Oleh : Joni M, Aman Rima*
MALU yang menjadi salah satu misi Joko Widodo (Presiden RI) dan/atau pemerintah Negara Republik Indonesia saat ini yang memiliki tujuan untuk memperbaiki moral dan untuk merevolusi mental manusia (warga negara yang tidak baik menjadi baik), dari yang tidak baik menjadi baik, bukan hanya baik, namun lebih kepada menjadikan diri bermanfaat bagi orang lain. Budaya ‘malu’ yang ini memberitahukan kepada anggota masyarakatnya bahwa, milikilah rasa malu dan tanamkan rasa malu jika kita berbuat tidak baik, lebih-lebih yang bersipat merugikan pihak/ orang lain. Melanggar aturan, undang-undang, dan aturan yang telah disepakati bersama, ini adalah salah satu perbuatan atau tindakkan yang memalukan, karena apa? karena Budaya “malu” yang ada ini mengajarkan kita agar tidak berbuat atau bertindak melanggar aturan yang berlaku, sebab itu perbuatan yang menentang yang dapat memecah keadilan sosial dan persatuan umat.
Budaya ‘malu’ ternyata juga terdapat pada suku bangsa Gayo yang dikenal dengan salah satu nama suku bangsa yang memiliki nilai budaya yang amat kuat yang terletak di ujung paling barat wilayah Indonesia. Gayo adalah nama dari suku dan bahasa disebut dengan bahasa Gayo, yaitu sebagai bahasa lisan yang mereka gunakan dalam pergaulan mereka sehari-hari. Di dalam bahasa Gayo ‘malu’ disebut dengan sebutan “mukemel” yang berlandaskan agama (Islam) “edet orum agama lagu zet orum sipet” (adat dan agama bak zat dengan sipatnya, tidak dapat saling dipisahkan, selalu eksis bersama). Kemudian,“mukemel” merupakan sistem nilai yang sangat mendasar dan merupakan harga diri (nahma ni urang Gayo) pada suku Gayo, “malu” memiliki makna yang mendalam dan berbeda dengan ‘malu’ yang telah digadang-gadangkan oleh pemerintahan RI saat ini. namun, sama-sama bernilai positif. Nilai budaya “malu” yang bersumber dari ungkapan “mukemel” (budaya Gayo) pernah didiklarasikan oleh seorang tokoh antropologi putra Gayo M.J. Melalatoa (1997) menyatakan bahwa, ini merupakan nilai dasar budaya Gayo dan hal sudah melembaga pada diri anggota masyarakatnya. Budaya “mukemel” di dalam budaya Gayo adalah berpungsi sebagai adat (edet) yaitu, pedoman atau peraturan yang harus diikuti serta dipraktikkan ke dalam proses kehidupan bersama, karena ini bersipat lebih menciptakan diri pribadi bermanfaat bagi orang lain dan juga pada diri sendiri. “mukemel” mengekspresikan tentang karakter dari anggota masyarakat Gayo yang memiliki sikap “tertib bermajelis” yaitu ketertiban di dalam bermusyawarah dalam mencapai kehidupan bersama dengan harmonis serta bernilai damai. Nilai-nilai budaya Gayo di atas dapat dan mampu memberi solusi atas fenomena yang terjadi saat ini sehingga mampu membangun ketertiban sosial dan sebagai tindakkan sosial dalam menjaga harmonisasi serta keseimbangan dalam hidup bersama.
Perbedaan budaya ‘malu’ yang dikumandangkan oleh pemerintah Indonesia dengan budaya “mukemel” dalam arti ‘malu’ dari budaya Gayo, sebagai berikut:
Malu : merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dsb) (KBBI, 2000: 706). Hal ini merupakan ungkapan perasaan diri pribadi manusia yang menjadi hakikat diri manusia itu sendiri, siapapun dia. Melanggar sesuatu yang telah dijadikan sebagai aturan atau suatu ketentuan adalah satu perbuatan yang bernilai hina, dan membuat diri posisi si pelaku ke level yang lebih hina (rendah). Berbuat sesuatu yang kurang baik adalah perbuatan yang tidak wajar yang berbeda atau bertentangan dengan kebiasaan hal ini sudah menggambarkan suatu kecacatan atau kekurangan si pelaku tersebut. misalnya, mencuri uang orang lain, mendiskriminasi orang lain, mengambil hak-hak orang yang bukan hak dia, dan lainnya. Intinya, ‘malu’ adalah hina atau rendah derajatnya jika melanggar sesuatu yang telah dijadikan sebagai peraturan dan yang bersipat merugikan (mengambil hak) orang lain.
“Mukemel” (malu) : ungkapan ini bila diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia adalah ‘malu’. Nilai budaya Gayo ini merupakan adab yang bernilai malu. Adab yang dimaksud di sini adalah; kesopan-santunan, kebaikan, kehalusan budi dan setiap sesuatunya bernilai terpuji. ‘Malu’ menurut budaya Gayo, tidak tertuju kepada sesuatu yang telah menjadi peraturan atau suatu ketetapan untuk diikuti karena, peraturan/ hukum bagi masyarakat Gayo memang sudah se-wajibnya untuk dipatuhi, tidak perlu hal itu diingat-ingatkan lagi, karena “edet” atau yang bermakna aturan sudah melembaga pada diri anggota masyarakatnya. Namun, yang lebih penting untuk dilakukan dan malu jika tidak mengerjakan, adalah sesuatu yang bernilai baik untuk menjadi lebih baik lagi. Misal, anak salah satu tetangga bisa melanjutkan studinya ke level yang lebih tinggi, tetangga itu berprofesi sebagai petani tetangga yang lainnya juga sama. Dalam kasus ini si tetangga tersebut juga harus bisa melanjutkan studi anaknya ke level yang lebih tinggi juga, karena sama-sama manusia dan sama-sama memakan nasi juga minumnya air. Pada contoh lain, orang lain mampu membuat sesuatu yang bernilai baik, kenapa saya tidak mampu untuk bertintak baik atau lebih baik, dan lainnya. Inilah nilai yang terkandung di dalam budaya ‘malu’ yang bersumber dari budaya Gayo, yaitu “mukemel”.
Jadi, dalam budaya “mukemel” yang dalam bahasa Indonesia adalah ‘malu’, maksudnya jika kita sebagai manusia tidak berbuat lebih baik dari yang sudah baik sangat malu kepada diri sendiri sebagai mahluk sosial, karena hal ini merupakan hakikat diri setiap manusia atau fitrah diri seorang sebagai manusia, yaitu baik (suci). Di dalam budaya Gayo, mengikuti atau mematuhi aturan/ hukan yang sudah jelas adalah sesuatu yang wajar dan jelas harus diikuti, tetapi untuk membuat kebaikan dari yang sudah baik, inilah yang diharapkan dan yang dianjurkan oleh sistem nilai budaya Gayo. Jadi, malu jika tidak bisa berbuat baik, inilah makna dari “mukemel” yang menjadi sistem nilai pada budaya masyarakat Gayo. Malu, di dalam masyarakat Gayo adalah lebih bersipat kompetitif, yaitu berorientasi kepada sesuatu yang lebih baik dari yang sudah baik, bukan menjadikan diri untuk bisa baik dari yang tidak baik.[]
*Peneliti Bahasa dan Budaya Gayo, tinggal di Takengon





