Catatan Joe Samalanga: Selamat Datang Aceh Leuser Antara

oleh

joe_anakSEMANGAT konvoi anak-anak muda yang mendorong perwujudutan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA), 4 Desember 2015 di Takengon–yang bertepatan dengan Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM), memang layak menjadi pemikiran bersama bahwa Hak-hak rakyat  sangat penting dikedepankan, mengingat Aceh baru saja “sembuh” dari konflik senjata.

Pemekaran Aceh Leuser Antara (ALA)–dan juga Aceh Barat Selatan (ABAS) selalu saja menjadi pembahasan penting, mengingat daerah yang berada di dalam wilayah ALA dan ABAS itu merupakan kawasan yang total “nasionalis” Indonesia, yang tentu posisi ini sangat penting bagi Daerah basis Gerakan Aceh Merdeka di pesisir Aceh. ALA dan ABAS adalah perwujudan Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia di Provinsi Aceh.

Posisi kawasan ALA dan ABAS yang dari masa ke masa menjadi perhatian lantaran dianggap belum “makmur”Kendati di dalam UUD 1945 tidak ada pengaturan perihal pemekaran daerah secara khusus, namun Pasal 18 B ayat (1) menyebutkan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang,”

Begitupun pembentukan daerah baru bisa dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Untuk kabupaten/kota, syarat administratif yang harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.

Dan dasar pembentukan daerah baru harus meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Syarat fisiknya meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan suatu provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan suatu kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota termasuk lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Mengacu pada persyaratan, maka wilayah ALA dan Abas sudah dapat diproses karena kecukupan kabupaten yang digabung, untuk ALA sendiri terdiri dari kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, dan Aceh Singkil. Sementara untuk Aceh Barat Selatan meliputi Aceh Barat, Aceh Jaya, Nagan Raya, Siemeulu, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan.

Namun dalam amatan secara kasat mata, kecukupan wilayah belum menjadi satu faktor yang mutlak untuk mendirikan sebuah provinsi. Masih tersankut dengan faktor lainnya seperti Analiasa ekonomi dan kelengkapan adinistratif, semisal persetujuan dari Gubernur dan DPR Aceh. Tanpa itu, tidak mungkin menderi dalam negeri memberi rekomendasi, kecuali terjadi perubahan aturan administratif.

Lebih khusus, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur ketentuan tersebut seperti pembentukan daerah dan Kawasan Khusus. Masalah pemekaran wilayah termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. Undang-Undang  Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut : “Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”

Sementara berdasarkan data yang dimuat Kompas.com menyebutkan, Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2015 ini sudah menerima 114 usulan pemekaran daerah otonom baru dari masyarakat dalam empat bulan terakhir. Jika ditambah 87 usulan daerah otonom dari DPR, kini ada 201 usulan pemekaran daerah otonom baru.

Kemendagri berjanji tidak akan memproses pemekaran daerah yang belum layak. Hal ini untuk mencegah daerah otonom baru yang gagal berkembang.

Saat ini Indonesia memiliki 34 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Berdasarkan kajian Kemendagri, 65 persen daerah otonom tersebut gagal berkembang.

Untuk itu dia meminta pemekaran Harus mengikuti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 (tentang Pemerintahan Daerah). Artinya, semua usulan daerah otonom itu harus dikaji dulu. Kalau setelah dikaji, dilihat daerah-daerah itu layak berdiri sendiri, harus menjadi daerah persiapan dulu. Nanti setelah tiga tahun baru diputuskan bisa menjadi daerah otonom baru atau tidak. Pemerintah akan tegas soal hal ini,” ucapnya.

Sampai saat ini, belum ada satu usulan pun yang diteliti oleh pihaknya. Kemendagri masih menyelesaikan dua rancangan peraturan pemerintah sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai acuan teknis pemekaran daerah.

Mengacu pada aturan, tampaknya perjuangan menjadikan Aceh terbelah sebagai Provinsi Aceh, ALA dan ABAS perlu kerja keras, terutama pejuang ALA yang berada di DPR-RI dan MPR-RI, namun tidak seperti membalikan telapak tangan karena Gubernur dan DPR Aceh mutlak harus “memberi izin” terlebih dahulu untuk pemekaran tersebut, selain itu Pusat dan Aceh masih berseteru kuat menyangkut bendera yang belum kelar, soal pelanggaran HAM, dan lain-lain, padahal sudah tertuang dalam UUPA.

Pertanyaan sederhana tentang reaksi gubernur dan DPR Aceh haruslah dijawab? dan betulkah 2016 menjadi tahun Ikrar ALA sesungguhnya? Sebaiknya “menunggu” menjadi kata yang sempurna, sebab proses demi proses masih diawang-awang, jika tak ada masalah lagi, dipenghujung tahun 2015 ini sudah patut dikumandangkan gema “Selamat Datang Provinsi ALA 2016”, begitu…!!!

Joe Samalanga adalah Redaktur Pelaksana Media Online LintasGayo.co

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.