Oleh : Hj. Endang Sutiah Pane, M.Si*

Pelaksanaan ibadah haji pada tahun ini kembali menuai duka. Jatuhnya alat berat atau crane yang menghantam Masjidil Haram pada Jumat (11/9) menelan korban. Ada sekitar 107 jemaah haji dari berbagai negara yang meninggal akibat tragedi ini, dan 230 orang terluka. Tragedi di Mina yang memakan korban lebih dari 1.100 nyawa jamaah haji yang disebabkan penumpukan jemaah di satu titik dari dua arah yang berlawanan, sehingga terjadi tabrakan, desak-desakkan, hingga injak-menginjak, dan akhirnya jatuhlah korban.
Jatuhnya korban dalam penyelanggaraan ibadah haji tidak hanya terjadi pada tahun ini saja. Pada tahun-tahun sebelumnya ada berbagai tragedi yang mengakibatkan jatuhnya korban. Seperti yang dilansir The Guardian, tragedi mematikan di Mina pada 2006, 306 jemaah haji meninggal akibat terinjak-injak ketika melempar jumroh.
Di tahun yang sama, sehari sebelum ibadah haji dimulai, sebuah hotel delapan lantai yang berada di Masjidil Haram runtuh. Sekitar 73 jemaah haji meninggal. Tragedi terinjak-injaknya jemaah haji dan berdesak-desakkan juga terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2004, jemaah haji yang meninggal ada 244 orang, pada 2001 ada 35 jemaah haji yang meninggal. Pada 1998 jemaah haji yang meninggal ada 180 orang dan 1994 ada 270 jemaah haji yang meninggal. Pada tahun 1990, menjadi tahun dengan tragedi terburuk pada saat proses penyelenggaraan ibadah haji, ketika 1.426 jemaah haji meninggal akibat terinjak-injak di terowongan pejalan kaki yang penuh sesak menuju Mekkah. Tragedi lainnya terjadi pada tahun 1997, kebakaran di tenda-tenda haji di Mina menyebabkan 1.500 jemaah haji terluka.
Berbagai tragedi yang menimpa jemaah haji setiap tahunnya harusnya menjadi bahan evaluasi bagi penguasa Saudi sebagai penanggungjawab penyelenggara ibadah haji. Mengapa setiap tahun muncul tragedi dengan penyebab yang sama yang akhirnya mengakibatkan jatuhnya korban.
Harus ada evaluasi terkait aturan-aturan pelayanan ibadah haji dan pelaksanaan di lapangan. Seperti terjadinya tragedi Mina yang salah satu penyebabnya adanya keteledoran pengamanan dan penanggung jawab lapangan terlambat dalam mengantisipasi. Penguasa Saudi harusnya tidak cukup hanya dengan menyediakan infrastruktur yang memadai. Karena meski infrastrukturnya sudah ditingkatkan, tetapi ada faktor lain yang harus dibenahi, SDM yang menangani dan mengelola haji. Termasuk mentalitas sebagai pelayan tamu Allah benar-benar harus diwujudkan dengan benar dan ikhlas.
Selain itu, tantangan terbesar bagi pengelola haji adalah jemaah haji berasal dari 200 negara di seluruh dunia dan bicara dengan bahasa yang berbeda-beda. ini menjadi kesulitan tersendiri bagi SDM yang menangani haji. Perbedaan bahasa dapat menimbulkan kesulitan dalam memberikan rambu-rambu atau aba-aba yang akhirnya berpotensi terjadinya tragedi Mina.
Dengan kondisi setiap negeri Islam sebagai nation state dan posisi Saudi sebagai khodimul Haramain membatasi peran serta negeri muslim yang lain untuk diberi kesempatan ikut mengelola penyelenggaraan ibadah haji. Padahal untuk menghindari terjadinya tragedi Mina dibutuhkan SDM pengelola haji yang berasal dari seluruh dunia sehingga tidak kesulitan dalam pengaturan jemaah haji.
Salah kelola atas tanah suci Makkah dan Madinah yang menjadi tujuan muslim dunia bukan alasan pelimpahan wewenang dari kerajaan Arab Saudi ke otoritas multinasional dalam segala bentuknya. Sesungguhnya yang dibutuhkan hanyalah adanya negara Khilafah yang mempersatukan dan menaungi kaum muslim seluruh dunia. Adanya Khilafah akan mempermudah urusan penyelenggaraan ibadah haji. Persoalan yang dihadapi oleh penyelenggara haji pada saat ini akan dengan mudah diselesaikan oleh Khilafah. Khilafah akan mengambil SDM dari seluruh dunia, sehingga kendala bahasa dalam pengaturan jemaah haji dapat dihindari.
Persoalan jemaah haji menjadi satu bukti akan kebutuhan kita terhadap Khilafah. Terlebih Allah telah menetapkan kewajiban kita untuk menegakkan Khilafah yang akan menerapkan seluruh hukum Allah secara kaffah. Bahkan Allah telah memperingatkan kita, bagi siapa saja yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah maka Allah menggolongkan kita orang yang zalim, fasik atau kafir. Maka termasuk golongan yang manakah kita dihadapan Allah?
*Aktifis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Tinggal di Redelong, Bener Meriah.





