Oleh : Muhamad Hamka*
WACANA serta isu pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) selalu menyedot perhatian publik yang luas. Isu ini memang sungguh seksi dan menggoda. Di satu sisi sangat renyah untuk dijadikan “dagangan” politik. Sementara disisi yang lain, isu ALA dapat membakar kuping sejumlah elit politik Aceh. Pendeknya, ALA disukai sekaligus dibenci.
Gagasan untuk mufarakah (berpisah) dari Provinsi Aceh lewat pemekaran Provinsi ALA merupakan gagasan yang fundamental. Kenapa fundamental? Karena selama ini, banyak harapan rakyat Wilayah Tengah akan hadirnya Negara (baca:Pemerintah Provinsi Aceh), justru hanya tinggal harapan. Asa untuk hadirnya kesejahteraan secara ekonomi, partisipatif secara budaya, keadilan secara sosial, dan demokrasi secara politik hanya menjadi harapan yang utopis.
Yang hadir dan terjadi, justru kontradiksi yang mengecewakan. Dimana kesejahteraan acapkali direduksi, budaya yang tak jarang dibonsai, keadilan yang kerapkali dikebiri, politik yang didiskriminasi, hingga pendidikan yang juga direstriksi. Yang paling melecehkan akal sehat tentu saja kehadiran Qanun Wali Nanggroe. Disamping kehadiranya kehilangan efisiensi dan esensi, qanun ini juga sangat tidak manusiawi. Frasa yang menyatakan “calon wali nanggroe harus fasih berbahasa Aceh”, tak hanya menistakan hak asasi etnis selain Aceh sebagai manusia yang merdeka dan bermartabat, tapi juga menegasikan ajaran agama (Islam) yang hadir dengan prinsip-prinsip egaliter.
Namun, sekarang sudah mulai meluas pertanyaan dan kecurigaan dari warga masyarakat Aceh. Bahwa wacana dan isu pemekaran ALA ini, nampaknya memang sengaja didesain untuk mengeruk keuntungan politik jangka pendek. Pasalnya, setiap kali mau hajatan Pemilu, isu dan wacana ALA pasti ramai hadir mengisi perdebatan dan pergumulan masyarakat di ruang publik. Setelah Pemilu usai, isu ALA pun kembali hening. Hal ini semakin diperkuat dengan pernyataan para tokoh ALA soal waktu pemekaran yang acapkali berubah-ubah.
Test the water
Dinamika yang terbaru saat ini adalah perubahan nama Provinsi ALA menjadi ALABAS. Para petinggi ALA beralasan, penggabungan ALA dan ABAS berdasarkan grand desain nasional pemekaran wilayah, dimana di Provinsi Aceh hanya ada satu daerah untuk pemekaran provinsi. Untuk mengukuhkan semangat dan solidaritas, aktivis muda ALABAS pun menyelenggarakan Duek Pakat Pemuda Mahasiswa di Meulaboh, Minggu (7 Februari 2016) yang dihadiri sejumlah tokoh penting ALABAS. Diantaranya, Tagore AB, Armen Desky, Zuriat Suparjo, Rafly Kande Tjut Agam, Abdullah Saleh dan Teuku Sukandi.
Paska pertemuan diatas, lapangan politik Aceh pun kembali bergemuruh dengan riuh rendah isu ALABAS. Apalagi setelah salah satu manusia paling kontroversi di jagad politik Aceh, Abdullah Saleh hadir pada acara tersebut. Dalam amatan saya, acara ini tak lebih sebagai “test the water” untuk menguji respon publik. Dan nyatanya, isu ALABAS ini memang masih laris di pasaran politik Aceh.
Terus terang saya mulai sangsi dengan pergerakan politik para tokoh ALA ini. Pergantian Ketua KP3 ALA Pusat dari tangan H Tagore Abubakar ke tangan H Armen Desky menimbulkan tanda tanya. Hemat saya, pergantian ini sama sekali tak urgen, karena jelas berpengaruh pada atmosfir politik dan kepentingan ALA di Senayan. Mestinya, dengan posisi sebagai anggota Komisi II DPR, Ir.Tagore tak perlu melepaskan posisinya sebagai dirigen ALA. Justru dengan posisi itu, ia punya bargaining yang kuat untuk membangun isu sekaligus melakukan penetrasi kepentingan pemekaran ALA ditubuh Parlemen (Komisi II). Namun, Tagore boleh jadi punya pertimbangan tersendiri yang tak dapat dijangkau oleh nalar orang lain.
Mulai paradoks
Terkait dengan kiprah Tagore dalam kapasitasnya sebagai anggota komisi II DPR RI, saya melihat justru mulai paradoks. Seperti dikutip oleh laman berita www.klikkabar.com, Ir. Tagore menegaskan bahwa ALABAS akan dimekarkan pada tahun 2016 ini. “ALABAS menjadi perioritas pemerintah karena sudah menjadi kepentingan strategis nasional. Dan seluruh biaya yang dibutuhkan untuk keperluan pembentukan Provinsi ALABAS ditanggung oleh APBN. Lebih lanjut Tagore mengatakan, walaupun ayam tidak berkokok, matahari pasti terbit. Walapun banyak yang mengganggu, pemekaran provinsi baru tetap berlanjut. Insya Allah tahun ini, Provinsi ALABAS akan lahir, www.klikkabar.com (15 Februari 2016).
Pernyataan Tagore ini justru bertolak belakang dengan pernyataan Pemerintahan Presiden Widodo-JK. Lewat pembatunya (Menteri Dalam Negeri/Mendagri) yang punya otoritas dengan pemekaran daerah, dalam laman berita www.britasatu.com, menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan moratorium terkait pemekaran dengan alasan fiskal (keuangan) yang tak mencukupi. “Salah satu pertimbangan adalah kondisi fiskal kita yang belum memungkinkan penambahan anggaran. Kita lihat dari masukan Menkeu (Menteri Keuangan) melihat kondisi fiskal kita, karena sekarang lagi kosentrasi untuk pembangunan infrastruktur dan pembangunan desa yang jumlahnya 74.000, kita kosentrasi ke desa. Jadi, belum memungkinkan penambahan fiskal untuk pemekaran baru. Demikian kata Mendagri Tjahjo Kumolo, www.beritasatu.com (19 Februari 2016).
Pernyataan Tagore dan rekan satu partainya, Kumolo diatas jelas bertolak belakang. Dan kalau mengikuti pernyataan Tagore sebelumnya,“pembentukan Provinsi ALABAS ditanggung oleh APBN” jelas akan sulit untuk direalisasikan di tahun 2016 ini, seturut dengan penambahan fiskal untuk pemekaran baru yang belum memungkinkan, sebagaimana yang dipaparkan oleh Mendagri diatas. Dan kita tentu lebih percaya dengan pernyataan pemerintah yang punya kuasa mengelolah APBN.
Aceh memang masuk dalam salah satu daerah otonom baru, untuk kategori 12 daerah pemekaran provinsi dengan pertimbangan kepentingan strategis nasional. Hal ini ditegaskan oleh Dirjen Otonomi Daerah (OTDA), Sumarsono dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) gabungan DPR dan DPD RI dengan Dirjen OTDA, di ruang Rapat Komisi II DPR RI Jumat (26/2), seperti yang dilansir oleh laman berita www.republika.co.id, Jumat (26 Februari 2016).
Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla tetap teguh untuk melakukan moratorium pemekaran daerah otonom baru (DOB). Wapres Jusuf Kalla mempersilahkan Kementerian Dalam Negeri membentuk daerah persiapan, namun pembentukan daerah otonom baru tetap tidak dapat dilakukan. “Ya silakan disiap-siapkan, tetapi DOB tidak diputuskan karena sikap pemerintah adalah melakukan moratorium,” kata Wapres Kalla di Jakarta, Jumat, www.republika.co.id (26 Februari 2016).
Sementara itu, Mendagri tidak menegaskan adanya moratorium dalam pembentukan daerah persiapan. Daerah persiapan sendiri merupakan tahap sebelum masuk Daerah Otonom Baru, www.republika.co.id (26/2). Disinilah letak persoalanya—dimana daerah persiapan—kalaupun misalnya tidak di moratorium, ia tidak menggunakan APBN tapi memakai anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) provinsi induk. Sementara kita semua tahu, Pemerintah Provinsi Aceh tidak menyetujui pemekaran ALA plus ABAS ini, lalu darimana anggaranya? Sehingga semakin terang, bahwa pemekaran Provinsi ALABAS tahun 2016 ini akan sukar untuk tewujud.
Untuk itu, yang dibutuhkan oleh masyarakat ALABAS saat ini adalah komunikasi yang jujur dan transparan tentang perkembangan pemekaran ini. Sehingga tak ada lagi persepsi yang aneh dan keliru dari warga masyarakat Aceh, karena informasi yang disampaikan oleh pejuang dan aktivis ALABAS terang-benderang.
Namun diatas itu semua, sebagai salah satu pendukung mufarakahnya ALA plus ABAS ini dari Provinsi Aceh, saya tetap optimis bahwa pemekaran merupakan solusi yang paling baik dan rasional untuk kesejahteraan lahir dan batin masyarakat ALA dan ABAS. Walaupun akal sehat saya mulai curiga, bahwa akan selalu ada agenda politik jangka pendek pejuang dan aktivis ALABAS yang membonceng isu pemekaran ini. Dan menurut hemat saya, itu wajar-wajar saja.[]
*Pengamat Politik, tinggal di Takengon