Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*
SOSOK laki-laki 54 tahun ini sering terlihat di tengah jalan mengawasi petugas pertamanan yang sedang mengurus dan merawat tanaman yang menghiasi pembatas jalan dua jalur di seputaran kota Takengon, terkadang dia juga terlihat bercengkerama dengan petugas kebersihan yang sedang mengumpulkan dan mengangkut sampah di kota berwawa sejuk ini.
Bukan kurang kerjaan jika dia berada diantara petugas kebersihan dan pertamanan itu, karena dia lah pemegang otoritas di bidang kebersihan dan pertamanan di Kabupaten Aceh Tengah, kabupaten yang lebih dikenal sebagai penghasil kopi arabika terbaik di Indonesia.
Ir. Zikriadi, MM, nama pria kelahiran Takengon, 5 November 1961 itu memang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Aceh Tengah, jabatan yang sudah disandangnya hampir setahun. Mengawali karirnya sebagai petugas perbenihan di Balai Benih Padi Utama Keumala, Pidie pada tahun 1986 yang lalu, lulusan Fakultas Pertanian Unsyiah ini kemudian “pulang kampung” untuk ikut membangun tanah kelahirannya pada tahun 1993 yang lalu.
Sesuai dengan basic pendidikan akademiknya di bidang pertanian, kemudian Zikriadi atau yang akarab dipangggil Bang Wien ini “nyangkut” di Dinas Pertanian Tanaman Pangan selama lebih dari sepuluh tahun. Setelah itu dia “bergeser” posisi masih pada lingkup yang sama yaitu pada Dinas Perkebunan dan Kehutanan setempat.
Sampai akhirnya dia mendapat “promosi” sebagai Staf Ahli Bupati Aceh Tengah pada akhir tahun yang lalu, jabatan itu hanya sebentar didudukinya, sebelum akhirnya dia ditunjuk oleh Bupati untuk “mengawal” urusan lingkungan hidup, kebersihan dan pertamanan, jabatan yang masih dipegangnya sampai saat ini.
Sebagian orang mungkin hanya mengenalnya sebagai salah seorang pejabat di Kabupaten Aceh Tengah, tapi sebenarnya ada satu sisi “unik” dari kehidupan sang pejabat yang tidak banyak diketahui publik. Kalau pejabat lain punya hobi “elit” seperti main tenis, main golf atau touring, Bang Wien adalah seorang pejabat yang punya hobi agak “langka”. Dia memiliki hobi sebagai pecinta tanaman, hobi yang mulai dia kembangkan sejak dia baru menapaki karir di Dinas Pertanian.
Hobinya ini sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba, hobi itu berawal dari keprihatiannya terhadap beberapa jenis komoditi pertanian unggulan yang selama ini nyaris terlupakan seperti Jeruk Keprok Gayo dan Alpukat. Bang Wien pun kemudian memutuskan untuk menjadi penangkar bibit tanaman khususnya jeruk dan alpukat, dia mulai “menyulap” lahan pekarangan miliknya sebagai tempat pembibitan tanaman pada tahun 1995 yang lalu.
Usaha penangkaran bibit tanaman yang berawal dari hobinya itu, kemudian terus berkembang seiring dengan semakin banyaknya program pengembangan hortikultura khususnya jeruk keprok di Dataran Tinggi Gayo. Banyak rekanan pengadaan bibit yang kemudian memesan bibit jeruk kepada Bang Wien, usaha yang semula hanya sebagai penyaluran hobi itupun akhirnya berkembang menjadi usaha sampingan yang menghasilkan keuntungan.
Melihat prospek cerah dari usaha pembibitan tanaman ini, Bang Wien akhirnya memutuskan untuk memperbesar volume usahanya, dia membeli tanah yang berbatasan dengan pekarangan rumahnya yang kemudian dijadikan sebagai tempat lahan untuk memperluas areal pembibitannya. Yang spesifik dari penangkar bibit berseselon 2 ini adalah, dia mengkhususkan penangkaran bibitnya hanya pada dua komoditi unggulan dataran tinggi Gayo yaitu Jeruk Keprok dan Alpukat unggul.
Kalaupun kemudian menyelinginya dengan beberapa jenis tanaman lain, tetap saja yang berbasis jeruk seperti jeruk nipis dan jeruk purut . Itu semua dia lakukan karena sebagai Putra Gayo, dia merasa terpanggil untuk ikut mengembangkan dan melestarikan dua komodti unggulan yang menjadi kebanggaan daerah, tanpa upaya tersebut, bukan mustahil nama Jeruk Keprok Gayo dan Alpukat Unggul nantinya hanya akan tinggal nama.
Merasa “kewalahan” mengelola pembibitannya sendirian, akhirnya Bang wien merekrut beberapa orang pekerja untuk membantu mengelola usaha pembibitannya. Pekerja yang kemudian membantu di penangkaran bibit itupun merupakan orang yang sudah lama dia “didik” dalam bidang penangkaran bibit, sehingga tidak perlu mengarahkan lagi para pekerja itu, karena mereka sudah paham seluk beluk tentang penangkaran bibit, khususnya jeruk keprok.
Meski sekarang kesibukannya sebagai seeorang pejabat cukup menyita waktunya, tapi dia tidak mau melapaskan usaha yang sudah dirintisnya sejak dua puluh tahun yang lalu itu. Meski sekarang dia sudah jarang “turun” langsung menangani pembibitan, tapi diwaktu senggangnya dia masih sempat untuk memeriksa kebun pembibitan di halaman belakang rumahnya yang berisi ribuan batang bibit tanaman jeruk dan alpukat itu, bahkan tidak jarang dia ikut melakukan okulasi atau sambung pucuk pada bibit tanamannya .
Sebuah keuntungan baginya, rumahnya yang terletak agak “tersembunyi” itu membuat bibit-bibit tanaman miliknya jarang terganggu oleh hama atau penyakit tanaman, apalagi sekarang dia juga sudah membangun dua Screen House di tempat pembibitannya, sehingga pembibitannya selain steril dari hama dan penyakit tanaman juga aman dari gangguan ternak disekitarnya.
Hari minggu atau hari libur adalah hari yang paling ditunggu-tunggunya, karena pada hari tersebut dia bisa bebas “bercengkerama” dengan tanaman-tanamannya. Kecintaannya kepada tanaman seakan sudah “mendarah daging” dalam diri suami dari Suzana ini.
Dari pengakuannya, usaha pembibitan yang dia tekuni selama ini telah memberikan tambahan penghasilan yang tidak sedikit baginnya, tanpa mengganggu tugasnya sebagai aparatur negara.
Selain itu, menurut Bang Wien, berada ditengah-tengan susunan polybag berisi berbagai jenis tanaman itu juga bisa menghilangkan stress akibat beban kerja yang cukup beras di kantornya. Itulah sebabnya dia terus mempertahankan usaha pembibitannya itu, meskipun sekarang dia sudah menjadi seorang pejabat dengan seabreg kesibukan yang sangat menyita waktunya.
Untuk kualitas bibit tanaman yang dihasilkannya, Zikriadi berani memberi jaminan, karena semua bibit tanaman yang dihasilkannya selain dikembangkan ditempat khusus berupa screen house, semua bibit tanaman sudah mendapat sertifikat dan label dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB). Dia tidak ingin pelanggan bibit tanamannya kecewa karena mendapatkan bibit yang tidak jelas sumbernya.
Minggu pagi tadi, saat penulis menyambangi rumahnya yang berada di kampung Paya Tumpi Baru, sekitar tiga kilometer dari Takengon arah ke Bireuen, Bang Win terlihat sedang asyik memeriksa bibit-bibit tanamannya. Beberapa bibit yang sudah rusak atau kadaluarsa dia pindahkan ke tempat lain untuk di “rehabilitasi”, atau kalau memang sudah tidak layak untuk digunakan sebagai bibit, akan dia musnahkan.
Zikriadi juga termasuk selektif dalam memilih asal bibit yang akan dikembangkannya, dia harus yakin kalo bibit-bibit tanaman yang dia tangkarkan itu benar-benar berasal dari pohon induk yang sehat dan bebas dari penyakit tanaman.
Tak jarang dia harus mensurvey sendiri pohon induk yang akan dijadikan sebagai sumber bibit tanamannya, baginya kulaitas dan kepuasan pelanggan paling diutamakan. Itulah sebabnya, sudah dua puluh tahun dia menggeluti usaha penangkaran bibit ini, nyaris tidak pernah ada komplain dari pembeli bibit tanamannya.
Ada satu obsesi yang sampai saat ini masih dia simpan di benaknya, dia ingin kejayaan jeruk keprok gayo seperti tahun 1996 yang lalu, dimana jeruk keprok asal dataran tinggi Gayo ini berhasil menjadi juara dalam kontes buah tingkat nasional akan kembali lagi. Apalagi setelah tahun 2006 yang lalu, Menteri Pertanian mengesahkan bahwa jeruk keprok gayo sebagai buah unggulan nasional, semangat untuk mengembalikan kejayaan komoditi unggulan non kopi itu semakin menggebu dalam hatinya.
Dia sangat berharap, tanaman jeruk petani yang sudah tua atau rusak akibat terinfeksi serangan penyakit Citrus Phloem Vein Degeneration (CVPD) bisa segera diganti dengan bibit jeruk dari pembibitannya atau dari penangkar jeruk bersertifikat lainnya.
Dia juga merasa prihatin dengan masuknya jeruk impor dan jeruk dari luar daerah seperti Berastagi yang belakangan semakin membanjiri pasar di Takengon dan sekitarnya, padahal salah satu potensi buah unggulan dimiliki daerah ini. Fenomena membanjirnya buah dari luar seperti ini tentu akan bisa diminimalisir, jika para petani kembali menggalakkan penanaman buah di daerah ini, jika pasokan dari dalam daerah mencukupi, tentu pasokan dari luar akan berkurang.
Untuk menggalakkan kembali penanaman tanaman buah khususnya jeruk di dataran tingi Gayo, ketersediaan bibit yang baik dan berkualitas tentu menjadi syarat utama. Itulah sebabnya, meski sekarang dia sudah memegang jabatan penting, dia tetap eksis sebagai seorang penangkar bibit tanaman.
Tak sekedar mengejar keuntungan materi, tapi lebih dari itu, ada tujuan mulia untuk mengembalikan “marwah” komoditi pertanian unggulan Dataran Tinggi Gayo di balik hobinya.
Sebagai Kepala Badan Lingkungan Hidup, Kebersihan dan Pertamanan, sebenarnya saat Zikriadi sedang mengemban tugas yang cukup berat, dia harus mampu membawa kota Takengon meraih Adipura, sebuah penghargaan di bidang kebersihan kota yang sudah lama diimpikan warga Gayo. Itulah sebabnya, hari-hari belakangan ini di disibukkan dengan upaya mengawal dan menjaga kebersihan dan keindahan kota Takengon, tidak jarang dia harus turun sendiri bersama para petugas kebersihan dan pertamanan yang menjadi anak buahnya.
Namun dibalik kesibukannya itu, dia tidak melupakan eksistensinya sebagai penangkar bibit tanaman, agak “unik” dan “langka” memang, tapi itulah Zikriadi, sosok pejabat yang begitu peduli pada pengembangan dan pelestarian komoditi pertanian unggulan didaerahnya, itulah salah satu sisi kehidupan dari Zikriadi yang jarang diketahui oleh publik yang kemudian mendorong penulis untuk mengangkatnya ke media.[]
*Pengamat pertanian tanaman pangan, tinggal di Takengon Aceh Tengah