
MALAM semakin larut, namun hingar bingar suara orang sedang bercerita masih belum surut. Kala itu tahun 2010 di Warung Kopi SMEA Lampineung Banda Aceh. Jauhari Samalanga atau akrab di sapa Joe mengaduk kopi pesanannya. Joe adalah salah satu pelaku seni yang giat di Banda Aceh. Joe berasal dari Samalanga namun dibesarkan di Gayo. Hingga kini Joe cukup dikenal di Banda Aceh dan banyak berperan dalam mengemas sejumlah kesenian yang ada di Provinsi Aceh. Bersamanya pula duduk Bayu Wiga, Rusdi, dan Adhan WR. Mereka merupakan tokoh pemuda Gayo Lues di Kota Banda Aceh.
Malam itu suasana ngopi masih berjalan seperti biasa, disela-sela canda, timbul pembahasan yang cukup menarik. Joe mulai menggeser sedikit gelas kopi agar tidak tersenggol, maklum cerita sambil memberikan analogi dengan bantuan tangan sudah mencari khas pria yang banyak memproduseri album musisi ternama di Aceh ini.
Begitu juga dengan Rusdi, Adhan dan Bayu. Saling menjawab, mengisi, mengkritik juga memberi masukan berlangsung hangat. Hingga hampir dua jam berjalan, akhirnya mereka membungkus sebuah ide yang mereka anggap menarik. Mereka bertekat tetap mewujudkan ide itu. Sebuah gagasan yang memang sebelumnya belum pernah terjadi di manapun di luar Kabupaten Gayo Lues. Ialah “Saman Sara Ingi” (Menari Saman Semalam Suntuk; Gayo.Red).
Malam itu menjadi titik awal perubahan besar terjadi bagi mahasiswa Gayo Lues di Banda Aceh. Kenapa begitu, karena Saman Sara Ingi lah yang merupakan pagelaran pertama terbesar yang digelar mahasiswa Gayo Lues secara pribadi di Kota Banda Aceh. Kepercayan diri mahasiswa Gayo Lues terhadap daerahnya meningkat sangat drastis. Ini berdasarkan amatan penulis, sejak saat itu banyak terlihat mahasiswa Gayo Lues memunculkan identitas mereka seperti memakai pernak pernik berupa gelang, baju, atau topi yang menggunakan motif kerawang Gayo Lues.
Kembali ke pertemuan di warung kopi, Adhan ditemani sejumlah rekannya mulai membicarakan ide mereka ke sejumlah tokoh masyarakat Gayo Lues di Banda Aceh seperti Prof. Abu Bakar Karim (saat ini Kadis Pertanian Prov Aceh). Pucuk di cita ulan pun tiba, ide mereka mendapat apresiasi penuh. Sederet tokoh lain seperti Dr. Rajab Bahri, Tgk. Jemarin, Dr. Isa, Irmawan dan sejumlah tokoh lain baik dari Gayo Lues maupun dari Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Bener Meriah ikut memberikan apreasi yang baik. Bagi mereka, gagasan mereka cukup gila, karena sejak dahulu Saman Sara Ingi atau Saman yang digelar dalam semalam suntuk hanya digelar di daerah aslinya yakni Kabupaten Gayo Lues atau Aceh Tenggara (Sebelum Gayo Lues dimekarkan).
Akhirnya pada 19 Maret 2011, Untuk kali pertama mahasiswa menggelar pagelaran akbar tanpa bergabung dengan daerah lain seperti yang biasa dilakukan (lihat cuplikan videonya disini “Saman Sara Ingi”). Ribuan penonton begitu histeris menyaksikan suguhan kolaborasi Saman saat itu, selain keseriusan dan kekompakan mahasiswa Gayo Lues sebagai panitia acara, aksi para tokoh masyarakat dalam proses acara juga tak kalah hebat. Tidak ada detail sedikitpun yang terlewatkan dari materi Dr. Rajab Bahri yang dipercayakan membahas satu persatu dari keseluruhan tata cara, makna, gerak, serta jenis-jenis tari Saman asal negeri seribu bukit tersebut.
Bukan itu saja, penyair nasional asal Gayo Fikar W Eda secara khusus menciptakan puisi berjudul Saman (nikmati video puisinya disini “Puisi Saman”). Sebelum selesai, penonton sudah pasti tahu, bukan Fikar W Eda namanya jika aksinya di atas panggung tanpa chemistry yang “wah”.
Kini kesuksesan pagelaran yang menjadi awal terangkatnya rasa percaya diri bagi mahasiswa Gayo Lues di Banda Aceh itu kembali diulang. Tentunya dengan kemasan yang lebih kreatif lagi, penasaran? Silahkan datang ke gedung AAC Dayan Dawood, Darussalam, Banda Aceh pada 18 Desember 2015 depan. Gratis! (Win)