Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*
Sejak kecil, aku sudah punya keingintahuan kuat tentang hal-hal yang tidak masuk akal. Waktu itu, anak-anak kecil seusiaku takut kalau melihat orang meninggal dunia, aku justru sering melibatkat diri jika ada tetangga atau famili yang tertimpa musibah. Meski hanya sebuah peran kecil, seperti menggelar tikar, menyiapkan air, sabun, daun bidara dan lainnya yang diperuntukkan memandikan jenazah.
Tidak jarang aku menyusup ketika orang-orang dewasa sedang memandikan jenazah, menurutku tidak ada sesuatu apapun yang menakutkan pada orang yang sudah meninggal.
Usia terus bertambah, aku semakin tak percaya kepada sesuatu bersifat tahayul yang menurutku adalah mitos. Sebagai seorang muslim, kepercayaan bahwa Allah SWT telah menciptakan mahluk gaib seperti malaikat, jin dan syaitan, karena itu jelas tertera dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Tapi kalau yang namanya hantu, kuntilanak, wewe gombel, pocong dan sebagainya, sampai sekarangpun aku tidak mempercayai keberadaannya. Ketidakpercayaanku terhadap hal yang irasional itu semakin lekat dalam hati dan fikiranku setelah aku membuktikan sendiri dengan pengalamanku.
Waktu itu aku masih duduk di kelas satu SMAN 1 Takengon, salah satu SMA yang cukup favorit pada saat itu karena merupakan sekolah tertua yang ada di Gayo. Untuk bisa terus bersekolah, aku rela menumpang pada salah satu keluarga di Takengon, karena orang tua ku yang baru pindah dari Jawa ke Tanah Gayo belum sepenuhnya mampu untuk membiayaiku sekolah.
Meski berstatus menumpang, tapi aku tidak tinggal bersama keluarga yang menampungku, aku ditempatkan di sebuah rumah yang berada di kebun orang tua asuhku itu, tepatnya di Ujung Karang yang masuk dalam wilayah Kampung Jongok Meluem di Kebayakan. Rumah tinggal ku berada terpencil ditengah kebun jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya, untuk sampai ke rumah itu, aku harus melewati sebuah komplek pekuburan yang oleh masayarakat setempat dinamai kuburan Blok. Meski begitu, selama aku tinggal di tempat itu, tidak pernah mengalami kejadian-kejadian aneh.
Aku hanya tinggal sendirian di rumah yang untuk ukuranku cukup besar itu, sebuah rumah berkonstruksi kayu berukuran 6 x 6 meter persegi, letaknya tepat di tengah kebun seluas kurang lebih 2 hektare yang berada di pucuk sebuah bukit kecil. Dari pucuk bukit kecil itu, setiap saat aku dapat melihat jelas pemandangan kota Takengon dan keindahan Danau Lut Tawar, sebuah tempat tinggal yang cukup nyaman meski terpencil jauh dari tetangga dan tekesan terisolir.
Akhir tahun 1983, belum genap setahun aku tinggal di daerah berhawa dingin ini, aku terus menjalani rutinitas kehidupanku sebagai anak rantau, pagi sampai siang bersekolah dan sore harinya bekerja di kebun dan sawah milik orang tua angkatku, dan sebagai imbalan, seluruh kebutuhan sekolah ditanggung oleh keluarga orang tua asuhku.
Untuk menghilangkan kepenatanku, kadang kadang mencari hiburan dengan menonton film di bioskop Gentala, satu-satunya bioskop yang ada di kota Takengon, yang waktu itu masih sepi belum seramai sekarang. Sebagai anak perantauan yang sering kali tidak punya uang, aku sering memanfaatkan jasa teman sekolahku yang kebetulan nyambi bekerja sebagai penjual karcis di loket bioskop itu untuk bisa nonton filem. Lewat temanku itu aku bisa nonton gratis tanpa harus membeli karcis.
Malam itu kebetulan malam Jum’at, usai shalat Isya dan mengaji sebentar, aku melangkahkan kakiku meninggalkan rumah berencana mau menonton di bioskop, kuburan Blok yang kulewati nampak sepi seperti biasanya, tapi aku melewatinya dengan perasaan biasa saja.
Untuk sampai ke kota Takengon, aku harus berjalan kaki lebih dari 4 kilometer melewati jalan yang sekarang dikenal sebagai Jalan Lintang, waktu itu nyaris belum ada rumah penduduk di sepanjang jalan itu, hanya ada hamparan sawah di kanan-kiri jalan, kalau malam tiba jalan itu sepi sekali karena hampir-hampir tidak ada yang melintasinya, karena waktu itu kendaraan juga masih sangat langka. Suasana agak ramai mulai terlihat ketika aku memasuki komplek terminal, aktifitas di loket bus tujuan Medan dan Banda Aceh jelas terlihat, begitu juga beberapa kios yang menjajakan rokok dan gorengan masih melayani beberapa pembeli. Aku terus berlalu menuju bioskop yang letaknya persis bersebelahan dengan Pendopo Bupati.
Sampai di bioskop, seperti biasa aku segera menemui temanku untuk minta free card nonton film, tapi aku sudah terlambat, filem yang main pukul 8 malam sudah mulai diputar dan pintu masuk sudah ditutup, terpaksa aku menunggu filem yang diputar jam 10 malam. Sambil menunggu, aku pun ngobrol “ngalor ngidul” dengan penjual kacang rebus yang menjajakan dagangannya di depan bioskop.
Jam 10 kurang 15 menit, penonton bioskop mulai keluar dari bioskop menandakan bahwa “session” berikutnya akan segera dimulai. Dari kejauhan kulihat temanku melambaikan tangan memanggilku, aku segera mendekat, dia memberiku selembar tiket masuk. Tepat jam 10 malam aku sudah berada dalam bioskop dan filem pun segera diputar. Filem action hasil kolaborasi aktor laga Barry Prima dengan aktris bule Cindy Rottrock berdurasi 120 menit itu berakhir pada jam 12 malam, aku keluar dari bioskop untuk pulang ke rumah.
Jalan-jalan yang kulewati sudah sangat sepi, aktifitas di terminal juga sudah tidak ada lagi, aku terus melangkah, menyusuri jalan lintang yang sunyi senyap, tidak seorang pun melintas dijalan itu selain aku, hanya nyanyian kodok di sawah yang terdengar besahutan.
Sampai di totor Mampak, sebuah jembatan kecil yang sebenarnya hanya berapa gorong-gorong dan ditandai dengan tembok pembatas setinggi 30 sentimeter di kanan kirinya itu aku menghentikan langkahku. Aku teringat cerita penduduk kampung Kebayakan yang menceritakan bahwa di tempat itu sering terlihat hantu dengan bermacam penampakan.
Tempat itu memang terlihat menyeramkan, tak jauh dari tempat itu ada sebuah rumah tua peninggalan Belanda yang nampak tidak terawat, ilalang terlihat menutupi sebagian besar bangunan tua itu, ada dua batang pohon jambu air yang sudah cukup tua berdiri dismpaing rumah tua itu. Konon menurut yang aku dengar dari orang-orang, dari kedua pohon jambu itu sering muncul hantu-hantu yang menakutkan.
Aku merasa tertantang untuk membuktikan cerita-cerita yang sebenarnya tidak aku percayai itu, akupun duduk di tembok jembatan tepat menghadap rumah tua dan kedua pohon jambu itu, waktu itu jam tangan murah yang melingkar di tanganku menunjukkan jam setengah satu malam. Sebenarnya aku ingin memasuki rumah tua itu, tapi urung, karena aku takut di balik semak-semak itu bersembunyi ular atau binatang berbisa lainnnya, akhirnya aku hanya duduk di “bibir” jembatan itu “menunggu” munculnya hantu-hantu yang kata orang orang menghuni dua puhon jambu di rumah tua itu.
Satu jam sudah berlalu, aku sama sekali tidak melihat keanehan apapun, aku juga tidak mencium aroma mistis seperti dalam cerita-cerita filem horror. Sudah tiga batang rokok aku habiskan di tempat itu (aku sudah kenal rokok sejak tamat dari SMP), tapi hantu-hantu itu tetap belum menampakkan diri, aku jadi semakin yakin bahwa sebenarnya hantu itu memang tidak ada, hanya cerita dari mulut ke mulut, tapi aku masih tetap menunggu barangkali sebentar lagi hantu-hantu itu akan muncul untuk menakut-nakuti atau bahkan mencekik ku, tapi penantianku sepertinya sia-sia saja.
Udara yang semakin dingin menusuk tulang dan kerumunan nyamuk yang semakin ramai mengerubuti ku, memaksaku untuk meninggalkan tempat itu. Jam 3 dini hari akupun beranjak dari tempat yang katanya angker itu, tapi aku tidak merasakan keangkeran dan keganjilan apapun.
Pengalaman kecil yang menurutku seperti kurang kerjaan itu yang membuatku sampai sekarang tidak mempercayai adanya makhluk bernama hantu, karena memang keberantaan hantu itu sama sekali tidak dapat dibuktikan secara ilmiah dan tidak pernah ada refrensi yang jelas tentang hantu-hantu itu. Berbeda dengan makhluk ghaib lainnya seperti malaikat, jin dan syetan yang memang punya referensi yang jelas dari kitab suci maupun sabda Nabi, meski tidak terlihat kasat mata, tapi kita akan dapat “melihatnya” dengan kaca mata “filsafat keimanan”.
Akhirnya aku dapat membuat kesimpulan sendiri (berdasarkan pengalamanku) bahwa keberadaan hantu itu Cuma ada dalam dongeng atau cerita mitos belaka, tidak pernah ada di dunia nyata, dan sampai usiaku menjelang setengah abat saat ini, belum pernah sekalipun aku melihat hantu. []