Bukan Nama Asli

oleh

Cerpen: Muhammad Syukri

Semua tahu, itulah nama asli, pemberian kedua orang tuaku. Mau lucu, aneh atau unik, itulah adanya. Bagiku, nama adalah doa sekaligus identitas yang membedakan panggilanku dengan orang lain. Aku sadar, orang disekelilingku masih banyak kupanggil bukan dengan nama asli.

Bapak dipanggil Aman Win, bukan Dolah. Ibu dipanggil oleh sanak saudara dengan Inen Win, bukan Sari. Ibunya Adi memanggil ibu dengan Aka Dedecer. Orang memanggil bapak si Adi dengan Aman Adi, bukan Karman. Adi dipanggil bapaknya dengan sebutan item. Lalu, kenapa harus malu ketika orang menertawai namaku?

“Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi.” Ucapan sastrawan terkenal asal Inggris, William Shakespeare masih terekam dalam memoriku. Terkadang aku sepakat dengannya. Namun berbeda dengan tutur –panggilan– di kampungku. Nama adalah kehormatan, harus dijaga dan dirahasiakan.

Buktinya, orang-orang yang pernah kukenal, jarang memberitahu nama asli kepada anaknya, konon lagi kepada orang lain. Seorang anak hanya mengenal nama bapaknya sebagai Ama, nama ibunya adalah  Ine. Paling banter, seorang anak hanya mengetahui nama peraman orang tuanya. Nama itu paling sering dipanggil orang, misalnya bapakku dipanggil peramannya sebagai  Aman Win maka – dalam persepsiku – itulah nama asli bapak.

Memanggil seseorang dengan nama asli dianggap kemali –pamali, tabu— dan kurang etis. Bagi anak-anak, menyebut nama asli orang tua temannya sama dengan mengajak duel. Wajar jika tetangga di Buntul Dedecer tidak mengenal nama lengkap bapakku, nama itu hanya tertera pada ijazah, KTP atau dokumen resmi miliknya.

Gegara nama orang tua, aku pernah menangis di ruang dewan guru. Ketika itu, aku dinyatakan lulus ujian akhir, maka semua siswa harus mengisi biodata. Kuisi kata Ama sebagai nama bapak di kolom biodata, lalu wali kelas memanggilku. Dia menanyakan ulang nama orang tuaku.

“Siapa nama bapakmu?” tanya ibu wali kelas.

Ama, bu,” kataku dengan lugunya.

“Nama aslinya,” tanyanya lagi.

Aman Win, bu,” jawabku gugup.

“Itu nama peraman, nama sebenarnya siapa!” pekik ibu wali kelas.

Onot, bu,” kataku sambil meyakinkan ibu wali kelas

“Itu nama kecilnya! Pulang, tanya ibumu di rumah!” pekik ibu wali kelas marah sambil memukul meja.

“Iya, bu…..,” kataku memelas, lalu menangis dan berlari keluar dari ruang dewan guru.

Sampai seusia itu, aku belum pernah mendengar bapak dipanggil selain dengan sebutan Ama atau Aman Win. Ibu pun bahkan memanggil bapak dengan Aman Win. Sanak saudaraku yang berkunjung ke rumah, selalu memanggil bapak dengan sebutan Aman Win. Hanya Ama Kul – abangnya bapak – satu-satunya yang memanggil bapak dengan Onot.

”Siapa yang memukulmu, Win?” tanya ibu saat aku tiba di rumah.

“Nggak ada yang pukul,” jawabku jujur.

“Lalu…. kenapa kamu menangis?” tanya ibu sambil menyeka air mataku.

“Dimarah ibu guru,” kataku ketakutan.

“Kamu pasti nakal ya,” selidik ibu sambil membuka bajuku.

“Win nggak pernah nakal di sekolah,” kataku polos.

“Terus kenapa dimarah ibu guru?” tanya ibu dengan suara lembut.

Aku diam, pikiran kecilku berkecamuk. Haruskah kusampaikan kepada ibu tentang pertanyaan ibu wali kelas. Seandainya ibu pun tidak tahu nama bapak, haruskah kutanyakan kepada bapak? Mendengar suara batuk bapak, aku sudah ketakutan.

Sanak saudara, Ama Kul, dan tetangga di Buntul Dedecer saja tidak pernah menanyakan nama bapak. Akibatnya, aku bolos sekolah dua hari hanya karena misteri sebuah nama. Demam tinggi menyerangku, kata ibu sampai menggigau beberapa kali.

“Ibu guru tanya apa sama Win?” bujuk ibu dua hari kemudian.

Aku diam, lama kupikir, kujawab atau tidak pertanyaan ibu. Aku menggeleng,  lalu air matanya berlinang. Aku jadi sangat sedih, melihat ibu menangis. Sampai seusia itu, belum pernah kulihat ibu menangis. Dia perempuan yang sangat tabah, penyabar dan tekun bekerja, siang maupun malam.

“Tapi Ine nggak marah kan?” pintaku penuh harap.

“Nggak, mana pernah Ine marah sama Win,” jawab ibu memelas, air matanya terus bercucuran.

Seingatku, ibu memang tidak pernah bersuara keras padaku, apalagi memukulku. Kalaupun aku berbuat nakal, dia hanya tersenyum. Dengan senyumnya, aku sudah ketakutan, apalagi jika dia marah.

“Ibu guru menanyakan nama asli Ama,” jawabku ketakutan.

“Apa Win jawab?” tanya ibu mengusap-usap rambutku.

“Kubilang Ama, marah ibu itu,” jawabku polos.

“Terus, apa Win bilang lagi,” tanya ibuku tersenyum sambil menyeka air matanya.

“Kubilang Aman Win, dibentaknya aku,” jawabku mulai berani, karena melihat ibu tersenyum.

“Apalagi nama Ama yang Win bilang sama ibu itu?” selidik ibu.

“Kubilang Onot, dipukul ibu itu meja. Terus Win menangis,” kataku.

“Ha ha ha ha…..,” ibu tertawa sangat keras, sampai terpingkal-pingkal. Aku pun ikut-ikutan tertawa.

Suara tawa itu terdengar sampai ke kebun, bapak yang sedang memetik kopi, terheran-heran mendengar suara tawa itu. Secepatnya pulang ke rumah, dia sempat tertegun di depan pintu,  melihat ibu tertawa. Pasalnya, ibu belum pernah tertawa terpingkal-pingkal, sampai memegang perutnya.

“Ada apa ini?” tanya bapak terheran-heran.

“Si Win ini….,” jawab ibu tersengal-sengal menahan tawa sambil menunjuk ke arahku.

“Kenapa dengan si Win,” tanya bapak makin heran.

“Dia demam karena nggak bisa menyebut nama Ama,” kata ibu sambil menyanggul kembali rambutnya.

Ibu menceritakan semua dialog tadi, bapak yang selama ini pendiam, hemat bicara dan jarang tertawa, tiba-tiba ikut tertawa terpingkal-pingkal. Aku terheran-heran, siapa sebenarnya yang lucu, aku atau ibu? Kenapa mereka tertawa, sementara aku sedang demam tinggi.

“Nama Ama yang asli, Dolah. Nama Ine yang asli, Sari,” kata bapak sambil memandangku tersenyum.

Panas dingin ditubuhku serasa hilang seketika, bapak yang selama ini kunilai seram karena suara baritonnya, ternyata sosok yang lembut. Nama aslinya yang kuanggap misteri, ternyata itu perasaanku belaka. Kini, nama mereka terekam  dalam memori khusus di benakku.

“Kenapa Ama dipanggil orang Aman Win?” tanyaku.

“Karena anak Ama yang sulung namanya Win. Aman Win itu artinya bapak si Win,” jelas bapak.

“Kenapa Ama Kul memanggil Ama dengan Onot?” tanyaku lagi.

Onot itu panggilan waktu kecil. Panggilan kesayangan kakek, abang dan kakak Ama,” jelas bapak.

Bapak duduk disampingku, membetulkan letak kain basah dikeningku. Dia menjelaskan tata aturan sebutan atau panggilan terhadap seseorang di Tanoh Gayo. Ketika masih anak-anak, seseorang dipanggil dengan nama asli atau nama kesayangan. Di usia dewasa, nama kesayangan itu masih sering dipanggil, terutama oleh saudara kandung atau keluarga.

Nama asli, contohnya Dolah, Bedul, Jalil dan banyak lainnya,  sedangkan nama kesayangan, ada yang dipanggil utih, item, onot, encu, ungel atau mok. Panggilan kesayangan mok khusus untuk anak perempuan, sedangkan yang lain bisa ditujukan kepada laki-laki atau perempuan.

Usai menikah, seorang laki-laki dipanggil aman mayak dan perempuan dipanggil inen mayak. Setelah lahir bayinya, misalnya bayi itu diberi nama Dolah, maka bapaknya dipanggil Aman Dolah, sedangkan ibunya dipanggil Inen Dolah. Sering juga seseorang dipanggil aman atau inen ipak, itu karena anak pertamanya seorang perempuan. Apabila anak pertamanya laki-laki, maka dipanggil aman atau inen win.

Begitu pula orang tua atau mertua, akan memanggil anak atau menantunya dengan sebutan peraman, misalnya Aman Dolah atau Inen Dolah. Sering juga dipanggil aman win atau inen win, kemali – pamali – memanggil nama aslinya. Jangan salah, kata bapak, bukan karena mereka tidak ingat nama anak atau menantunya.

Panggilan  peraman itu suatu kehormatan, menunjukkan status sosial seseorang. Menunjukkan orang itu sudah menjadi kepala keluarga, sudah berhak berpendapat dalam suatu forum. Sebaliknya, mertua atau orang tuanya memanggil sebutan peraman, sebenarnya sebuah metode kontrol. Mereka ingin mengingatkan posisi anak menantunya yang sudah memiliki tanggung jawab keluarga.

Sedangkan bagi masyarakat, panggilan peraman untuk mempertegas status perkawinan seseorang. Menandakan orang itu bukan lagi lajang atau gadis, tetapi suami atau isteri, bisa juga janda atau duda. Begitulah tatanan sebutan atau panggilan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.