Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*
Pertengahan tahun 2003 yang lalu putra sulungku sudah memsuki kelas 6 Sekolah Dasar, setahun lagi akan menamatkan pendidikan dasarnya, sebagai orang tua, aku bersama isteriku mulai berfikir kemana putra kami itu akan kami arahkan untuk melanjutkan pendidikan jenjang menenghanya. Dari awal kami sudah berfikir untuk menyekolahkan anak-anak kami ke pondok pesantren terpadu, karena kami berasumsi bahwa sistim pendidikan di pondok pesantren terpadu adalah tempat pendidikan yang memadukan pendidikan umum dan pendididikan agama secara berimbang, terlebih di bidang pembentukan karakter dan akhlak bagi anak-anak.
Tapi sebagai orang tua, kami tidak ingin memaksakan kehendak kepada anak-anak kami, kami tetap ingin anak-anak kami merasa nyaman menjalani pendidikannya. Maka langkah awal yang kami tempuh adalah membawa si sulung untuk “road show” dari satu pesantren ke pesantren lainnya pada saat liburan semester. Ternyata apa yang kami lakukan sangat tepat, mulai ada ketertarikan putra sulungku untuk memilih salah satu pesantren terpadu yang sudah kami kunjungi. Lingkungan pesantren yang terasa nyaman, kebersamaan antara para santri maupun antara santri dengan para ustadz dan ustadzah yang terjalin begitu baik, serta kurikulum yang ditawarkan yang memberikan kebebasan bagi para santri untuk mengekspresikan kemampuannya, rupanya menjadi daya tarik bagi putra kami.
Setelah melalui pertimbangan yang matang, pada tahun 2004 yang lalu, kami sepakat untuk “memasukkan” si sulung ke Pesantren Terpadu Nurul Islam yang berada di daerah Belang Rakal, Bener Meriah. Selain kami melihat sistim pendidikan di pesantren itu yang menurut kami cukup baik, lokasi pesantren itupun tidak begitu jauh dari kediaman kami, hanya sekitar 55 kilometer saja. Karena sebelumnya kami sudah “memperkenalkan” lingkungan pesantren itu kepada si sulung, Alhamdulillah tidak ada kendala apapun ketika kemudian putra kami memasuki hari-hari pertamanya di lingkungan pendidikan yang jauh berbeda dengan lingkungan pendidikan selanjutnya. Kami dapat merasakan, tidak begitu sulit bagi anak kami untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya yang kental dengan penegakan disiplin itu, bahkan kami melihat, putra sulungku terlihat “enjoy” menjalani pendidikan di pesantren itu.
Meski sudah menyerahkan pendidikan anak kami ke pesantren, tetap saja kami melakukan kontrol secara berkala, komunikasi dengan para ustadz kami jalin secara intens, dan keterbukaan sikap kami dengan para pengasuh pesantren yang rata-rata alumni pesantren di pulau Jawa itupun membuat komunikasi diantara kami berjalan dengan sangat baik. Kami sangat besyukur, meski di”bebani” dengan kegiatan belajar yang begitu padat, putra sulungku mampu menunjukkan prestasinya, bukan hanya di bidang pengetahuan umum tapi juga dibidang kesantrian. Semester pertama di tingkat Tsanawiyah (SLTP) dilaluinya dengan menyabet ranking pertama, dan Alhamdulillah bisa dia pertahankan sampai semester akhir di tingkatan itu.
Tidak terasa tiga tahun sudah berlalu, putra sulungku sudah berhasil menamatkan jenjang SLTPnya di pesantren itu, dan tanpa kuminta, dia sudah menyatakan keinginannya untuk meneruskan jenjang SLTAnya di pesantren yang sama. Ini jadi motivasi bagi putri kedua kami yang pada tahun 2007 menamatkan sekolah dasarnya. Tanpa banyak arahan, putri kedua kami langsung menyatakan kesiapannya untuk menyusul abangnya menjalani pendidikan di pesantren itu. Masuknya putri kedua kami ke pesantren yang sama, selain membuat kami merasa lega karena kekahwatiran kami terhadap pengaruh lingkungan luar kepada anak-anak kami sirna, sekaligus jadi pemicu bagi si sulung untuk terus memacu prestasinya, tentu scara psikologis dia ingin “prestise”nya tidak menurun di “mata” adiknya, sebuah motivasi positif menurutku.
Ada kebanggaan bagi kami tentunya, ketika prestasi si sulung semakin “menanjak”, bukan hanya mampu mempertahankan peringkatnya di kelas, tapi juga mampu menunjukkan prestasi di “luar”, gelar juara cerdas cermat tingkat kabupaten beberapa kali dia sabet, begitu pula dalam Olimpiade Sains, beberapa kali putra sulungku berhak mewakili kabupaten Bener Meriah ke tingkat provinsi Aceh. Ini sekaligus mampu menghapus asumsi bahwa pendidikan pesantren “lemah” di bidang pengetahuan umum, karena terfokus pada pendidikan agama. Lagi-lagi kami sangat bersyukur, putra kami sudah membuktikan bahwa santri juga bisa “bicara” dalam berbagai kompetisi dan mampu bersaing bahkan “mengungguli” sekolah-sekolah umum. Ini membuat si sulung semakin bersemangat untuk terus bertahan di pesantren itu, dan kami pun selaku orang tua tidak lagi punya kekhawatiran anak-anak kami akan terpengaruh kenakalan remaja seperti kebut-kebutan di jalan, tawuran atau penyalah gunaan narkoba, karena disiplin yang diterapkan secara ketat oleh pihak pesantren memang nyaris menutup peluang bagi para santri untuk “terjebak” fenomena tersebut. Meski menurut sebagian masyarakat bahkan wali santri sendiri, penerapan disiplin di pesantren itu terlalu “keras”,tapi menurutku masih dalam taraf wajar, bahkan melalui para ustadz dan ustadzah aku menyatakan dukunganku terhadap penerapan disiplin ketat itu. Dan memang, selama anak-anak kami dalam pengasuhan para ustadz dan ustadzah, nyaris tidak pernah terdengar ada santri berkelahi apalagi tawuran, merokok atau “pacaran”, karena baik asrama maupun ruang belajar bagi santriwan dan santriwati dipisahkan sebegitu rupa.
Meski tidak se”kinclong” abangnya, putri kedua kami juga telah menunjukkan geliatnya sejak memasuki bangku pesantren, postur tubuhnya yang sedikit “over” mirip dengan ayahnya, tak menghambat aktifitasnya untuk eksis dalam kegiatan ekstra kulikuler yang bersifat fisik seperti Pramuka, Marching Band maupun olah raga bela diri. Berbekal tempaan fisik dan penerapan disiplin di pesantren itu, putri kedua kami juga sempat “melanglang buana” mengikuti kegiatan Jambore mulai dari tingkat kabupaten, provinsi bahkan sampai ke tingkat nasional, sekali lagi kami bersyukur atas semua itu. Jiwa seni yang mengalir dalam diri putri kedua kami, juga dapat terkekspresikan di pesantren ini, berbagai event baca puisi, kaligrafi, nasyid dan sebagainya juga turut “menghiasi” aktifitas putri kami itu.
Ada sebuah keharuan ketika pada tahun 2011 yang lalu, putra pertama kami resmi menamatkan pendidikan SLTAnya di pesantren Nurul Islam, dalam acara Haflah Ikhtitam atau Wisuda Santri, seluruh wali santri di undang untuk menyaksikan kelulusan putra putri mereka. Setidaknya aku tidak merasa khawatir lagi tentang pergaulan putraku ketika sudah keluar dari pesantren untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, karena “tempaan” disiplin ketat dan pembinaan akhlak selama 6 tahun, sudah bisa jadi “modal” bagi putra kami untuk “membentengi” dirinya.
Kalo ada asumsi bahwa pendidikan di pesantren itu pendidikan “kelas dua”, aku paling tidak setuju, dan itu sudah aku lihat sendiri secara kasat mata, beberapa santri yang sekelas dengan putra sulungku mampu menembus perguruan tinggi negeri, bahkan beberapa diantaranya mampu merebut kursi di fakultas favorit kedokteran. Putra sulungku sendiri, Alhamdulillah, berbekal rangking kelas yang terus dia pertahankan mulai dari awal masuk pesantren, dia mampu bersaing dengan para santri se Aceh untuk merebut “tiket” beasiswa ke perguruan tinggi negeri yang masuk kategori terbaik di Indonesia. Melalui persaingan ketat di tingkat provinsi, putra sulungku akhirnya mampu meraih sebuah kursi di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya melalui fasilitas Program Beasiswa Santri Berbrestasi (PBSB) dari Kementerian Agama, dan saat ini sedang dalam tahap penyelesaian skripsi akhir, insya Allah tidak lama lagi si sulung akan mengenakan toganya. Tentu keberhasilan putra sulungku meraih beasiswa penuh , merupakan berkah yang begitu besar bagi keluarga kami, aku yang hanya “pegawai jelata” dengan gaji pas-pasan sangat terbantu, kami tidak terlalu “sesak nafas” memikirkan belanja kuliah putra kami, karena selain seluruh biaya kuliah ditanggung oleh pemberi bea siswa, dia juga berhak atas “live cost” setiap bulannya, jadi selama si sulung kuliah di Surabaya, nyaris kami hanya membantu biaya sewa kos dan transportasi saja, sebuah nikmat yang luar biasa bagi kami.
Tanpa terasa putri kedua kami juga telah menyelesaikan pendidikan SLTAnya di pesantren yang sama, dan kini juga sudah mulai menapaki pendidikan di sebuah perguruan tinggi negeri juga, meski tak sempat meraih bea siswa seperti abangnya, tapi setidaknya kami tidak begitu “terbeban”, karena si sulung nyaris hanya butuh bantuan dana “sekedarnya”, sehingga kami agk leluasa untuk membiayai kuliah putri kedua kami.
Tanpa maksud mebanggakan diri, keberhasilan putra putri kami meraih kesempatan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri, semua itu tidak terlepas dari pilihan awal kami yang ternyata sangat tepat dengan memasukkan putra putri kami ke lembaga pendidikan berbasis pesantren terpadu. Mungkin saja sebagian dari kita masih ada yang memandang sebelah mata atau bahkan mencibir pendidikan pesantren, karena dianggap kuno atau kolot, tapi kami tetap bergeming, bahwa pendidikan pesantren merupakan pendidikan yang menurut kami terbaik bukan sekedar untuk mendapatkan ilmu pengetahuan duniawi, tapi yang jauh lebih penting adalah pembentukan karakter dan akhlak mulia bagi anak-anak, dan itu sudah kubuktikan sendiri. Itulah sebabnya, si bungsu yang saat ini sudah duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar, juga sudah kami “proyeksi”kan untuk melanjutkan pendidikan tingkat menenghanya di salah satu pesantren terpadu, dan Alhamdulillah, sepertinya si bungsu juga sudah siap untuk mengikuti jejak kedua kakaknya.
Harus disadari, bahwa dalam era globalisasi dan keterbukaan informasi publik seperti sekarang ini, pengaruh dunia luar terhadap pembentukan karakter anak begitu besar, bahkan kita selaku orang tua dengan berbagai kesibukan, mungkin tidak mampu meng”cover” pengaruh itu terhadap anak-anak kita. Pergaulan bebas, tawuran, penyalah gunaan narkoba bahkan sampai ke tindakan yang menjurus kriminal, bisa saja meng”infiltrasi” jiwa putra putri kita, dan begitu sulit kita untuk menangkalnya ketika meraka sedang berada di luar jangkauan pengawasan kita.
Bukan bermaksud untuk menggurui, hanya berbekal pengalaman kami saja, tak ada salahnya kalo kita mengarahkan pendidikan anak-anak kita melalui jalur pesantren, nggak perlu khawatir tentang masa depan mereka, karena pesantren sekarang sudah mengacu kepada manajemen pendidikan modern dan terpadu, bahka banyak nilai plus dari pendidikan di lembaga pesantren ini. Selain mampu berdiri sejajar dengan lembagan pendidikan umum lainnya di bidang ilmu pengetahuan, lembaga pendidikan pesantren juga mambu memberi bekal akhlak yang cukup bagi anak-anak untuk membentengi dirinya dari pengaruh luar. Lagi pula, berdasarkan pengalaman kami, dengan memasukkan anak-anak ke lembaga pendidikan pesantren, kita akan merasa lebih tenang, karena tidak lagi berfikir kalo anak-anak kita akan melakukan perilaku yang tidak baik, karena penerapan disiplin dan pembinaan akhlak di pesantren memang begitu ketat dan ternyata hanya itu yang dibutuhkan anak-anak ketika memasuki masa-masa sulit dalam pembentukan karakter individunya. Sekali lagi, bukan ingin menggurui, tapi hanya sekedar sharing pengalaman yang mungkin bisa bermanfaat dan jadi bahan pertimbangan bagi para orang tua untuk memilih dan memilah lembaga pendidikan yang terbaik bagi putra-putri mereka. []