
Jakarta, Lintasgayo.co : Sejumlah warga Aceh yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) menyatakan gugatan mereka kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) untuk membatalkan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW Aceh.
“Kami menggugat Mendagri segera membatalkan qanun atau peraturan daerah tersebut karena tidak mengakomodir kawasan strategis penyelamatan lingkungan hidup di Aceh,” kata Dahlan, anggota GeRAM, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (20/01/16). Konfrensi pers ini didampingi Nurul Ikhsan, kuasa hukum warga Aceh yang tergabung dalam GeRAM.
Selain Dahlan yang merupakan warga Kota Lhokseumawe, anggota GeRAM lainnya yakni Sarbunis dari Aceh Selatan, Najaruddin dari Nagan Raya, dan Efendi dari Aceh Besar. Kemudian Farwiza dari Banda Aceh, Juarsyah dari Bener Berah, Abu Kari dari Gayo Lues, Kamal Faisal dari Aceh Tamiang, dan Muhammad Ansari Sidik dari Aceh Tenggara.
Dahlan mengatakan, Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 Tentang RTRW Aceh tersebut juga tidak ramah bencana. Buktinya, tidak ada pengaturan mengenai jalur evakuasi bencana. Padahal, Aceh merupakan daerah rawan bencana. “Membatalkan qanun ini merupakan bukan keinginan, akan tetapi keharusan,” kata Dahlan.
Sementara Abu Kari asal Gayo Lues mengatakan, dirinya ikut menggugat Mendagri membatalkan Qanun RTRW Aceh karena di dalam peraturan daerah tersebut tidak memasukkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai kawasan yang berfungsi lindung. “Tidak ada Kawasan Ekosistem Leuser sama saja memberi peluang terbukanya izin perkebunan dan eksploitasi tambang di Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser,” kata dia.
Jika ini terjadi, lanjut Abu Kari, masyarakat Aceh harus bersiap menghadapi bencana besar di masa mendatang. Sebab, Kawasan Ekosistem Leuser rusak, maka rusak pula Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
“TNGL merupakan sumber air bagi masyarakat Aceh, baik di pesisir timur maupun Pantai Barat Selatan. Kalau ini rusak, tentu sumbar air tidak ada lagi. Yang ada bencana banjir bandang,” kata Abu Kari mengingatkan.
Alasan lain, kata Abu Kari, tidak diakomodirnya hak adat terhadap pengelolaan kawasan hutan dalam qanun tersebut. Padahal, hak adat sudah ada sejak zaman dahulu. “Kami mengelola kawasan hutan berdasarkan adat. Nenek moyang kami berpesan hutan dan sumber air harus dijaga,” ungkap Abu Kari.
Lain halnya Najaruddin asal Nagan Raya, ia mengaku galau karena KEL tidak masuk dalam Qanun RTRW. Jika tidak masuk, maka hutan gambut Rawa Tripa yang merupakan bagian dari KEL terancam berubah fungsi. “Jika Kawasan Ekosistem Leuser tidak masuk dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, maka siap-siap saja hutan rawa gambut Tripa menjadi perkebunan sawit. Sekarang saja, sebagian hutan rawa gambut Tripa sudah menjadi kebun sawit,” kata Najaruddin.(SP)