MELIHAT penampilan kesenian dari berbagai negara, senangnya luar biasa. Apalagi Gayo yang membawa saman kemudian menjadi salah satu tari pavorite dan paling dimanati bangsa-bangsa di dunia. Hingga akhirnya mau tidak mau—karena itulah yang membuat rakyat Gayo bangga.
Kalau berbicara dilingkaran Gayo, seninya cukup kuat–bisa juga disebut kuat lantaran sikap peduli rakyat Gayo pada keseniannya sendiri begitu luar biasa. Itu ada pada masyarakat Gayo yang mendiami Aceh Tengah, Bener Meriah, dan tentu Gayo Lues. Soal cinta budaya, tiga daerah “gayo” itu tidak ada tandingnya–malah plus.
Ada cerita sejarah tentang empat Kabupaten di wilayah Tengah, yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Aceh Tenggara. Dulunya keempatnya satu dibawah Aceh Tengah,. induknya adalah Takengon. Daerah tersebut sangat luas—ketika itu—seperti cerita putra Gayo yang juga ketua Partai Demokrat Aceh Nova Iriansyah–Dia putra mantan bupati Aceh Tengah Nurdin Sufi–saat dia kecil seringkali almarhum Ayah mengajaknya ke Kutacane–sebagai bupati kala itu–kunjungan itu kalau sekarang dikenal dengan kunjugan kerja bupati.
Sakin jauhnya–cerita Nova–waktu yang ditempuh mencapai 4 hari lamanya, menggunakan kendaraan yang berhenti-berhenti. karena jalan belum tembus.
Yang ingin dsampaikan memang jarak Kabupaten Aceh Tengah kala itu cukup luas sampai sulit menjangkau ujung daerahnya. Namun ada keunikan pasca perpisahan wilayah, Para tokoh Gayo Lut dan Gayo Deret duduk semeja. Pembahasannya tentang “warisan” kesenian Gayo, yakni Saman dan Didong.
Singkat kata, kedua daerah yang sudah terbelah sepakat apabila Didong tetap dipelihara oleh masyarakat Gayo Lut, sedangkan Saman dikembangkan di wilayah Aceh Tenggara. Saman kemudian setelah Aceh terbagi menjadi dua daerah, yakni Gayo Lues dan Aceh Tenggara, maka Saman dikembalikan ke masyarakat Gayo Lues karena daerah ini dihuni mayoritas urang Gayo, sedangkan Aceh Tenggara tetap dengan suku Alas dan seni-seni khasnya.
Tentu, Didong berada di daerah yang punya fasilitas lebih dibanding Saman sehingga lebih duluan melakukan ekspansi, namun hanya dikalangan masyarakat Gayo saja, kecuali beberapa seniman unik seperti To’et yang mendapat kesempatan ke luar negeri, namun bukan Didong secara utuh.
Berbeda dengan Saman yang baru mulai diperkenalkan pada tahun 1974, kala itu Saman diminta mengisi pembukaan Taman Mini Indonesia Indah. Ibu Tien Suharto melalui menteri Pendidikan dan Kebudayaan memesan tarian tersebut. Diceritakan, Fuad Hasan sempat salah membawa tarian saman, namun itu segera diperbaiki (Almh) Tien Suharto, dia mau tarian yang serentak dimainkan laki-laki semua.
Sejak itulah Saman diperbincangkan sebagai tarian tangan seribu. Namun kemudian perkembangan sama dipakai oleh masyarakat Jakarta. Adalah Koreografer asal Aceh Nurdin Daud yang pertama kali memperkenalkan Saman dikalangan akademisi. Kala itu Nurdin menggarap tarian berjudul “Huuuu”. Tarian tersebut menggabungkan beberapa kesenian tradisonal Aceh seperti seudati dan Saman.
Kisah singkat Saman di Jakarta kemudian berubah bentuk, mulai dimainkan perempuan yang sebenarnya bukan bernama “Saman”. Tari Huuuuu karya Nurdin punya durasi sekitar 20 menit, tapi karena menarik banyak pihak mengundang namun dengan durasi pendek, gara-gara itu lantas tarian yang terdapat di karya Huuuu dipecah, hingga Saman berjalan dan dimainkan oleh perempuan. Parahnya, ternyata perempuan berhasil menarik perhatian entertaimen di dunia. dan berkembanglah tarian yang disebut “saman” itu.
Semua itu lebih pada perjalanan zaman, Lembaga PBB Unesco kemudian meluruskan tarian ini, dan menjadikannya sebagai warisan tak benda. Tentu ini pula yang mendorong Pemeritah Kabupaten Gayo Lues lantas menjadikan saman sebagai kesenian wajib di Gayo Lues hingga akhirnya mendunia seperti sekarang ini.
Cerita Saman tersebut tidak ada dalam kamus Didong. Lintasan kesenian Didong yang kita lihat hanya berputar dari satu kalangan Gayo ke Gayo lainnya, salah satu penyebabnya adalah bahasa Gayo yang tidak disosialisasi keseluruh dunia, sehingga Didong berjalan ditempat.
Kalau kita lihat kebelakang, kendati sudah memecahkan rekor MURI pada tahun 2013 silam, namun kesenian Didong belum branded, perjkalannnya baru sampai ke Jakarta dan beberapa daerah Jawa, dan itu juga hanya disaksikan orang Gayo saja.
Didong dahulu berkekuatan luar biasa bila dipertahankan, namun itu tidak sampai. Kondisi seniman Didong saat ini lebih memilih “ekonomi” ketimbang memainkan Didong sesungguhnya. Kecintaan kita pada Didong tidak lebih sebagai emosional dan nostalgia, padahal Didong memiliki kekuatan seni Tua yang sejajar dengan seni-seni Islam di negara Afrika.
Sampai hari Ini Saya masih menyimpan tanda tanya besar, kenapa kita terlalu membesarkan Didong tanpa dengan perbuatan untuk memperkenalkannya ke seluruh dunia. Hingga saat ini kita belum cukup bicara Gayo dalam konteks positif, karena Gayo masih terbatas di media internet, dunia malah lebih mengenal Gayo Daejun, sebuah acara TV yang lahir sejak 2012 lalu.
Kita semua berminpi Didong dapat seperti Saman berkeliling dunia, memperkenalkan Gayo kemana-mana. Tampaknya kita perlu bekerja ekstra mengisi kekuatan lokal yang dapat memberi pengaruh pada masyarakat Dunia. Bila Gayo ingin kuat, maka harus memperkuatnya dengan budaya, dan tentu, tidak sebatas wacana. Saya yakin, Gayo berarti bagi masyarakat dunia. Seperti halnya Gayo Lues yang punya dunia dunia di daerahnya, yakni Saman dan Leuser, sementara Aceh Tangah dan Bener Meriah baru memiliki sebauh karakter yang mendunia yakni “Kopi”. Lainnya belum, apalagi Danau Laut Tawar yang mulai tidak menarik. Ini semua tugas kedepan yang perlu segera dibuat, dan tentu dengan tulus dan positif pula.
Penulis adalah Redaktur Pelaksana LintasGayo.co