Oleh Muhamad Hamka*

PILKADA Aceh, Pebruari 2017 mendatang menawarkan persaingan yang ketat dan menarik. Betapa tidak, bulan madu dua bekas elit Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menahkodai Provinsi Aceh, Zaini Abdullah (Gubernur) dan Muzakir “mualem” Manaf (Wakil Gubernur) akhirnya tandas sebelum masa jabatan berakhir. Libido untuk kembali berkuasa, membuat kedua tokoh ini pecah kongsi.
Seperti yang ramai diberitakan oleh sejumlah media, dr. Zaini Abdullah dan Mualem menyatakan kembali maju bertarung merebut kursi Gubernur Aceh. Di samping kedua petahana ini, Irwandi Yusuf (Gubernur Aceh periode 2007-2012) dan Tarmizi A Karim (birokrat senior Departemen Dalam Negeri), juga diprediksi akan menjadi pesaing yang kuat untuk merebut kursi orang nomor satu di negeri Serambi Mekkah ini.
Doto, panggilan akrab Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Mualem jelas diuntungkan oleh posisinya sebagai petahana. Namun Tarmizi A Karim dan Irwandi jelas tak bisa dianggap enteng. Massifnya baliho dan spanduk Bupati Aceh Utara periode 1997-2002 di sejumlah kota di Aceh, semakin menegaskan bahwa Tarmizi memang sangat siap untuk bertarung merebut kursi Gubernur Aceh. Sementara Irwandi Yusuf lebih banyak melakukan propaganda di dunia maya. Penetrasi visi dan strategi bekas dosen Unsiyah ini di dunia maya, jelas tak bisa di anggap enteng, ditengah semakin berkecambahnya para pengguna sosial media di Aceh.
Yang menarik dari keempat bakal calon (balon) gubernur ini adalah bahwa hingga hari ini mereka belum menentukan bakal calon wakil gubernur. Salah satu balon wakil gubernur yang santer dibicarakan di ruang publik Aceh saat ini adalah Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin. Bupati dua periode ini diberitakan sudah pernah bertemu dengan Zaini Abdullah, bahkan dengan Irwandi ia sudah berjumpa dua kali. Politisi senior Golkar wilayah tengah ini jelas memiliki bargaining politik yang kuat. Keberhasilanya menjadi Bupati Aceh Tengah dua periode, serta aktus politik yang tidak grasak-grusuk, telah menempatkan Nasaruddin sebagai bakal calon wakil gubernur yang paling diperhitungkan.
Salah satu faktor yang bisa mengendorse posisi tawar Nasaruddin adalah relasi timpang antara wilayah tengah (Gayo) dan Aceh (pesisir) selama ini. Dengan majunya Nasaruddin sebagai bakal calon wakil gubernur, jelas akan membawa perspektif yang mencerahkan bagi relasi keduanya. Dan bagi wilayah tengah (Gayo), majunya Nasaruddin merupakan “berkah” yang patut diapresiasi dan diperjuangkan, dimana setelah puluhan tahun Aceh berdiri, namun belum satupun tokoh Gayo yang bertahta di kursi wakil gubernur, apalagi gubernur. Ini merupakan momentum yang di nanti-nanti.
Saat ini, kesadaran politik masyarakat wilayah tengah sudah mulai muncul dan semakin menguat, setelah berkali-kali “ditampar” oleh praktik arogansi dan diskriminasi elit politik Aceh pesisir. Sehingga ketika ada putra terbaik wilayah tengah yang hendak berjuang merangsek ke sentrum kekuasaan di Aceh, maka dapat dipastikan didukung oleh kesadaran dan solidaritas kolektif yang kuat warga masyarakat wilayah tengah. Pemilu legislatif (pileg) yang lalu menjadi pengalaman berharga sekaligus tak terlupakan, dimana kesadaran dan solidaritas kolektif masyarakat Wilayah Tengah berhasil menghantarkan empat orang putra terbaiknya ke Senayan.
Namun harus disadari, konstelasi dan dinamika politik saat pemilu legislatif 2014 silam, akan berbeda dinamikanya dengan pemilihan gubernur dan wakil gubernur 2017 mendatang. Dimana kontestan yang bertarung tidak lagi berlaga sendirian, namun berpasangan. Itu artinya, ia tidak lagi berdiri sendiri. Sehingga, sehebat apapun popularitas dan elektabilitas Nasaruddin di Wilayah Tengah, kalau tak di dukung oleh popularitas dan elektabilitas pasangan gubernurnya, maka tak menutup kemungkinan akan dikandaskan oleh pasangan yang lain.
Untuk itu, Nasaruddin bersama tim ahli strateginya harus memetakan secara akurat dan holistik kekuatan politik keempat bakal calon gubernur diatas. Irwandi Yusuf, jelas masih sangat popular dan juga dirindukan oleh masyarakat Aceh. Namun di sisi yang lain, Irwandi yang dikenal temperamental, bukan tipikal tokoh yang bisa membangun solidaritas (solidarity maker) di masa akar rumput. Walaupun ia punya pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam hal membangun propaganda.
Zaini Abdullah, sukar dibantah sebagai representasi “klan” Hasan Tiro. Dan almarhum Hasan Tiro selaku pendiri GAM masih punya pengaruh yang kuat di sebagaian besar kalangan masyarakat Aceh (pesisir). Kemenangan Partai Aceh saat Pileg dan kemenangan Zaini-Muzakkir pada Pilkada yang lalu, jelas tak bisa dinafikan dari faktor kharisma Tiro. Memang pada sisi yang lain, faktor usia juga kemampuan leadership Doto Zaini mulai diragukan banyak orang.
Selanjutnya, Muzakkir punya kemampuan membangun solidaritas dibasis akar rumput. Posisinya sebagai Ketua Umum Partai Aceh (PA) memudahkan ia mengontrol mantan kombatan GAM untuk melakukan kerja-kerja politik ditengah masyarakat. Namun, Muzakkir banyak mendapatkan resistensi dikalangan menengah dan terdidik Aceh. Muzakkir “diserang” sebagai penggagas janji 1 juta per KK, namun hingga berakhir masa kekuasaanya dengan Zaini Abdullah, janji 1 jutanya tersebut belum juga direalisasikan. Belum lagi praktik politik anti nalar kader PA di parlemen Aceh yang banyak melukai batin kelompok etnis minoritas di Aceh, lebih khususnya Gayo.
Sementara Tarmizi A Karim hadir ditengah pertarungan tiga bekas elit GAM diatas. Kehadiran Tarmizi ini jelas tak bisa dianggap enteng. Disamping punya pengalaman panjang di birokrasi, ia juga maju oleh karena kuatnya dukungan dari kampung halamanya, Aceh Utara dan Lhokseumawe. Bahkan, Sofyan Dawood bekas juru bicara GAM menyatakan mendukung Tarmizi Karim, Portal Satu (Agustus 2015). Namun, Tarmizi juga diterpa isu korupsi. “Selama menjabat Dirut PDGM, Tarmizi terindikasi telah menyelewengkan uang Negara senilai RP. 40 miliar. Tak hanya itu, semasa beliau menjabat Bupati Aceh Utara, proyek pembangunan gedung Islamic Centre dengan nilai anggaran Rp 30 miliar juga terdapat indikasi korupsi, Rakyat Merdeka Online (30 Juli 2011).”
Ulasan diatas hanya sekadar amatan diatas permukaan. Maka disinilah dibutuhkan kajian serius Nasaruddin dan timnya untuk menganalisis secara holistik, membedah secara akurat, dan menguliti secara serius peta dan kekuatan politik keempat bakal calon gubernur diatas. Kalau salah mengambil langkah, maka dapat dipastikan popularitas dan elektabilitas Nasaruddin di wilayah tengah, tak cukup kuat untuk mengantarnya ke Kute Reje. Selamat berjuang!.[]
*Pengamat Politik, tinggal di Takengon