
MEMBAJAK sawah dengan tenaga kuda nyaris tidak ada lagi di seantero dunia, namun ternyata masih dilakukan di Kabupaten Gayo Lues, persisinya di kampung Rigep Kecamatan Dabun Gelang oleh seorang warganya, Kasim Aman Otih.
Aman Otih masih mempertahankan pola tradisional dalam membajak sawahnya, masih dengan menggunakan tenaga kuda yang dalam bahasa Gayo disebut me nor di Gayo Lues (Gayo Deret) dan nengel di Gayo Laot (Aceh Tengah).
Membajak (me nor) dengan kuda jauh lebih hemat hanya bermodal tenaganya dan kuda betina piarannya. Sementara jika dibajak dengan traktor menguras uang hingga Rp. 500 ribu perkaleng bibit.
“Ekonomi saya lemah, jadi saya terpaksa mempertahankan cara lama membajak sawah saya dengan tenaga kuda yang luasnya seukuran 2 kaleng bibit padi,” ungkap Aman Otih disela-sela istirahat shooting Si Bolang Trans 7, Sabtu 2 Januari 2016.
Selaku warga masyarakat Gayo kelas bawah, dia mengaku merasa miris dengan akan hilangnya me nor yang lebih ekonomis akibat kehadiran traktor yang praktis walau tidak ekonomis. “Orang sekarang lebih suka praktis walau tidak ekonomis, termasuk saya jika punya uang, akibatnya tradisi kita Urang Gayo semakin hilang,” keluh Aman Otih.
Terpisah, salah seorang warga Rigep yang berprofesi usaha jasa traktor sawah, Budiman membenarkan pernyataan Aman Otih. “Ya, Aman Otih hampir setiap awal musim tanam padi 2 kali setahunnya me nor dengan kudanya. Hanya dia yang seperti itu di kampung ini,” ungkap Budiman.
Pengakuannya, setiap musim tanam padi meraup hingga Rp.8 juta dari jasa mentraktor sawah warga dengan traktor yang dibelinya Rp.24 juta.
“Dulu sebelum traktor hadir, seluruh areal persawahan pekerjaan membajaknya dengan tenaga kuda atau dicangkul tenaga manusia, mulai beralih dengan tenaga traktor sejak tahun 1999 dan kian hilang hingga sekarang,” pungkas Budiman. (Kh)







 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										 
										