Fathan Muhammad Taufiq*

KABUPATEN Aceh Tengah dan Bener Meriah yang juga dikenal sebagai Tanoh Gayo karena mayoritas didiami etnis Gayo. Namun demikian banyak warganya beretnis Jawa, Aceh, Minang, Batak, sampai etnis Cina, mereka hidup berdampingan secara damai meski dengan latar belakang kultur yang berbeda.
Etnis Jawa di Gayo mencapai 30% dan menyebar hampir di seluruh pelosok. Komunitas ini sebagian besar sudah menetap di daerah ini secara turun temurun dan telah melahirkan beberapa generasi. Konon katanya sudah sejak zaman kolonial Belanda, mereka awalnya dipekerjakan sebagai buruh atau pekerja perkebunan oleh pemerintahan koloninial, tapi setelah era perkebunan zaman Belanda berakhir, mereka enggan kembali ke tanah asal di pulau Jawa.
Kebanyakan dari mereka merasa lebih nyaman membuka kebun dan lahan pertanian sendiri, mereka kemudian berkembang dan beranak pinak sehingga membentuk sebuah “komunitas” dan membaur dalam komunitas masarakat Gayo.
Sebagian besar dari komunitas “wong Jowo” tersebut memang berprofesi sebagai petani dan tinggal di desa-desa, ada juga sebagian dari mereka yang kemudian masuk ke birokrasi sebagai pegawai negeri sipil, pedagang dan pengrajin. Kemampuan beradaptasi dari komunitas ini sangat baik, sehingga mereka dapat hidup berbaur dengan masyarakat Gayo lainnya, bahasa dan logat yang kental bukanlah kendala dalam berkomunikasi melainkan hanya menjadi “ciri khas” dari komunitas ini.

Ada yang unik dari komunitas Jawa di Tanoh gayo ini, meski sudah puluhan tahun meninggalkan tanah leluhurnya di pulau seberang dan secara sosial ekonomi telah beriteraksi dengan warga lainnya, tapi seagian besar mereka masih terikat dengan tradisi-tradisi Jawa yang sangat kental. Dalam acara-acara ritual yang di anggap sakral seperti upacara perkawinan, khitanan, pemberian nama anak yang baru lahir sampai ritual untuk mendo’akan arwah para leluhur masih terlihat kentara pada komunitas ini.
Dalam acara ritual perkawinan misalnya, adat atau tradisi Jawa masih dipakai oleh komunitas ini, mulai dari acara siraman, midodareni, temon manten sampai acara injak telor bagi pengantin yang kadang-kadang agak berbau mistis masih sering didapati dalam acara-acara mereka.
Bagi masyarakat Gayo lainnya, ritual unik seperti itu sudah menjadi pemandangan biasa, malah jadi daya tarik tersendiri dan dianggap menambah khasanah keunikan budaya di Tanoh Gayo, sesuatu yang mungkin tidak didapati di daerah lain.
Disamping ritual yang unik, dalam acara tersebut, penganan khas Jawa seperti jenang, wajik, gemblong, rengginang, keripik pisang, peyek dan tape ketan seolah juga merupakan bagian tak terpisahkan dari acara itu.
Meski kelihatannya ribet dan membutuhkan banyak waktu dan tenaga untuk menyediakan itu semua, namun semangat gotong royong yang tinggi dalam komunitas ini mampu mengatasi semua kendala itu.

Ada lagi tradisi kenduri “bancakan” atau “berkatan” yang biasa digelar dalam acara pemberian nama anak atau akikahan yang dalam kultur masyarakat Gayo disebut acara “turun mandi”. Acara kenduri akikahan yang biasanya di iringi dengan bacaan shalawat barzanji dan do’a itu, disajikan hidangan berupa nasi dan lauk pauknya serta berbagai penganan khas Jawa lainnya.
Uniknya hidangan itu tidak dimakan disitu tapi dibagikan kepada yang hadir dan dibungkus dengan daun pisang untuk dibawa pulang. Tardisi ini sampai sekarang masih terpelihara dengan baik dalam komunitas ini, khususnya mereka yang tinggal di desa-desa.
Dalam hal seni dan budaya, warga beradrah Jawa ini juga “membawa” beberapa jenis kesenian dari tanah asal mereka, tak heran jika dalam peringatan tujuh belas Agustus di Tanoh Gayo, selain kesenian asli Gayo seperti Didong, Saman, Tari-tarian dan Lagu Gayo, juga tampil kesenian Jawa seperti Kuda Lumping, Reog bahkan Wayang Kulit, untuk yang disebut terakhir ini sudah jarang muncul, karena untuk memainkan kesenian jenis ini perlu keahlian dan keterampilan khusus, tapi kalo untuk kuda lumping dan reog, sampai saat ini masih tetap eksis.

Bicara tentang etnis Jawa tentu tidak dapat dilepaskan dari penganan yang sering disebut sebagai “jajan pasar”, di pasar-pasar tradisional di Tanoh Gayo juga tidak sulit mendapatkan jenis penganan ini. Penganan seperti Getuk, Tiwul, Kelepon, Cucur, Cenil dan lainnya bukanlah makanan yang sulit ditemui di daerah ini, beberapa pedagang kue yang umumnya berasal dari etnis Jawa selalu menyediakan penganan ini, dan sepertinya masyarakat Gayo juga sudah sangat “familiar” dengan aneka penganan khas ini. Begitu juga dengan “profesi” khas orang Jawa seperti penjual jamu gendong, penjual bakso dan mi ayam menyebar hampir di semua sudut Tanoh gayo.
Itulah sekelumit gambaran tentang keberadaan komunitas Jawa di Tanoh Gayo, mereka dapat berbaur dengan baik dengan warga masyarakat lainnya, nyaris tidak pernah ada kendala dalam berinteraksi dan berkomunikasi, tapi masih tetap mempertahankan eksistensi budaya dan tradisi leluhur mereka. Mudahnya komunitas Jawa beradaptasi di Tanoh Gayo juga tidak terlepas dari sikap terbuka, bersahabat dan toleransi Urang Gayo terhadap para pendatang di daerah ini, meski berbeda kultur, adat dan tradisi, namun semua etnis yang ada di tanoh Gayo mampu bersatu dalam kebersamaan.[]
*Warga Takengon Aceh Tengah





