Idealisme dan Cahaya Hidayah Seorang Koruptor Muda

oleh

[Cerpen]
Cossalabu*

MALAM semakin larut, pagi segera akan menjelang. Lampu terlihat masih menyala pada sebuah rumah besar di pinggir jalan itu, seolah ingin memperlihatkan bahwa ditengah sepinya malam masih ada aktivitas tertinggal pada sebuah kamar di jalan yang teramat sepi itu.

Di dalam kamar terdapat seorang pemuda yang bernama Win, yang terlihat sibuk dengan komputernya, ia berulang kali mengklik mousenya untuk memindahkan halaman-halaman pada layar komputer. Win adalah seorang pemuda lulusan sebuah universitas ternama, ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dengan nilai yang amat memuaskan.  Kepintarannya yang menyebabkan ia langsung bekerja pada sebuah instansi pemerintah.

Awalnya Win menolak karena selain seorang mahasiswa, ia juga seorang aktifis, ia kerap kali memimpin demo untuk meneriakkan keadilan. Tahun 1998 ia berusaha menjatuhkan Soeharto, dengan lantang meneriakkan ”Ganyang Koruptor!, mati membusuk kau koruptor di tempat sampah, pembunuh rakyat!,”. Terkadang kata-kata kasar keluar dari mulutnya “Koruptor anjing”, koruptor munafik, koruptor penghisap darah rakyat!”. Win pengagum berat Mohammat Natsir, seorang tokoh Minang yang mendedikasikan dirinya untuk Indonesia, untuk Islam serta orang yang mampu memisahkan antara urusan kantor dan pribadi.

Dalam pemikiran Win birokrasi sekarang ini adalah tempatnya para koruptor-koruptor berkumpul dan bersiasat untuk berkorupsi ria, tempatnya koruptor senior mengkader koruptor-koruptor muda sehingga bisa meneruskan korupsi, serta strategi dalam melakukannnya secara berjamaah. Sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam birokrasi, ia kerap kali berdiskusi dengan ayahnya.

“Ama, selama tidak ada sistem yang baik di kantor Ama, maka korupsi itu tidak akan pernah hilang. Sebagai contoh, dalam pengangkatan seseorang menduduki jabatan tertentu, seharusnya berdasarkan kinerja, tapi sekarang kita lihat semuanya hanya berdasarkan ketidaksukaan saja, bahasa kerennya, like dan dislike. Selain itu, perlu ada sebuah penilaian yang jelas, ada fortopolio yang jelas. Jadi ada nilai kompetitifnya di situ”.

Ayah Win hanya tersenyum. Pernah suatu kali ia menantang.

“Win, kamu sih enak karena kamu ada di luar, Ama tantang kalau kamu masuk ke dalam sistem itu, Ama mau lihat bisa ndak kamu mempertahankan idelisme kamu itu”.

Yang menjadikan Win semakin tertekan adalah dukungan dari kedua orang tuanya untuk masuk ke dalam instansi yang baginya merupakan ladang pelatihan koruptor, menjadi ahli mark up, ahli rekayasa dan ahli membuat laporan palsu, ahli pencitraan tentunya atau ahli like dan dislike.

Hingga seringkali Win bertanya dalam hati.

“Apakah ini birokrat sejati ?”

Dan kini, semuanya sudah di depan mata. Ayahnya dengan kelihaiannya, secara khusus telah mengadakan sebuah lowongan untuk penerimaan Win sesuai dengan jurusan kuliahnya, yang menjadi pintu gerbang bagi Win untuk masuk di instansi ayahnya.

Win berpikir, ini adalah sebuah tindakan salah satu dari tindakan korupsi, karena merugikan orang lain dan negara karena tidak sesuai dengan kebutuhan, hanya menguntungkan golongan. Yang paling penting, mulai detik itu aku telah terperangkap ke dalam jurang pertarungan baik dan benar dalam diriku.

Memang Win lulus dengan nilai yang sempurna. Win berhasil menyisihkan ratusan orang, dengan cara melakukan pengumuman penerimaan pegawai secara semi tertutup, artinya memang disebarkan di internet akan tapi waktu pengumuman dan pendaftaran relative singkat. Win hanya tertawa dalam hati, ia berkata;

”Masuknya saja sudah melakukan tindakan korupsi, bagaimana tidak, sudah pasti orang yang ada di dalamnya melakukan korupsi”.

Kebetulan saat itu salah seorang teman wanitanya, Jane, wanita yang begitu baik, shaleh, cantik dan pintar. Ayah Jane hanya seorang staf biasa ayahku, ayahnya Jane bernama Saliga, ia terkenal sebagai orang yang amat rendah hati dan santun karena keluguan dan kepolosannya, ia adalah tipe orang yang selalu menerima segala sesuatu dengan lapang dada serta amat menyayangi keluarga.

Pada suatu hari, ketika Win datang ke kantor ayahnya, Jane memanggil dirinya, merekapun berdiskusi panjang lebar, karena memang sudah berteman sejak kecil. Tiba-tiba Jane berkata sambil memegang kedua tangan Win dengan kedua tangan mungilnya;

”Win, asal tahu ya, kami semua keluarga besar Saliga amat berhutang budi sampai mati dengan bantuan ayahmu, dengan memasukkan aku ke kantor ini, aku bisa menjadi penerus bapakku sebagai seorang PNS. Kami sekeluarga merasa bangga dan berterimakasih, karena kami sadar kalau kami  ini berasal dari keluarga yang tidak akan mampu bisa masuk ke sini tanpa ada bantuan”.

Aku hanya bisa menganguk-anguk saja, hatiku yang tadi bersuka cita menjadi sedih dan begitu galau. Karena pada awalnya aku berharap Jane bisa menjadi teman curhatku dengan segala pemikiranku mengenai korupsi di birokrasi ini. Kemudian Jane melanjutkan ucapannya;

“Tidak hanya aku Win. Banyak loh dari anak teman-teman kantor bawahan ayahmu yang dibantu. Tuh si Ari anaknya pak Yoga, si Chandra anaknya bu Sukiyah, Esward anaknya pak Erman.” Dalam hati aku hanya bisa terdiam sekaligus sedih, kemudian berkata dalam hati dengan sedikit kesal.

“Enak si Ari, Chandra, Esward terus bagaimana nasib Budi, Amir anak-anak miskin dan pintar yang bersusah-susah sekolah dengan begitu kerasnya hidup, tapi mereka tidak diberikan kesempatan? Hanya karena mereka anak si Robert, si Chandra, si Erman atau aku anaknya Sumitro Adi Pranata. Sungguh ini tidak adil !”

Tanpa terasa genggaman tangan Win mengeras, saat itu Win ingin rasanya memukul sesuatu dengan tangannya yang keras itu.

“Iya ya Jane, tapi apa menurut kamu ini adil Jane, memangnya instansi ini punyanya nenek moyang kita atau punya rakyat ?”, tanyaku. Jane tiba-tiba memandang wajah Win dengan sedikit heran, kemudian ia tersenyum dan berkata dengan lembut.

 “Ya, kita kan susah juga Win, sama dengan yang lain, ya kan. Kita rakyat jugakan”.

Win kemudian hanya bisa tersenyum mendengar jawaban Jane. Win mengerti kehidupan Jane yang memang bisa dikatakan selalu pas-pasan karena ayahnya adalah seorang staf biasa yang terlalu jujur dan lugu.

Setelah menunggu sekian lama, akhirnya Win mulai bekerja pada sebuah instansi pemerintah yang menerimanya. Sebagai anak baru, kami diorientasi dengan keadaan sekitarnya, masing-masing diperkenalkan dengan atasannya.

Win ternyata ditempatkan pada bagian yang basah, bagian program dan keuangan, rupanya ayahnya Win menepati janjinya atau lebih tepat tantangannya terhadap idealisme anaknya. Dengan harapan anaknya bisa lebih tahu kondisi sesungguhnya dari yang selama ini ia katakan sebagi tempat pengkaderan para koruptor.

Setahun lebih Win berada di bawah bimbingan pak Bejo, setelah setahun Win menjadi semakin mahir dalam melakukan sebuah perencanaan program sekaligus dengan anggaran yang digunakan. Win juga sadar, bahwa pelaksanaan dari program dan anggaran yang direncanakan tidak sesuai, bahkan terkesan ada beberapa item kegiatan yang dihilangkan. Ini mengakibatkan pada tahun-tahun selanjutnya Win seringkali berdebat dengan pak Bejo.

Yang selalu menjadi protes Win adalah kenapa ada beberapa item kegiatan yang kemudian dihilangkan atau tidak sesuai pengerjaannya, padahal sudah tertulis dengan jelas dalam rencana yang akan dilaksanakan. Atau kenapa uang negara itu tidak dikembalikan saja kalau memang itu berlebih.

Debat antara Win dan pak Bejo selalu saja berujung kepada jawaban bijak pak Bejo yang kerap kali mengatakan kalau ini semua adalah untuk kemashalatan karyawan kita, ini semua untuk kepentingan kita bersama. Pernah suatu ketika Win berkata keras kepada pak Bejo kalau apa yang dilakukan ini adalah tindakan yang amat menyakitkan rakyat, karena hak rakyat sudah kita ambil.

 “Pak, kita ini menggunakan uang rakyat yang berasal dari pajak. Seharusnya kita berhati-hati betul dalam penggunaannya karena kita tidak seperti perusahaan yang mencari laba untuk kelangsungan hidup karyawannya, tapi kita ini menghabiskan, pak. Belum lagi kegunaan uang ini untuk orang miskin pak. Untuk  nasib mereka ke depan, apa kita tidak takut kalau ini membuat kita hanya memakan daging orang miskin, menghisap darah orang miskin”.

Bila sudah begitu, Win melihat wajah pak Bejo memerah menahan amarah. Pak Bejo menatap tajam pada Win, seolah melihat seorang anak muda yang masih begitu idealis, masih begitu bersih pikirannya. Dalam hati pak Bejo berkata;

 “Win, saya sudah belasan tahun bekerja disini, dulu saya juga seperti kamu, saya juga sudah muak dengan pekerjaan rutinitas yang ini-ini saja. Hanya saja saya tidak berani untuk mengambil keputusan untuk keluar dari instansi ini sejak dulu, saya pengecut. Mudah-mudahan kamu tidak seperti saya. Kadang saya berpikir, anak-anak saya tumbuh besar dari uang seperti ini, saya selalu minta ampun kepada Tuhan. Tapi saya lemah. Saya hanya bisa berdoa agar anak-anak saya dibersihkan hatinya, biar saya saja yang menanggung dosa ini, bukan anak-anak saya. Walau saya juga tahu kalau tetap saja uang-uang haram itu tumbuh dalam darah anak-anak saya, sudah capek saya mencari pembenaran untuk hal yang satu ini, karena hati nurani saya kerap kali mengatakan saya seorang koruptor. Sudah tak terhitung air mata saya yang tumpah karena ini, saya selalu takut dan kuatir kalau diantara anak-anak saya ada yang menjadi korban narkoba, sekolah nakal, padahal saya sudah minta kepada Tuhan agar jangan jadikan uang itu yang menjadi penyebabnya. Haruskah saya salahkan Tuhan? Atau saya salahkan diri saya yang pengecut ini”, lanjut Pak Bejo dalam hati.

Kemudian dengan suara agak serak menahan emosi yang bercampur aduk antara marah, sedih, menyesal dan lemah pak Bejo berkata;

 “Sudahlah, Win. Kalau kamu memang tidak suka, maka kamu keluar saja dari sini, karena memang seperti ini pekerjaan birokrasi. Masih banyak pekerjaan lain, saya yakin kamu bisa, karena kamu pintar. Kamu bisa jadi Peneliti, jadi Guru, jadi Dosen atau jadi apapun yang sesuai dengan hati kamu.”

Mendengar jawaban pak Bejo, Win kemudian terdiam seribu bahasa. Ia pun lantas meminta maaf, terlebih lagi ketika melihat tetesan air mata tumpah dari mata pak Bejo. Ia pun segera mohon pamit sambil menyesali perkataannya yang terlalu kasar tadi.

Tahun ke-3, tahun ke-4 telah berlalu. Win semakin kehilangan idealismenya, idealisme dalam perbuatannya, tapi hatinya masih tersimpan idealisme itu yang terus menggumpal, menggunung, menahan hingga meletus dikemudian hari.

Karena kerap kali antara pengakuan bahwa korupsi itu perbuatan yang amat rendah selalu berhadapan dengan kenyataan hidup bahwa mereka juga termasuk bagian rakyat yang butuh uang, bagian dari teman-temannya, ironis memang.

Terkadang Win sering kali berpikir bahwa memang birokrasi dibuat seperti ini sistemnya agar pemerintahan ini menjadi lemah dan mudah untuk diinterprestasi oleh penguasa, entahlah. Demi idealismenya, awalnya Win tidak pernah mau menandatangani kuitansi apapun bila tidak sesuai dengan yang ada atau fiktif, kemudian Win mendapatkan dirinya seolah-olah menjadi orang yang suci di mata teman-temannya atau bahkan pengkhianat bagi sebagian yang lainnya.

Akhirnya Win berpikir untuk menerima uang tersebut untuk kemudian memberikannya kepada orang fakir dan miskin, namun kebutuhan hidup terkadang berkata lain, karena pekerjaannya sepanjang hari sehingga ia mengandalkan betul dari pekerjaan ini, membuatnya menggunakan uang tersebut untuk kepentingannya, menjijikkan bukan.

Winpun kerap kali selalu mencari pembenaran-pembenaran untuk menentramkan hatinya, bekerja dengan sekeras mungkin untuk mengeluarkan keringat tidak halal itu, minta ampun kepada Tuhan, tapi itu semua tidak bisa menentramkan hatinya. Hatinya terus menerus mencaci dirinya seperti kata-kata yang dahulu ia teriakkan ketika berdemo.

“Koruptor anjing, koruptor munafik, koruptor penghisap darah rakyat !!!”. Kini ia tambahkan cacian pada dirinya sendiri;

 “Tidak punya nyali, orang lemah!”.

Selain seorang aktivis, Win juga aktif dalam kegiatan keagamaan, sehingga seringkali dipanggil Ustadz oleh orang-orang sekitarnya, karena memang pada dasarnya pengetahuan agamanya cukup baik, sering mengisi pengajian. Tapi kini hati Win dalam kebimbangan ketika menasehati orang lain, karena dalam hati kecilnya ia tahu betul ia ini tidak lebih dari seorang pencuri, tidak lebih dari orang yang menghalalkan segala cara, tidak lebih dari orang yang gila kekuasaan, tidak lebih dari orang lemah yang tidak punya kemampuan apapun selain hanya bisa korupsi untuk menghidupi dirinya.

Tanpa terasa air mata Win menangis, meratapi kelemahan jiwanya, meratapi kebodohannya, meratapi kemunafikannya, meratapi hilangnya kepercayaan dirinya dengan apa yang selama  ini dipegang teguh oleh keluarganya. Tanpa terasa ia kembali berkata dengan nada tertahan.

 “Demi Allah, aku adalah koruptor!!!”. Malam itu Win menumpahkan semua kekesalannya di bantalnya yang kini basah dengan air mata.

Pada akhirnya, Win pun yang sudah mulai bertekad untuk segera menentukan jalan hidupnya sesuai dengan hatinya. Terlebih lagi kini ia sudah semakin dekat dengan seorang gadis dan ingin segera menikahinya, berkeluarga dengan mempunyai anak yang banyak. Ia tidak menginginkan kalau anaknya kelak besar dan tumbuh dari uang-uang yang diragukan itu, ia takut anak-anaknya membawa pengaruh buruk dari hasil rezeki yang tidak halal itu.

Inilah yang menyebabkan Win malam ini menjadi begitu gelisah, ia ingin menyampaikan hal ini semua kepada ayahnya, padahal ia tahu kalau ayahnya telah memproyeksikan dirinya untuk menduduki jabatan yang akan membuka jalan bagi dirinya menjadi seorang pejabat dimasa yang akan datang dengan lebih mudah.

Ia merasa kalah dari tantangan ayahnya, ia masih lemah. Win berpikir kalau memang ia tidak bisa merubahnya, maka ada baiknya ia hijrah seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw ketika hijrah ke Madinah dari Kota Makkah. Semuanya hanya karena ia tidak ingin dikatakan menjadi seorang koruptor, tidak ingin anak-anaknya tumbuh dari uang korupsi, yang terpenting bisa hidup sesuai dengan hati nuraninya.[SY]

*Pencinta Sastra, tinggal di Jakarta

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.