemuda membawa paksa Nami. Seketika Elang rubuh. Terlepas sudah Nami dari genggamannya. Dengan memasang wajah datar, tak berkata apa pun, mengantar Nami pulang.
Kutelintang, 2015

Rismawati merupakan perempuan kelahiran Gayo Lues, 23 Juni 1985. Saat ini Rismawati berdomisili di Rukoh, Syiah Kuala, Kota Banda Aceh.