Gayo!, Mari Bercermin dari MTQ ke-32 di Nagan Raya

oleh

Oleh: Arfiansyah

Arfiansyah 3HASIL Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang ke 32 di Nagan Raya, membuat masyarakat Gayo pada umumnya merasa terpukul akan pencapaian kafilah kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Bener Meriah.

Dari 22 golongan untuk putra dan putri dari 7 cabang perlombaan, tidak ada satu utusan dari Gayo pun yang berhasil menjadi yang terbaik 1. Dari 44 orang terbaik dari wilayah tengah (22 putra dan 22 putri), hanya 9 orang mampu masuk ke dalam 6 besar pada pada masing-masing golongan perlombaan.

Predikat terbaik ke 2 hanya diraih oleh 3 orang dalam bidang Cabang Khaththil Qur’an golongan Komtemporer Putri, Musabaqah Makalah Quran Putri dan Tafsir Quran golongan Bahasa Arab Putra. 6 orang berhasil meraih terbaik ke-3 dalam bidang Tilawatil Quran (golongan tartil putra, remaja putri, cacat netral putri, dan Qira’at Saba’ah), dan Khaththil Qur’an golongan naskah. Selanjutnya hanya 5 orang berhasil menjadi juara harapan di berbagai  golongan perlombaan.

Kumpulan 9 juara tersebut berasal dari 4 kabupaten Gayo; Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, dan Aceh Tenggara. Ini barangkali berita terburuk bagi masyarakat Gayo hingga di pertengahan tahun 2015,  sebuah tamparan keras di pagi hari. 9 orang tersebut juga menjadi tolak ukur dan cermin pendidikan keagamaan dan gairah aktifitas keagamaan masyarakat Gayo.

Selama satu tahun mendalami kehidupan masyarakat Gayo untuk keperluan studi, Bagi penulis kekalahan masyarakat Gayo di MTQ ke 32 tersebut adalah hal yang wajar dan lumrah.

Saya bahkan terheran-heran bila kafilah wilayah tengah mendominasi perlombaan bergengsi tersebut. Karena  saya tidak mendalami kehidupan masyarakat Gayo di Gayo Lues dan Aceh Tenggara, Wilayah tengah yang saya  maksud pada pragraf ini dan seterusnya adalah Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Dalam pandangan penulis diantara penyebabnya adalah tidak adanya rutinitas pengajian di kampung-kampung dan tidak ada satu pesantren pun di wilayah tengah tersebut yang mampu mejadi pusat pendidikan dan pelatihan agama yang diminta orang banyak.

Buruknya pendidikan agama informal
Selama 1 tahun memperhatikan kehidupan keagamaan masyarakat Gayo, penulis jarang sekali menemukan adanya aktifitas pengajian bagi anak-anak dan remaja. Setelah anak-anak dianggap bisa membaca Al-Quran dan mempraktekan shalat, pelajaran agama sudah dianggap selesai. Mereka kemudian lebih banyak bermain di rumah dan di lingkungan tempat tinggalnya.

Remaja, yang dianggap sudah bisa mengaji dan shalat semenjak kecil, menjalani rutinitas tanpa makna. Pagi hari berangkat sekolah dan pulang pada pukul 14.00, kemudian menghabiskan waktunya bersama teman-teman. Remaja di desa sebagiannya ke ladang. Namun karena waktu yang dianggap tanggung, mereka kemudian  menghabiskan tanpa arti. Tidak ada kegiatan alternatif di desa dan jarang sekali ada di sekolah-sekolah.

Akibat tidak ada aktifitas alternatif tersebut, banyak remaja di Aceh Tengah dan Bener Meriah kemudian terjebak dalam kehidupan negatif, seperti, maaf, melakukan mesum yang terpaksa berakhir di  pelaminan,  dan narkoba.

Selama 1 tahun mengikuti berbagai kasus di Mahkamah Syariah dan Pengadilan Negeri, penulis banyak sekali mendapatkan kasus pemerkosaan yang melibatkan anak di bawah 18 tahun, pengajuan nikah di bawah umur ke Mahkamah Syariah karena sudah terlanjut berbuat asusila, dan kasus cerai muda pada usia 20 tahun.

Ini adalah gambaran buruknya pendidikan agama informal di wilayah tengah dan karenanya tadi penulis menilai wajar kenapa hanya 9 orang dari wilayah tengah berhasil mendapatkan berbagai tingkat juara.

Pesantren
Peserta MTQ sudah bisa dipastikan mengecap pendidikan agama formal dari pesantren modern dan Dayah. Ketika musim MTQ tiba, para utusan kecamatan hingga kabupaten akan memperebutkan santri-santri dari beberapa pesatren. Mereka tidak harus berasal dari kabupaten tertentu,  bisa saja santri Aceh Utara mewakili Banda Aceh. Bagi pesantren dan santri, MTQ adalah media untuk memberikan pelatihan mental persaingan, kalah dan menang dan meningkatkan popularitas pesantren yang berdampak pada nilai bisnis pendidikan. MTQ menjadi salah satu media untuk promosi lembaga pendidikan mereka.

Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dulunya, Madrasah Ulumul Quran Langsa (MUQ), Lembaga Pendidikan dan Tilawatil Quran (LPTQ), MA Ruhul Islam Anak Bangsa (RIAB) dan Insan Qurani (IQ) adalah diantara lembaga pendidikan yang benar-benar menyadari pentingnya MTQ bagi mereka dan santri baik untuk pendidikan mental perjuangan dan juara maupun untuk bisnis pendidikan.

Dampak dari keberhasilan santri-santri, mereka menjadi primadona ketika musim masuk sekolah dimulai, termasuk bagi masyarakat Wilayah Tengah. Orang tua berlomba-lomba untuk mengirimkan anak-anak untuk masuk ke pesantren-pesantren ternama dan juara.

Pesantren wilayah tengah kemudian hanya mampu menjadi alternative bagi anak-anak pintar dari wilayah tengah. Kegagalan pesantren wilayah tengah dalam bersaingan dunia pendidikan berdampak pada kegagalan wilayah tengah dalam MTQ.

Kabupaten-kabupaten wilayah tengah juga harus akhirnya ikut berebutan dengan  kabupaten lainnya untuk mendapatkan santri-santri terbaik, yang tidak harus berasal dari wilayah mereka. Namun, karena kebanyakan santri-santri di pesantren ternama tersebut tidak berasal dari wilayah tengah, jadinya mereka hanya mampu mendapatkan kualitas “terkeret” dari pesantren tersebut .

Disayangkan, pesantren wilayah tengah masih belum mampu memberikan kontribusi dalam MTQ ini. Untuk menjadi favorit, mereka tentunya harus meningkatkan antusias berkompetisi. Lembaga pendidikan swasta harus dipahami sebagai sebuah perusahaan. Untuk meningkatkan minat konsumen, sebuah perusahaan harus meningkatkan kualitas produksi. Untuk meningkatkan kualitas produksi tentunya banyak harus dilakukan mulai dari manajemen yang unggul, kualitas staf yang hebat, promosi/iklan yang mantap, kreatifitas yang luar biasa, menjaga antusias serta daya saing dan banyak lainnya.

Konsep “Bermulo”
Konsep bermulo ini pertama sekali penulis dengar dari Alm. Iklil. Pada satu diskusi yang panjang, Beliau mengkhawatirkan gejala buruknya moralitas yang luas pada remaja dan orang tua.

“Pemerintah tidak memiliki progam pembangunan manusia. Yang dilakukan melulu pembangunan infrastuktur, yang notabene adalah pendukung manusia. Manusianya tidak pernah disasar melalui program pemerintahan. Manyoritas dana dihabiskan pada kegiatan rutin saja, bagaimana mau maju pelaku rutinitas di kantornya saja terlalu banyak istirahat dan ngobrol”, kritik beliau ke duduk-duduk di sebuah ruang kopi di depan kantor BRI Cabang Takengon, tempat dia kerap terlihat.

Dia kemudian mengajukan konsep “bermulo”. Karena diskusi kami bercabang ke banyak arah, beliau tidak memberikan penjelasan panjang tentang konsep tersebut. Dia juga tidak menuliskan konsepnya dalam sebuah buku atau catatan yang bisa dipelajari lebih lanjut. Pada saat itu, dia hanya menjelaskan darimana dia mendapatkan inspirasi tersebut.

“Bermulo”, atau dalam bahasa Indonesia “bermula” adalah sebuah kata yang mengawali pengajian di desa-desa pada masa dia kanak-kanak, “bermula akan Allah itu Esa”, Kata-kata tersebut kemudian menjadi ‘nyanyian’ di rumah-rumah”, alm. Iklil memberikan contoh. Jelas tersurat, bahwa Iklil mengajukan pendidikan agama mewarnai kehidupan masyarakat.

Kata “bermulo” bisa saja berkonotasi tradisional dan dulu, namun konsepnya dapat dikembangkan dan diadaptasikan ke sekarang dan kapan saja. Pendidikan agama, dalam arti yang luas, menjadi salah satu solusi terhadap menurutnya moralitas dan keterampilan agama seperti mengaji dan menghapal Qur’an.

Bila diuraikan lebih jauh dan ke sekarang ketika pengajian sudah memudar, konsep ini mengharuskan otoritas mulai dari Pemerintah Kabupaten hingga pemerintahan desa dan tokoh-tokoh masyarakat untuk kembali menyemarakan pengajian bukan hanya bagi ibu-ibu saja, seperti yang selama ini banyak berlaku. Tapi bagi semua kalangan mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga berkeluarga. Lalu melihat kecenderungan pemerintah yang tidak mau campur tangan dalam urusan lembaga swasta dan kehidupan privasi, apakah mungkin pemerintah memasuki dunia privasi warganya, termasuk urusan keterampilan agama seperti mengaji dan lainnya?

Forum Silaturrahmi dan Pengajian Ibu-Ibu Takengon (FUSPITA), yang dicanangkan oleh Kemenag Kabupaten Aceh Tengah telah berjalan dengan sangat baik. Sepengetahuan saya, program pengajian ibu-ibu ini hanya ada di Aceh Tengah dan dilakukan secara bergilir dari desa ke desa setiap bulannya dalam sebuah kecamatan. Contoh sukses lainnya adalah Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), program pengajian nasional yang dicetuskan oleh Tuti Alawiyah dan kini masih dijalankan dengan minim dana oleh Kabupaten Aceh Tengah. Walau disinyalir kedua program tersebut dijaga untuk kepentingan politik pada masa tertentu, namun, terlepas dari motivasi dan segala kecurigaan, kedua program pengajian pemerintah tersebut telah berubah menjadi program rutin masyarakat.

Meski disayangkan manyoritas peserta dari kedua program ini hanya diikuti oleh ibu-ibu, “kalau bapak-bapak, adik tahu sendirilah, saya juga tidak mengerti kenapa mereka malas sekali untuk ikut pengajian” keluh ketua BKMT Kecamatan Kebayakan tahun lalu pada sebuah kesempatan wawancara. Ibu itu benar, kenapa hanya menyasar ibu-ibu? Apakah bapak-bapak dan remaja dianggap sudah lebih berpengetahuan?

Ternyata sebuah program pelatihan MPU mengatakan tidak. Pada satu waktu tahun kemarin, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi MPU Aceh Tengah untuk menanyakan perihal pelatihan mengaji untuk imam-imam di seluruh Aceh Tengah untuk kedua kalinya. Salah seorang ulama memberikan jawaban yang mengejutkan, “90% imam kita tidak fasih mengaji, bahkan ada yang tidak lancar”. Jawaban salah seorang anggota MPU tersebut menunjukkan bahwa lelaki/bapak-bapak terhebat pun dalam bidang agama di satu desa ternyata masih kurang dalam keterampilan agama. Tentunya saya tidak perlu menjelaskan lagi tentang kemampuan remaja di Aceh Tengah, yang rutinitas kehidupan mereka telah saya gambarkan sekilas di atas.

Bermulo, meskipun diinspirasikan oleh pengajian di doyah, sudah semestinya didorong oleh pemerintah. Kalau pendidikan agama informal dalam wujud FUSPITA dan  BKMT yang menyasar ibu-ibu berhasil, lalu mengapa tidak mencoba kepada bapak-bapak dan remaja? Menyemarakan kembali pengajian di doyah seperti yang pernah ada pada Tak’limul Islamiyah, di Desa Gunung-Kebayakan dan Tarbiyatul Islamiyah, di Desa Jongok-Kebanyakan, pada tahun 1940an, dan kemudian diikuti oleh Pesantren Pasir di Mendale-Kebanyakan hingga akhir tahun 1990an dan kini hanya menjadi tempat pengajian anak-anak.

Pemerintah perlu melakukan kampanye dan memberikan dukungan sebesar-besarnya dalam bentuk program tertentu untuk pengajian-pengajian seperti ini. Pengajian yang tidak hanya mengajarkan pesertanya mengaji dan shalat, namun juga materi agama dan pengetahuan lainnya. Kegiatan ini bahkan efektif sebagai upaya pencegahan sebelum remaja terjerumus dalam praktek asusila, yang kemudian membuat pusing petugas Syari’ah Kampong.

Dalam pendidikan agama formal, saya mencoba sedikit berbagi pengalaman ketika terlibat dalam manajemen MA Ruhul Islam Anak Bangsa (RIAB) selama 5 tahun. Sekolah tingkat SMU tersebut adalah program pendidikan Pemerintah Aceh pada masa Gubernur Prof. Syamsuddin Mahmud. Itu adalah sekolah kedua yang dia dirikan setelah SMU Modal Bangsa (Mosa). Kedua-duanya adalah unggulan pada bidang berbeda.Kalau SMU Modal Bangsa diarahkan bersaing dan menjadi unggulan sekolah SMU, MA Ruhul Islam Anak Bangsa diarahkan untuk bersaing dan menjadi unggulan sekolah agama seperti MAN dan Pesantren.

Hasilnya, semenjak berdiri pada tahun 1997, RIAB tetap menjadi salah satu sekolah favorit. Alumninya juga melanjutkan kuliah hingga ke luar negeri, Al Azhar adalah tujuan kuliah yang biasa saja setelah UIN. Selain itu mereka juga berkuliah di Tunisia, Maroko, bahkan hingga Cina, Kanada dan Belanda.

SMA Modal Bangsa tentu lebih dasyat lagi. ITB, UI, dan UGM sudah dianggap biasa saja. mereka juga langanan pertukaran pelajar ke seluruh dunia. Dalam kaitannya dengan MTQ, saya hanya akan mengulas  ringkas tentang MA RIAB.

Semenjak angkatan pertama, santri-santri MA RIAB sudah mulai mengikuti MTQ di seluruh kabupaten. Awalnya hanya mewakili Banda Aceh dan Aceh Besar. karena prestasi mereka hingga tingkat nasional, bahkan ada yang menjadi juara nasional, sekolah tersebut semakin diminati dan santrinya selalu diincar oleh kabupaten-kabupaten yang kurang personel untuk MTQ. Sering sekali, santri-santri tersebut bertemu sesama mereka mulai dari penyisihan hingga final.

Melihat capaiannya, jelas sekali Pemerintah Aceh pada saat itu tidak berkepentingan untuk satu kabupaten saja, namun untuk seluruh provinsi Aceh. Secara berlahan, MA RIAB tersebut diarahkan untuk mandiri, tidak terlalu bergantung pada subsidi pemerintah provinsi. Kini, guru paginya sudah PNS dan guru dayahnya tetap honorer. Bisakah ini diadopsi oleh Pemerintah Kabupaten di wilayah Gayo?

Pada satu diskusi dengan pegawai Kemenag Aceh Tengah, saya mendapatkan informasi bahwa MAN 2 Aceh Tengah pun kini sudah memiliki pengajian di sore hari. Sistemnya mirip sebuah pesantren. Bila pagi mereka belajar kurikulum nasional. Sore hari mereka belajar kurikulum dayah.Namun, kabarnya kurang dikelola dengan baik sehingga tidak terdengar kualitasnya.Bila itu benar, pemerintah Aceh Tengah sudah memiliki modal system, lembaga, dan infrastruktur. Hanya perlu ditambah modal kemauan dan motivasi.

Sebaiknya mari kita merefleksikan bersama apakah dengan membangun infrasktuktur (penunjang), pembangunan manusia dianggap selesai? Bangunan megah, bila dihuni oleh para perandal maka kemegahannya tersebut hanya bertahan 1 malam. Itulah mengapa bangunan baru di kota kita terlihat tua. Namun sebaliknya, bila kita berjalan-jalan ke Eropa, rumah sederhana pun kita lihat sangat indah. Karena penghuninya menatanya dengan sangat baik dan dengan warna yang indah.[]

*Penulis, Putra Gayo, Mahasiswa S3 di Belanda

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.