Sumpah Pemuda dan Pesimisme Akut Menjelang Pilkada

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

WWN-2BEBERAPA waktu yang lalu, di media sosial Facebook, saya mendapat kiriman gambar yang menunjukkan seekor Kerbau besar bertanduk runcing yang dengan patuh ditarik dengan seutas tali, oleh seorang anak kecil tak berbaju. Dalam teks gambar ini dikatakan “kenapa kerbau yang besar bisa dituntun dengan seutas tali yang tipis, padahal kalau dia mau lari, itu gampang sekali dia lakukan. Tapi inilah kekuatan keyakinan, dengan hidung yang tercucuk, kerbau ini yakin seyakin-yakinnya bahwa dia sudah terkekang selamanya”

Cerita di atas adalah gambaran dari manusia sendiri, ketika manusia ingin menguasai manusia lainnya. Yang harus ditanamkan oleh kelompok yang menguasai adalah keyakinan bahwa yang dikuasai memang tidak mampu untuk melepaskan kekangannya.

Pada zaman kuno, India dulunya dihuni oleh mayoritas ras Dravidia adalah sebuah bangsa yang sudah sangat maju peradabannya. Suatu ketika Ras Arya dengan semangat optimismenya datang dari utara dan menaklukkan India dengan segala keagungan peradabannya dan menjadi penguasa di anak benua itu. Untuk mempertahankan kekuasaannya dan dominasi mereka atas ras Dravidia. Para penguasa Ras Arya mengajarkan kepada bangsa Dravidia taklukannya, kalau  kalau nasib dan takdir mereka sudah ditentukan sejak kelahiran, berdasarkan karma dan lingkaran kehidupan sebelumnya. Tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengubahnya selain pasrah saja. Ini terus dilakukan secara masif dari generasi ke generasi, menjadi budaya lalu menjadi sistem kepercayaan dan akhirnya benar-benar diterima sebagai fakta.

Hasilnya nyata, penguasa ras Arya berhasil sepenuhnya menguasai India, tapi  rakyat India jatuh dalam kemiskinan dan penderitaan, karena India yang sebelumnya dipenuhi semangat optimisme yang dibawa ras Arya tersungkur dalam kepasrahan dan pesimisme akut.

Pesimisme akut ini, belakangan terkikis dengan kehadiran Buddha yang tercerahkan muncul membawa semangat  perubahan dan optimisme, tapi belakangan pesimisme datang lagi dan ajaran Buddha yang membawa optimisme malah terbuang dari India.

Dalam ajaran Islam yang diajarkan kepada kita, kalau kita perhatikan dengan teliti, para nabi besar juga sama, apakah itu Ibrahim, Musa, Daud, Isa sampai Muhammad SAW juga sama. Semua manusia agung yang tercerahkan itu datang ke tengah masyarakatnya yang dikuasai oleh pesimisme akut dan membawa masyarakatnya ke dalam optimisme yang membebaskan.

Dalam sejarah nasional kita, ketika Belanda menguasai negeri ini, untuk memastikan kelanggengan penjajahan. Belanda juga melakukan pola yang sama seperti yang dilakukan oleh penguasa Ras Arya kepada bangsa Dravidia ketika mereka menguasai India. Oleh Belanda, rakyat nusantara diyakinkan kalau mereka adalah masyarakat dari ras yang lebih lemah. Belanda menciptakan sekat-sekat sosial, baik melalui sekat feodalisme yang sudah ada maupun menciptakan sekat-sekat sosial baru, salah satunya dengan menciptakan berbagai gelar prestise yang membuat perbedaan kelas sosial. Di Sulawesi Belanda membuat gelar Andi untuk kaum bangsawan, di Bali, Belanda menciptakan Cokorda dan di kalangan umat Islam, Belanda menciptakan gelar Haji yang membuat penyandangnya mendapat status lebih tinggi di masyarakat. Dengan pola klasik ini, Belanda berhasil menguasai wilayah ini dengan cara yang lama.

Tapi sebagaimana selalu dibuktikan oleh sejarah. Namanya rencana manusia tak pernah ada yang sempurna.

Didorong oleh kebutuhan akan pegawai administrasi Belanda yang terampil, murah dan terdidik. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pada tahun 1848,  pemerintah memutuskan untuk mendirikan sekolah bagi bumiputera. Tapi manusia bukanlah robot yang bisa diprogram semaunya. Ketika manusia sudah terdidik, manusia jadi menyadari hak-haknya. Maka ketika semakin banyak penduduk Bumiputera yang terdidik, semakin banyak pula penduduk Bumi Putera yang menyadari betapa tidak adilnya Belanda. Maka bermunculan lah berbagai kelompok pergerakan, mulai dari Sarikat Islam, lalu muncul Budi Utomo dan lain-lain.

ketika di Belanda sendiri muncul Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) yang mendesak pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.

Akibat kuatnya desakan ini pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:

  1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
  2. Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
  3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan

Meski dalam perjalananya terjadi banyak penyimpangan tapi kebijakan politik etis ini membuat Populasi masyarakat terdidik di nusantara meningkat pesat.

Sebagai implementasi dari politik Etis ini Belanda mendirikan beberapa sekolah tinggi di wilayah jajahan, antara lain Geneeskundige Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran yang didirikan di Jakarta pada tahun 1927.  Rechtskundige Hooge School (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum yang didirikan tahun 1924.  Technische Hooge School (THS) yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB) di dirikan di Bandung pada tahun 1920.

Para mahasiswa dari berbagai institusi pendidikan tinggi inilah yang kemudian berinisiatif menyelenggarakan Kongres Pemuda Kedua selama dua hari, 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta) yang kemudian menjadi satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Dalam kongres ini, para pemuda tercerahkan dari berbagai wilayah di Nusantara membuat sebuah ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia. Ikrar inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Sumpah Pemuda.

Perjalanan sejarah berikutnya Indonesia berhasil merdeka. Tapi ketika ada orang yang berkuasa, tidak peduli apakah itu penguasa asing atau pribumi, naluri untuk mempertahankan kekuasaan itu tak pernah sirna. Dan sebagaimana sudah terjadi dalam peradaban manusia di segala zaman. Dalam usaha melanggengkan kekuasaan, pola untuk menyebarkan pesimisme dan membuat masyarakat pasrah dan percaya bahwa tidak ada jalan keluar dari kondisi yang ada. Sehingga lebih baik untuk menerima saja apapun keputusan pemerintah yang berkuasa. Ini juga terjadi di Indonesia.

Selama 32 tahun Orde Baru, masyarakat Indonesia dibuat percaya bahwa mereka tidak bisa mengubah nasibnya.

1998, penguasa Orde Baru yang sukses menyebarkan sikap pesimisme kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia berhasil ditumbangkan. Tapi mental pesimisme yang diwariskannya tidak mudah dihilangkan. Di banyak daerah, masyarkat masih sangat percaya kalau mereka tidak mungkin keluar dari situasi yang dialami sekarang.

Gayo adalah salah satu wilayah yang sangat parah terpapar wabah pesimisme akut

Fenomena ini terbaca jelas menjelang Pilkada. Ungkapan “sah pe ken bupati, kite tetap turah mujelbang kati mangan” adalah salah satu wujud pesimisme akut, warisan Orde Baru yang sulit dicari obatnya ini.

Maka ketika Bandung melambung dengan Ridwan Kamil,  Surabaya mengangkasa dengan Risma karena masyarakatnya percaya bahwa mereka bisa mengubah nasib dengan cara memilih pemimpin yang benar. Gayo yang sebentar lagi menyelenggarakan Pilkada, masyarakatnya masih saja percaya kalau pasrah dan menerima keadaan yang ada adalah satu-satunya pilihan yang tersedia. Persis seperti kerbau besar yang yakin dan percaya kalau dia tidak akan bisa melepaskan diri dari seutas kecil tali yang ditarik oleh seorang anak kecil tak bercelana.

Kalau situasi seperti ini terus dibiarkan, tidak sulit untuk menebak seperti apa keadaan Gayo pada 5 tahun ke depan. Tetap dikuasai oleh orang yang itu-itu saja, dengan janji yang itu-itu saja, dan masyarakat pun tetap mengomel dengan omelan yang itu-itu saja. Tak ada perubahan yang signifikan.

Karena itulah, agar Gayo bisa mengejar ketertinggalan situasi ini harus diubah dalam waktu yang tersisa menjelang Pilkada, dan untuk bisa keluar dari situasi ini, tidak bisa tidak, Gayo membutuhkan banyak manusia tercerahkan yang yakin dan percaya kalau kita bisa mengubah nasib kita sendiri kalau kita percaya bahwa kita bisa mengubahnya, seperti para mahasiswa di tahun  1928 yang mengikrarkan “Sumpah Pemuda”.[]

*Pengamat politik 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.