In Memoriam Marwan Kumis

oleh
Wan Kumis

Catatan: Iranda Novandi

Wan Kumis
Wan Kumis

MALAM itu, Jumat 26 Februari 2016, dini hari sekitar pukul 01.00 wib, Handphone (HP) saya berbunyi, terlihat nama HTA di layar HP. HTA adalah nama yang saya simpan sebagai H Teuku Anwar Ibrahim di. Terbesit dalam hati saya, ada apa ini, pasti kabar tentang Wan Kumis – begitu kami akrab menyapa Marwan sehari-hari –.

“Halo Pak Haji” sapa saya malam itu

“Iranda, saya mau sampaikan kabar duka….(sejenak terdiam beberapa detik), teman kita Marwan, sudah mendahului kita,”

“Innalillahi wainnaillahi rajiun,”

“Ini saya masih di RSUZA, tadi sudah saya kabari teman-teman yang lain,”

“iya Pak haji,” tutup saya.

Komunikasi terakhir ini membuat saya tertegun dan membisu. Entah mengapa malam itu terasa sulit untuk memejamkan mata. Menunjukan isyarat bahwa sahabat, teman dan juga kolega sesama wartawan dan teman sepergaluan di PWI Aceh telah terlebih dahulu pergi meninggalkan kami semua.   Iya.. kita semua..

Dua-tiga pekan jelang kepergiannya memenuhi janjinya sebagai mahluk Tuhan. Saya sempat di teleponya dan mengajak jumpa di warkop Cut Nun – samping kantor pos – Banda Aceh. Tanpa, pikir panjang, saya iyakan untuk bertemu. Sekitar pukul 15.00 wib. Kalau tidak salah hari itu Rabu (10/2).

Di Warkop Cut Nun itu, kami duduk berdua. Dia memesan teh hijau dan saya kopi pancung. Sambil menikmati sepotong kue, dia bercerita kalau ia pernah berbicara dengan pihak Sekolah SMTI Banda Aceh, bahwa sekolah peraih penghargaan Adiwarta itu akan membuka kelas jurnalistik.

Bang Wan – begitu saya menyapa Wan Kumis –, mengaku sudah berbicara dengan pihak kepada sekolah dan Kepala TUnya. Tanpa pikir panjang, saya katakan OK. “Kalau memang mereka mau, bisa kita bantu,” ujar saya.

Selanjutnya, kamipun terdiam beberapa saat. Saya lihat ada guratan tak nyaman dan gelisah di raut wajahnya. Seakan Bang Wan saat itu sedang memikirkan sesuatu yang teramat berat yang dipendamnya. Soal kelas jurnalistik itu, saya pikir hanya kamuflase saja. Namun, dibalik itu ada sesuatu yang ingin diungkapkannya.

“Kenapa bang, gelisah kali nampanya,” tanya saya.

“ngak apa-apa Bang,” jawabnya. Selanjutnya kamipun kembali terdiam. Tak pernah kondisi seperti ini kami alami. Biasanya, setiap ketemu ada saja yang dibicarakan dan banyak guyonan dan cerita tentang berbagai hal.

Namun, mungkin bathinnya tak sanggup menahannya. Akhirnya dia membuka suara kembali lagi. “Abang kog ngak pergi HPN ke Lombok, NTB,”. “Saya lagi persiapan mau pindah rumah, lagi pula amunisi kurang, mana mungkin kita jalan-jalan ke negeri orang tak ada modal,” ujar saya ringan.

“Abang ada di ajak,” lanjut Bang Wan.

“Ada, waktu rapat saya dia ajak, tapi saya, Zairin dan H Heru tak bisa berangka, karena berbagai keperluan lain di Banda Aceh,” ujar saya.

“Saya ngak diajak Bang, basa-basi pun tak ada,” ujar Wan Kumis  sambil menyerumput teh hijaunya, yang saya yakin sudah mulai dingin.

Sejenak saya diam. Tak tau mau berkomentar apapun lagi. Akhirnya dia terus bercerita tentang kondisi dia, kiprahnya di PWI Aceh dan banyak hal. – rasanya tak etis bila saya ceritakan semuanya disini, hanya saya dan dia dan Allah yang tahu –.

Pascapertemuan, selama dua hari, saya selalu bersama Bang Wan. Ngopi bareng, makan siang bereng dan jalan bareng. Selama dua hari jalan bareng, dia kembali banyak bercerita tentang banyak hal. Saya sempat berpikir, mengapa bang Wan, begitu banyak curhat. Namun, semua curhat-an dia saya dengar dan terkedang memberi saran.

Saat kami lagi ngopi di warkop Kuta Alam, samping kantor PWI Aceh. Kembali dia bercerita. “Saya bukannya ngak ada uang Bang, kalau pergi ke Lombok. Bahkan ada saudara sudah menunggu disana, cuma tak di ajak. Ya sudahlah,” ujarnya.

“Lain kali kita pergi lagi. Abang simpan aja uang itu, nanti kita sama-sama ke Bandung, Porwanas, bulan Juli nanti,” ujar saya menghibur Bang Wan.

Lalu Bang Wan pun bercerita, saat ini, dia sedang membangun kamar kos untuk mahasiswa di samping rumahnya. Syukur-syukur untuk tambahan untuk kebutuhan di rumah dan sekaligus peninggalan saya nanti, untuk istri dan anak-anak bila saya sudah tiada.

Sejak saya terdiam dengan ungkapan itu. “Tenang Bang, jangan jauh kali berpikir. Pokoknya kita pergi ke Porwanas nanti,” hibur saya kembali. Ucapan “…. peninggalan saya nanti, untuk istri dan anak-anak bila saya sudah tiada”, ternyata isyarat kuat yang tidak saya sadari. Sebab, sebagaimana kita ketahui, ada tanda-tanda yang diperlihatkan seseorang  sebelum 40 hari dia meninggal dunia.

Banyak kenangan besama bang Wan. Awal-awal kepengurusan PWI Aceh, priode 2010-2015, yang kala itu saya dipercaya sebagai Direktur Pendidikan dan Latihan (Diklat) PWI Aceh. Saya minta kepada Bang Wan, untuk menghimpun para wartawan kelas abal-abal dan sejenisnya yang ada di Banda Aceh dan sekitarnya untuk kita didik dan memberikan pengetahuan tentang jurnalistik.

Karena, selama ini yang terasa, mereka ini (para wartawan tak jelas ini) kurang bahkan tak ada pemahaman tentang jurnalistiknya, sehingga menjadi wartawan sebagai pelarian yang akhirnya meresahkan banyak pihak. Gagasan untuk mendidik wartawan abal-abal ini, bermula dari diskusi saya sama Bang Wan. Sebab, kalau tidak kita didik, jangan salahkan mereka akan terus menjadi duri dalam daging.

“Semoga nanti bisa kita wujudkan, kalau saya dipercaya jadi pengurus,” ujar saya kala itu sama Bang Wan. Dan akhirnya, era kepemimpinan Tarmilin Usman, sebagai Ketua PWI priode pertama 2010-2015, itu kami realiasasikan.

“Masalah mereka jadi atau mau berubah, itu terserah mereka. Yang penting kita sudah ajak,” begitu cetus Bang Wan. Bersamaan dengan itu juga, dalam banyak kesempatan dilakukanya pelatihan jurnalistik, hampir berbanding 50:50, saya akomudir wartawan tak jelas tadi digabung dengan wartawan yang memiliki media yang jelas dalam berbagai pelatihan yang digelar PWI, melalui Diklat PWI Aceh.

Dalam hal sosial dan kepedulian sesama wartawan, Bang Wan juga kerab dan sangat gesit bila ada wartawan atau wartawan kemalangan, untuk menggagas dan mengumpulkan sumbangan yang nantinya bisa diberikan kepada wartawan yang berkemalangan tersebut.

Di Kantor PWI Aceh, ada satu kursi yang menjadi tempat favoritnya. Yakni kursi putar yang berada di ruang sekretariat. Bang Wan sering duduk di kursi yang persis berada di sebalah kanan pintuk masuk ruang sekreatriat. Sambil menonton tv, disana dia sering terlelap tidur, melepas rasa lelahnya.

Banyak lagi cerita yang tersisa bersama mu, Bang Wan. Kami hanya bisa berdoa, agar semua amal ibadahmu mendapat ganjaran pahala yang setimpal sebagai bekal di akhirat kelak. Selama jalan Sahabat…

 

Penulis, wartawan Harian Analisa dan pengurus PWI Aceh

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.