Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*

Berperawakan kecil dengan rambut sedikit “kriwil” pemuda kelahiran Takengon 14 Januari 1994 yang lalu itu memiliki nyali dan tekad yang melebihi postur tubuhnya. Merintis pendidikannya di Sekolah Dasar Negeri Pinangan (sekarang SD Negeri 7 Kebayakan) saat usianya masih empat setengah tahun pada tahun 1999, Arief Rahman Hakim, nama pemuda “mungil” ini berhasil menamatkan sekolah dasarnya pada usia sebelas tahun pada tahun 2005 yang lalu.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan menimba ilmu pengetahuan dan belajar tentang agama, Arief kemudian mengikuti saran kedua orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan menengahnya di pondok pesantren terpadu, dan pilihannya jatuh pada Pesantren Terpadu Nurul Islam, Belang Rakal, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Meskipun awalnya merasa begitu berat, karena dalam usia yang masih sangat muda harus “berpisah” dari orang tua dan kedua adiknya, tapi pemuda ini terlihat pantang menyerah. Dia bisa segera beradaptasi dan menyatu dengan lingkungan pesantren yang memiliki ratusan santri itu.
Mengingat bahwa kedua orang tuanya sudah bersusah payah meiayai pendidikannya, Arief pun tidak mau menyia-nyiakan amanah dari kedua orang tuanya, dan hasilnya segera terlihat, mulai dari semester pertama pada jenjang pendidikan menengah pertama (tingkat Madrasah Tsanawiyah), anak pertama dari pasangan Fathan dan Ikawati Dewi ini langsung menyabet rangking pertama di sekolah yang memadukan pendidikan umum dan agama secara berimbang itu, prestasi itu tetap dia pertahankan sampai lulus dari jenjang SLTPnya pada tahun 2008.
Merasa sudah menyatu dengan lingkungan pesantren, Arief tidak punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan menegah atasnya di luar pesantren, dia pun membulatkan tekad untuk melanjutkan jenjang berikutnya yaitu tingkat Madrasah Aliyah pada pesantren yang sama. Berbekal prestasi pada jenjang berikutnya, Arief tak mengalami kesulitan untuk mempertahankan prestasinya di tingkat SMA, rangking pertama tetap dia pegang kukuh dan tidak pernah “lepas” dari tangannya selama mengikuti pendidikan SMAnya. Bahkan prestasi Arief semakin “berkibar”, beberapa kali gelar juara pertama cerdas cermat dalam rangka memperingati Hari Amal Bakti (HA) Kementerian Agama tingkat Kabupaten Bener Meriah berhasil dia sabet, sehingga beberapa kali pula diia berhak mewakili sekolah dan kabupaten untuk “bertarung” di tingkat provinsi Aceh, dan di level provinsi dia juga bisa menembus tiga besar.

Bukan itu saja, kemampuannya dibidang eksakta yang “diatas rata-rata”, juga membawanya beberapa kali meraih juara Olimpiade Sains tingkat kabupaten Bener Meriah, bahkan mampu menyisihkan “rival”nya dari sekolah-sekolah negeri favorit di kabupaten yang merupakan bagian dari Dataran Tinggi Gayo itu. Diapun melenggang ke tingkat provinsi, dan gelar sepuluh besar Olympiade Sains Matematika tingkat provinsi Aceh pun melengkapi prestasinya tahun 2010 yang lalu.
Tahun 2011 merupahan tahun “krusial” baginya, karena pada tahun itu dia akan menamatkan jenjang SLTAnya, dan seperti siswa lainnya dia pun ingin menggapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sebuah kebetulan atau memang petunjuk dari Allah SWT, pada tahun itu Kementerian Agama membuka peluang bagi para santri pondok pesantren untuk meraih beasiswa melalui Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB). Beruntung bagi Arief, berbekal prestasinya sebagai pemegang rangking pertama di sekolahnya, dia berhak mengikuti seleksi tingkat provinsi Aceh bersama ratusan santri dari berbagai pesantren yang ada di Serambi Mekkah itu.
Bersaing dengan sekitar 600 peserta yang merupakan santri-santri terbaik dari pesantren masing-masing dengan materi test yang lumayan sulit, “uji kompetensi” yang merupakan kerjasama Kementerian Agama dengan 10 Perguruan Tinggi Negeri terbaik di Indonesia, Arief kemudian melenggang bersama empat rekannya yang berasal dari Banda Aceh, Pidie Jaya dan Aceh Timur yang berhasil “menembus” perguruan tinggi pilihan mereka. Tercatat seorang santri lolos ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, satu orang santri melaju ke Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, satu orang ke UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan seorang lagi masuk mulus ke Institut Pertanian Bogor (IPB). Arief sendiri kembudian “melenggang” ke Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Usai mengantongi ijazah Madrasah Aliyahnya, Arief kemudian “terbang jauh” meninggalkan kampung halamannya di Gayo, tekadnya sudah bulat untuk menggapai cita-citanya di kota terbesar kedua di Indonesia itu. Ternyata jalan yang harus dilaluinya tidaklah semulus yang dia bayangkan, meski sudah dinyatakan lolos seleksi oleh Kementerian Agama, namun Arief bersama 41 temannya dari berbagai daerah masih harus menjalani seleksi di tingkat perguruan tinggi. Namun tekad yang kuat diiringi usaha keras dan do’a, akhirnya Arief dapat “menembus tembok” salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia itu. Dan sesuai dengan pilihan awalnya ketika mengikuti seleksi, Arief pun berhak menduduki sebuah kursi di Fakultas Sains dan Teknologi (FSaintek) dan program study Kimia menjadi pilihannya, karena dia berprinsif bahwa tenaga skill di bidang kimia masih tergolong “langka” di daerah kelahirannya.

Tak semudah meraih prestasi di tingkat SLTA, Arief sempat “keteteran” mengikuti perkuliahan pertamanya, standar pendidikan di daerahnya yang masih “tertinggal” membuatnya harus “berlari kencang” untuk bisa mensejajarkan diri dengan teman-temannya yang rata-rata keluaran SLTA di pulau Jawa. Tapi semangat yang ditunjukkan oleh anak muda ini cukup luar biasa, meski harus “terengah-engah”, tapi akhirnya Arief bisa beradaptasi dalam waktu yang tidak terlalu lama, Indek Prestasi di semester-semester awal pun tidak mengecewakan.
Menikmati beasiswa penuh dari Kementerian Agama, tentu sebuah berkah baginya, secara tidak langsung dia sudah bisa membantu meringankan beban kedua orang tuanya yang berstatus sebagai pegawai negeri biasa dengan penghasilan pas-pasan itu. Karena selain semua biaya perkuliahan sudah ditanggung Negara, dia juga masih mebdapat “subsidi” berupa “life cost” dari kemeterian yang memberinya beasiswa selama 8 semester itu. Biaya hidup di kota Surabaya yang masih tergolong murah itu bisa dia cukupi dengan life cost yang dia terima setiap bulannya, kedua orang tuanya cukup mensubsidi biaya transport dan sewa rumah kost saja.
Memasuki dunia kampus, Arief pun mulai berkenalan dengan berbagai organisasi kemahasiswaan, dia pun bergabung dengan komunitas para santri penerima beasiswa dalam organisasi CSSMORA, disitu dia masuk sebagai jajaran pengurus. Di Fakultas Sains dan Teknologi, Arief juga tidak ketinggalan masuk sebagai jajaran pengurus LPM FOPMAT. Kedua organisasi inilah yang kemudian sering “membawa” Arief melanglang tanah Jawa mulai dari Bandung, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Solo bahkan sampai ke pulau dewata Bali, untuk mengikuti berbagai event dan kompetisi antar perguruan tinggi. Deretan medali dan piagam yang terpajang di rumah kostnya di kawasan Gubeng, menjadi saksi bisu raihan prestasi yang pernah dia capai selama berada di Kampus Hijau. Berbekal ilmu agama yang dip[erolehnya di pesantren, Arief juga sering diundang untuk memberikan ceramah di hadapan para mahasiswa bukan hanya di fakultasnya tapi juga di fakultas lainnya.
Ada “bakat terpendam” yang kemudian mulai eksis dia gali dalam dirinya, hobi menulis yang sudah dia tekuninya seperti mendapat tempat “pelampiasan”. Lewat blog pribadinya wienpull’s home, kemudian dia memposting ide-ide yang ada di kepalanya. Tak cukup “bermain” di blog, Arief kemudian bergabung dengan komunitas penulis muda dari pelbagai pelosok negeri untuk menrebitkan antologi. Sampai saat ini sudah ada lima buku antologi hasil “keroyokan” Arief dan teman-temannya. Terinspirasi oleh ayahnya yang baru-baru ini telah meluncurkan buku perdananya, Arief pun terobsesi akan segera menerbitkan bukunya seusai wisuda bulan Maret 2016 nanti.
Hari Selasa (26/1/2016) kemarin kemudian menjadi “hari bersejarah” baginya, melalui penelitian yang diangkat dalam skripsinya yang mengangkat tema “Kandungan Bahan Kimia Beracun Limbah Rumah Tangga”, Arief berhasil mempertahankan argumennya dihadapan empat orang dosen penguji di FSaintek Universitas Airlangga, perguruan tinggi berakreditasi A tersebut. Senyum simpul usai melakukan sujud syukur di ruang sidang, mengiringi langkah Arief keluar dari “kawah candradimuka” itu. Kerja kerasnya selama kurang lebih empat tahun telah membuahkan hasil yang membahagiakan kedua orang tuanya, gelar Sarjana Sains (SSi) kini berhak disandangnya. Hari-hari bahagia penuh rasa syukur kini tengah dilaluinya sambil menunggu saat yudisium dan wisudanya.
Tapi apa yang sudah diraihnya, bukanlah akhir dari segalanya, bahkan menjadi awal untuk menghadapi tantangan berikutnya. Sesuai dengan komitmen yang sudah dia tanda tangani saat pertama menerima beasiswa dari PBSB Kementerian Agama, dia masih harus “membayar” fasilitas beasiswa yang sudah dia nikmati selama empat tahun itu dengan kewajiban mengabdi di pesantren asalnya sekurang-kurangnya selama satu tahun. Meski itu berarti niatnya untuk melanjutkan jenjang S-2nya harus tertunda, tapi Arief tetap terlihat enjoy, bahkan dia bersyukur bisa mengamalkan ilmu yang sudah dia peroleh di kampus untuk di sharing kepada para juniornya di Pesantren Terpadu Nurul Islam Belang Rakal.
Kegembiraan juga terpancar dari para ustadz dan ustadzah di Pesantren Nurul Islam saat menerima kabar kelulusan salah satu alumninya itu. Ustadz Jured dan Ustadz Wahid Purnomo, dua pengasuh senior di pesantren itu menyatakan rasa gembira dan syukurnya, karena salah seorang alumni terbaik asuhan mereka akhirnya kana bergabung untuk memajukan pesantren yang di bangun oleh seorang tokoh Gayo di Jakarta, H. Wahab Rahmatsyah pada tahun 2000 itu.
Usai mengabdi nanti, Arief masih punya keinginan untuk mewujudkan cita-cita selanjutnya, program pasca sarjana di almamaternya Unair Surabaya sudah menjadi target keduanya, baru setelah itu dia ingin kembali ke tanah Gayo untuk mengabdikan diri bagi tanah kelahirannya, sebuah cita-cita mulia tentunya, semoga akan mendapat kemudahan dari Allah SWT.[]
*Warga Takengon





