Oleh Hanif Sofyan*
Dalam konteks berbagai peristiwa termutakhir di Indonesia, menarik sekali mencermati literasi baru, Jihad Membangun Peradaban (2015) karya Prof. Dr. M. Hasbi Amiruddin, M.A,. Terutama karena dikaitkan dengan pencarian solusi terbaik dalam kesalahpahaman memaknai Jihad. Berikutnya bagaimana mengimplementasikan jihad ‘di jalan yang lurus’ tersebut dalam penyelesaian beragam persoalan ke-umatan. Perspektif yang berbeda dalam memandang terminologi ini harus menjadi kajian penting. Mengingat sudut pandang atau perspektif orang berbeda-beda, bahkan kadangkala sangat subjektif dalam memaknai jihad. Karena ketika dipahami secara parsial, dapat berdampak sangat krusial bagi umat Islam sendiri.
Kelompok garis keras, terlepas dari pemahaman yang keliru atau sebuah keyakinan mutlak yang tidak dapat ditawar, menempatkan jihad dalam terminologi ‘ perang’, tanpa kompromi. Secara tradisional, konteks pemahaman ini berkaitan dengan pemahaman sederhana yang kita pahami di awal, jihad sebagai bentuk perlawanan terhadap musuh-musuh yang memerangi Islam (dalam bentuknya, perang yang riel). Seperti didefinisikan oleh Hans Wehr, dalam Dictionary of Modern Written Arabic, yang menyebut jihad sebagai; fight, battle, holy war (against the infidles as a religious duty).
Namun dalam perkembangannya kemudian, persoalan makin kompleks, format perang tidak sepenuhnya lagi berhadap-hadapan antara dua kepentingan yang berseteru. Bahkan kecanggihan zaman telah mempresentasikan sebuah perang yang kasat mata, perang nirkabel, perang proxy di dunia maya. Sehingga format senjata perang dalam bentuknya yang kita pahami secara tradisional menjadi tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman yang tengah mengobarkan perang pemikiran, ghazwul fikr.
Memahami Jihad
Dalam konteks ini, apa yang ditawarkan oleh Prof. Hasbi, menjadi sangat relevan. Persoalan mendasarnya adalah pemahaman tentang jihad yang telah mengalami metamorfosa. Pertanyaan berikutnya, bagaimana kita ‘menempatkan’ jihad dalam kompleksitas masalah yang ternyata telah meluas menjadi perang terhadap pola pikir (mindset).
Berjihad, juga cara, alat, jalan, metode, sistem yang bernilai sakral. Jihad bukan tujuan, dan harus selalu digunakan sesuai situasi kondisi dan kebutuhan. Jihad yang dimaksud adalah; jihad mengentaskan kemiskinan, jihad anti kebodohan dan pembodohan, jihad untuk menegakkan hukum dan keadilan, jihad menyambung silaturrahim antar manusia, jihad menjaga lingkungan, serta jihad menjaga hubungan baik antara rakyat dan pemimpinnya. Tujuan akhir jihad adalah kebaikan untuk semua-khairun lakum. (Hasbi; xiii/2015).
Dalam situasi demikian, maka pemaknaan jihad harus merepresentasikan pemikiran kita untuk menciptakan perubahan. Kembali kepada nash yang menyebut, bahwa ‘Allah tidak akan merubah nasib sebuah kaum, selama kaum tersebut tidak melakukan perubahan’. Maka tanggungjawab perubahan tersebut menjadi tanggungjwab bersama, kolegial, komunal tidak lagi hanya urusan personal. Meskipun harus diawali dari perubahan secara personal, terutama dalam merubah paradigma berpikir tentang jihad yang lebih kompleks untuk menjawab tantangan perubahan zaman.
Kehadiran buku, Jihad Membangun Peradaban, menjadi salah satu alternatif segar yang dapat memuaskan dahaga kita. Melengkapi referensi yang membantu mereposisi kembali pemaknaan kita tentang jihad yang sempit. Pembukaan yang menarik, ketika di awal diajukan sebuah pertanyaan sederhana, apakah umat Islam memang ‘ketagihan’ untuk bertikai dan berperang?, padahal hasilnya tidak pernah dapat dinikmati oleh umat Islam itu sendiri sekarang atau nanti. Dalam logika kita yang sederhana, hal tersebut sudah salah kaprah. Tidak mungkin nilai-nilai Islam yang sangat universal dinodai oleh pemikiran yang picik seperti itu.
Meskipun penulis menyebut kehadiran bacaan ini, sebagai ‘sebuah buku kecil’ namun isinya merepresentasikan sebuah gagasan yang besar. Sederhana namun sangat krusial, terutama di tengah situasi dan kondisi banyaknya kesalahpamahaman dalam memaknai jihad. Apalagi ketika dikaitkan dengan konteks kekinian, dimana berbagai persoalan ‘klasik’ pembangunan umat tumpang tindih menjadi pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya.
Ternyata, jihad dalam makna yang komprehensif juga meliputi kerja-kerja ‘melawan’ kebodohan, ketidakadilan, perusakan lingkungan, bahkan hingga urusan disharmonisasi pemimpin dan rakyat.
Ide awal penulisan yang digagas, berasal dari rangkuman berbagai pertanyaan yang bermunculan secara berulang, baik dari para mahasiswa di ruang pascua, maupun dari kontemplasi penulisnya karena melihat realitas dan bacaan yang memuat berbagai persoalan yang membelit umat Islam yang tidak ada habisnya.
Buku ini kian menarik, karena muatannya dilengkapi dengan perkembangan isue termutakhir, termasuk soal konflik yang melanda Timur Tengah yang dipicu kehadiran Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Krisis ekonomi Indonesia dengan kaitan peran Barat yang terus ‘mencengkeramnya’, peran ganda Barat ‘mengebiri’ kekuatan negara-negara Arab, terutama ketika bersentuhan dengan kasus konflik paling abadi Palestina vs Israel. Sehingga memudahkan kita dalam memahami arah perubahan pemikiran tentang jihad dan aplikasi pencarian soluasi dalam situasi terkini.
Menu sajian redaksinya yang dibuat sederhana dan runut (sistematis), memudahkan dalam memahami urutan masalah yang menjadi fokus kajian. Karena sesungguhnya membahas soal jihad adalah sebuah kajian yang tidak sederhana karena dalam realitasnya telah menimbulkan dampak yang besar. Serangan-serangan kelompok anti Islam, cap buruk radikalisme, terorisme, serangan, teror, pembunuhan atas nama ‘jihad’ yang menimbulkan korban tidak saja dikalangan ‘luar’, namun juga mengorbankan para martir di kalangan Islam sendiri. Sehingga jihad juga menjadi persoalan vis a vis, yang membuat umat Islam saling berhadap-hadapan diantara sesamanya, bahkan ketika sekedar berbeda pemikiran dan aliran. Tentu saja ini sangat absurd, bagaimana mungkin kita bisa bangkit dari keterpurukan ketika untuk memahami jihad yang sangat krusial, masih salah paham dan sempit?. Saling menumpas dan tidak memiliki ukhuwah Islamiyah yang ditakuti oleh kelompok di luar Islam.
Atas realitas ini, perlahan namun pasti, dibutuhkan waktu untuk melakukan perubahan paradigma. Melalui ‘buku kecil’ ini, pembaca dapat menemukan inti gagasan tentang jihad yang lebih ramah dan bermartabat. Apalagi ketika arah perubahan yang menjadi inti sasaran adalah terbangunnya kembali peradaban Islam yang telah porak poranda. Gagasan ini relevan untuk diperdebatkan secara positif, dalam kondisi ketika secara politik tidak stabil, secara ekonomi belum sejahtera, dan secara sosio-kultural, khususnya pendidikan masih tertinggal. Lalu apa langkah kongkrit kita menuntaskan persoalan dan membangun kembali peradaban Islam yang hilang?.
Jalan Baru Peradaban
Prof Hasbi menawarkan sebuah solusi sederhana, melalui perubahan cara pandang dalam memaknai ‘jihad’ yang lebih otentik dan komprehensif. Begitu pentingnya jihad sehingga ada ulama yang menempatkan jihad itu sebagai rukun Islam yang keenam. Namun intinya bahwa setiap Muslim harus memiliki kesadaran untuk berjuang, berusaha, beraktifitas, bersikap, berprilaku, berjihad, sesuai ketentuan, bukan hanya menunggu nasib.
Pelurusan makna jihad diarahkan pada perubahan yang substansial, penguasaan sains, tehnologi informasi, perubahan dalam kualitas pendidikan agar tidak stagnan, penguatan sisi ekonomi agar umat Islam kuat secara finansial sehingga tidak mudah didikte oleh kelompok yang lebih kuat dengan dalih bantuan pembangunan, pinjaman lunak sebagaimana yang tengah dirundung Indonesia dengan hutang luar negeri yang jumlahnya mencapai ribuan triliun rupiah. Hal ini menjadi musabab mengapa hingga satu dekade paska ‘krisis ekonomi’ kita belum mampu bangkit dengan gagah.
Kembali kepada persoalan paling substansial dalam melakukan perubahan, orang-orang yang berjihad harus mempu memperlihatkan diri sebagai umat yang berperadaban. Karena itu ibadahnya seperti shalat, puasa, haji, zakat, sedekah, kejujuran, kesabaran, kemaafan, kelapangan, kemuliaan, ketaatan dalam kebajikan, taubat, kesadaran atas pengawasan Allah, harus mampu diaplikasikan dalam kesehariannya dan dalam pergaulan dengan masyarakat dimanapun berada. Semua bentuk jihad yang asasi, yaitu jihad melawan hawa nafsu ini, menjadi pijakan dalam jihad yang membangun peradaban yang menjadi arus utamanya. (Hasbi;110).
Maka, jihad membangun akhlak menjadi tugas utama, diikuti oleh jihad mempersatukan perpecahan umat. Jihad membangun politik umat, juga jihad membangun masyarakat Islam yang sedang dalam titik rendah berhadapan dengan masyarakat lain yang lebih solid, makmur dan saling mendukung sesama mereka. Selanjutnya jihad membangun ekonomi masyarakat, membangun pendidikan, jihad sosial, serta jihad da’wah.
Meninggalkan segala bentuk kekerasan, anarkisme yang dapat menjadi preseden buruk bagi perkembangan Islam itu sendiri. (Hasbi; xxii).[]
*Program Pascasarjana UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh