KAIN sarung bagi orang Aceh adalah kebutuhan, tidak ada orang Aceh yang tidak memilikinya, bahkan dalam bawaan kelengkapan mengantar pengantin pria di dalam aso talam yang diperuntukan untuk sang pengantin wanita selalu menyertakan kain sarung di dalamnya, selain kelengkapan dari kebutuhan lainnya.
Kebiasaan-kebiasaan orang Aceh begitulah kemudian yang menginspirasi Khairul Fahri Yahya, atau biasa disapa Cekloe, membuat usaha kain Sarung merk “Ija Kroeng”, selain itu kain sarung memang pakaian yang paling disukai Cekloe sejak kecil. Multi fungsi kain sarung memang sudah teruji sejak masa perang dulu, berfungsi banyak jika di hutan–dari kegunaan pakaian hingga kebutuhan beribadah, dan fungsi itu tidak berubah walau dunia kian moderen.
Prinsip mendirikan usaha Ijakroeng bagi Cekloe cukup simple, yakni melengkapi penampilan sehari-hari. Berkain sarung juga bagian penting dari Fashion, sekalian fahion dalam beribadah. Tentu bukan hanya itu, “Ijakroeng” karya Cekloe pun dikemas menggunakan bahan katon asli 100%, tujuannya supaya pengguna kain sarung merasa nyaman, baik untuk fashion maupun busana ibadah.
Tidak hanya sampai disitu, Ija kroeng juga mengeluarkan produk dalam standar dunia, baik dari kerapian maupun warna yang dipilih. Hitam dan putih adalah warna khas Ija Kroeng, namum ada pilihan spesial juga, tergantung selera. Namun, kata Cekloe, pihaknya menyiapkan edisi khusus bagi pencinta kain sarung, dalam cetakan terbatas untuk hari-hari besar Islam misalnya, Ijakroeng dibuat khusus dengan warna-warna khusus pula.
“Seperti lebaran Idulfitri lalu kami memproduksi warna-warna polos dan bagus, seperti marun, hijau, dan abu-abu, itu hanya diperuntukan untuk hari-hari besar saja dengan warna khusus pula,” kata Khairul Fahri Yahya, pemilik usaha Ijakroeng ketika ditemui di tempat usahanya Residen Danu Broto No.13, Geuce Kaye Jato, Banda Aceh, Selasa 6 Oktober 2015.

Produksi Ija Kroeng sebenarnya juga punya kekhususan luar biasa, bahan katon 100% didatangkan dari luar Aceh dan di produksi di Aceh. Ukuran disiapkan untuk dewasa dan anak. Cukup bagus bila menjadi fashion sarung keluarga.
Tidak sampai disitu, berbahan sama, Ija Kroeng terus menjalankan kreatifnya dengan memproduksi beberapa kelangkapan fashion selain kain sarung, yakni Godi Bag (tas kain), Balum Chut (Tas Ikat), Syal putih polos, dan T Shirt (belum rilis).
Cek Loe juga menjelaskan apabila Ija Kroeng akan terus bergerak memperkenalkan ornamen yang dimiliki suku-suku di Aceh. Pada tahun pertama pihaknya sedang mempersiapkan ornamen dari Gayo, mulai Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, hingga Suku Alas Aceh Tenggara. Ornamen itu akan ditemui disetiap produk Ija Kroeng selama setahun penuh, setelah itu, tahun berikutnya akan berubah dengan ornamen lainnya dari suku yang ada di Aceh.
“Kita ingin menduniakan kekakyaan ornamen di Aceh lewat kain sarung,” ujar Cek Loe.
Namun begitu, kata ayah seoerang anak ini, dirinya masih terus berjuang mempersiapkan kebutuhan produksi Ija Kroeng, terutama soal sumber daya manusia yang sulit, bahkan sakin sulitnya Cek Loe harus turun ke kampung-kampung untuk mencari tenaga penjahit, sebab di balai pelatihan tidak tersedia tenaga tersebut. Sulit barangkali lantaran sebagian besar penjahit tidak dapat memenuhi standar “Ija Kroeng”, seperti kerapian jahitan karena akan dicek mutu.
“Beberapa penjahit yang sempat bergabung mengaku tidak sanggup dengan standar mutu yang diminta,” jelas Cek Loe.
Walau agak sulit membangun usaha di Aceh, CV Berlindo, perusahaan milik Cek Loe yang memproduksi “Ija Kroeng” tidak menyerah, selain baru memulai usaha di Aceh pada awal 2015, Cek Loe juga berkeyakinan apabila “Ija Kroeng” made in Aceh dapat menembus pasar dunia. Alasannya, hasil penelusuran yang di lakukan Cek Loe membuktikan, belum ada produksi kain sarung di Indonesia yang mengutamakan kualitas, terutama kualitas daya tahan kain yang menjadi bahan untuk membuat kain sarung.
“Ija Kroeng diproduksi dengan kualitas kain berdaya tahan kuat, selain itu dibuat dengan “Handmade”, yakni bukan menggunakan mesin, termasuk dalam memberi motif yang dilukis langsung dengan cat kain berkualitas dan tidak luntur,” ujar Laki-Laki kelahiran tahun 1980 silam di Geuce Kaye Jato Banda Aceh.
Cek Loe juga menyebutkan apabila karena keyakinan pula dia berani bersikap membangun usaha “Ija Kroeng” di Aceh. Dia adalah bekas mahasiswa Poletenik Lhokseumawe, dan mengambil gelar sarjana Tehnik di Unsyiah Banda Aceh.
Pada tahun 2007 bekerja di International Federation Redcross (IFR) di Banda Aceh, dan melalui lembaga itu pula dia dikirim mewakili Aceh ke Jerman dibidang Mechanical Enginer. Namun tidak lama dia lantas mengundurkan diri dari IFR dan memilih magang di Blumgerg, sebuah perusahaan pengolahan limbah secara bio, lalu meneruskan pelatihan di Aqua Nostra, sebuah perusahaan yang megelola pengolahan limbah.
Dipenghujung tahun itu juga dia kembali lagi ke Aceh. Di Aceh IFR memintanya bekerja kembali, hanya kali ini Cek diminta memilih bekerja di Aceh atau Jogjakarta, dan dipilihlah Jogjakarta. Namun disana tidak bertahan lama, suami Rakhila Atien ini lalu memilih terbang kembali ke Jerman untuk beberapa lama guna melanjutkan studi.
Membuat kain sarung ternyata sudah dia mulai sejak tahun 2006, hanya tidak komersial. Cek Loe mengerjakannya cuma untuk kebutuhan sendiri. Namun para sahabat menyukainya, termasuk Anggota Senator Aceh Rafly Kande yang termasuk orang pertama yang menggunakan karya Cek Loe, dan Ija Kroeng Cek Loe hingga kini menjadi busana pavorite Rafly, bahkan keunjungan Rafly ke Inggris beberapa waktu lalu, seragam yang di pakai kelompok Band Kande adalah kain sarung “Ija Kroerng” karya Cek Loe.
Tentu hingga kini Khairul Fahri Yahya alias Cek Loe terus mencari formula agar produknya dapat diterima masyarakat, minimal bukti cinta orang Aceh pada “Ija Kroeng”. Kondisi pemasaran di Aceh masih terbilang lemah lantaran Cek Loe sadar betul apabila mencari tenaga profesional untuk itu masih sangat terbatas, dan Cek Loe perlu bekerja keras untuk menjual produknya. Satu hal yang dia harapkan dari pemerintah Aceh, bukan modal, tetapi membantu membuka pasar supaya Ija Kroeng Made in Aceh bukan hanya untuk domistik, tetapi juga dunia.
Selain itu–itu pula yang menyebabkan produksi Ija Kroeng pun masih terbatas, hanya di produksi 15 buah per-hari, jumlah itu terbilang masih kurang maksimal, namun sementara bukan masalah karena Cek Loe memang sedang memperkenalkan Ija Kroeng karyanya.
Cara mempromosikan yang ditempuh saat ini, Cek Loe memakai dua cara yang diistilahkan dengan serangan udara dan serangan darat. Udara berarti dengan memakai fasilitas gratis dari media sosial seperti Facebook, Twiteer, dan Instagram. Sekarang untuk mengenal produk “ija Kroeng” bisa melalui alamat Facebook Ijakroeng, Twiter Ija_kroeng, dan Instagram Ijakroeng.
Sedangkan serangan darat dilakukan dengan memanfaatkan even-even yang digelar di Banda Aceh, pameran, dan mensupport even. Sedangkan promosi terbuka belum dilakukan.
Cek Loe sementara sungguh mempersiapkan keperluan produksi “ija Kroeng” yang cukup, dan terus menampung tenaga kerja yang memiliki kemampuan sesuai, menciptakan pasar, dan memperkuat budaya Aceh. Baginya berbuat lebih penting dari bicara, serta setiap masalah tidak selesai hanya di warung kopi tapi dengan niat dan kemauan yang tinggi. Tanpa itu, tidak ada usaha yang berhasil, termasuk menegrjakan “Ija Kroeng” selain butuh semangat tinggi, juga usaha menjadikan “Ija Kroeng” sebagai adat orang Aceh yang patut dilestarikan, karena selain menambah modis, juga membuka peluang pekerjaan bagi orang lain. Begitu samangat “Ija Kroeng” sesungguhnya. (TARINA)






