Oleh Arfiansyah
TULISAN ini adalah catatan tentang 13 hari saya sebagai keluarga pasien di Rumah Sakit Umum (RSU) Datu Beru kebanggaan masyarakat Gayo. Refleksi dari pengalaman saya tentang gambaran manajemen institusi tersibuk di Takengon Kabupaten Aceh Tengah dan gambaran tentang kepatuhan terhadap aturan dan empati sosial masyarakat Gayo di ruang publik.
Tidak bermaksud mengeneralisir pengalaman ini untuk mengambarkan seluruh masyarakat Gayo. Ini hanyalah pengalaman saya di RSU tersebut dan mencoba menghubungkannya dengan sebuah makna.
Semenjak anggota keluarga saya mulai dirawat inap mulai tanggal 10 hingga tanggal 23 Agustus 2015, salah satu ruang kamar di RSU tersebut langsung berubah menjadi ruang utama bagi keluarga kami. Disana, kecemasan, kegelisahan dan kepanikan dibagi dan eskpresikan. Sepertinya, perubahan tersebut dialami oleh seluruh keluarga pasien yang harus menjaga anggota keluarganya berhari-hari di RSU Datu Beru dan di tempat lainnya.
Ini adalah pengalaman pertama kami berada RSU tersebut dalam waktu yang relatif lama. Sebelum saya menikmati segala kelebihan dan kekurangan dari pelayanan lembaga kesehatan itu, banyak rumor yang saya dengar tentang pelayanan disana. Rumor tentang “pemamfaatan” BPJS oleh oknum, antrian berjam-jam di poli yang sangat sulit diantisipasi. rumor tentang pejabat “jago kandang” yang memaksa diberikan pelayanan kelas satu untuk keluarganya, namun ketika akhirnya harus dirujuk ke RSU Zainal Abidin-Banda Aceh, dia menjadi kecut dan melemah dihadapan perawat yang mengantarnya dari Takengon. Rumor tentang perekrutan handai tolan dan “surat sakti” dari para elit lokal yang pasti ampuh untuk mendapatkan kerja disana. Semoga itu hanya persepsi publik yang berdasarkan rumor dari mulut ke mulut saja.
Selama 13 hari di RSU Datu Beru, banyak cerita dan kesaksian yang membanggakan dan banyak pula yang harus diperbaiki dan ditingkatkan, terutama dari segi pelayanan asuhan kesehatan dan professionalisme kerja para petugas. Yang tidak kalah penting adalah bahwa tabiat tidak luhur para keluarga pasien yang, kalau merujuk pada penjelasan orang-orang tua berusia di atas 70an, telah jauh dari nilai-nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat Gayo.
Sebelum memasuki RSU tersebut, saya hanya melihat RSU yang kian megah dari luar pagar ketika melintas saja. Pada tahun 1990an, gedung-gedung di komplek rumah sakit masih sedikit. Seingat saya hanya ada satu lorong, beberapa poli, sedikit sekali jumlah dokter specialist, dan ruang rawat inap yang kecil dan berjumlah sesuai dengan jumlah poli.
Kini, infrastruktur dan fasilitas kesehatan rumah sakit meningkat. Pada saat saya berada disana bermalam dan berbagi siang di sana, lembaga penyuplai dan penerima Pendapatan Anggaran Daerah terbesar tersebut terus meningkatkan kualitas fisik bahkan sedang menambah gedung baru di sisi timur komplek. Akibat dari perbaikan fisik, untuk sementara banyak pasien yang harus menginap di lorong-lorong ruang kamar, seperti yang saya saksikan di Ruang Mawar, Ruang Rawat Operasi Pria. Setengah gedungnya sedang diperbaiki untuk kenyaman pasien yang akan datang. Ruang Rawat Anak dan beberapa ruang lainnya juga sedang direnovasi. Sehingga suara dentuman palu dan alat keras lainnya tidak bisa dihindari. Pasien-pasien yang dirawat saat itu memang tidak beruntung, harus istirahat siang dalam nyanyian palu dan gergaji.
Usaha peningkatan kualitas fisik dan penambahan fasilitas kesehatan serta peningkatan lainnya diganjar dengan penilai paripurna oleh Kemenkes dan satu-satu di Aceh yang mendapatkan akreditas Joint Commission International versi 2012. Artinya, merujuk pada pemberitaan Media Serambi Indonesia (11/07/2015), RSU Datu Beru, yang menjadi rumah sakit rujukan non-pendidikan beberapa kabupaten terdekat, seperti dari Biruen, Bener Meriah dan Aceh Tenggara, sudah memenuhi standard internasional.
Meningkatnya akreditasi dan menjadi rujukan kesehatan bagian tengah Provinsi Aceh, menongkrak aktivitas ekonomi masyakat. Sebelumnya, RSU tersebut hanya dikelilingi sawah dan beberapa rumah, kini rumah sakit tersebut dikelilingi ruko-ruko yang menyajikan kebutuhan pasien dan keluarga pasien. Apotek, warung nasi, warung kopi, penjual buah, toko kelontong hingga penjual kaki lima antrian melayani kebutuhan setiap penghuni sementara RSU tersebut. Bahkan penjual sarapan pagi pun mulai menyapa keluarga pasien semenjak jam 06.00 pagi.
Peningkatan fisik dan fasilitas kesehatan ternyata tidak dibarengi oleh peningkatan kualitas non-fisik; pelayanan asuhan kesehatan yang meliputi kualitas tenaga kesehatan (perawat dan lainnya), etika dan profesionalisme. Selama 13 hari di RSU, saya tidak hanya berinteraksi dengan dokter dan perawat serta karyawan lainnya, namun juga berdiskusi dan berbagi cerita dengan keluarga pasien lainnya.
Kami, keluarga pasien, ternyata memiliki pandangan yang sama, kebanyakan perawat dan sebagian dokter harus lebih mendalami dan mempraktekan etika kesehatan dan perawat, ilmu psikologi dan komunikasi kesehatan.
Tulisan ini tidak ingin memukul rata semua personel kesehatan disana. Saya bahkan kagum kepada sikap dokter specialist yang menangani anggota keluarga kami dengan sangat terbuka, melayani, santun dan menerima panggilan telp dari kami kapan saja. Demikian juga kekaguman saya terhadap sebagian perawat yang sangat mengerti psikologi pasien dan keluarga pasien, melayani dengan kelembutan dan tatakrama serta siap sedia.
Interaksi kami, keluarga pasien, dan anggota keluarga pasien lainnya lebih sering dengan perawat dan dokter umum, yang menjenguk hanya untuk mendengar keluhan sejenak kemudian pergi. Sikap-sikap tidak professional dan tidak menunjukan kualitas perawat menjadi cerita keseharian kami antar sesama keluarga pasien.
Beberapa perawat yang kasar, angkuh, sombong, dan malas kerap menghiasi emosi keseharian pasien dan keluarganya. Sehingga salah seorang keluarga pasien yang sudah sering mengunakan jasa RS tersebut mengaku masih ingat dengan wajah salah seorang wajah perawat yang membuat “goresan yang dalam”.
Bahkan katanya, dulu pernah ada perawat bakti yang salah sasaran tidak sopan terhadap seorang dokter, yang juga bertugas dalam hal urusan akreditasi RSU, yang kebetulan akan memeriksa pasiennya di pagi hari. Akibat dari sikapnya tersebut, rapat dadakan diadakan. Kabar tentang nasib perawat tersebut kemudian hilang.
Demikian juga cerita ruang inap VIP yang susah didapat lewat jalur normal, namun sangat mudah ditembus lewat jalur kekeluargaan menjadi gambaran buruknya manajemen dan kualitas control birokrasi RSU Datu Beru. “Manajemen keluarga” ini juga dimamfaatkan oleh keluarga saya sendiri, yang telah berupaya melalui jalur normal namun harus antrian diurutan kesekian belas. Ketika menyadari kekuatan “manajmen keluarga” tersebut, kamar VIP pun kami dapat langsung keesokan harinya.
Tabiat keluarga pasien juga menjadi pemicu buruknya kualitas non-fisik RSU. Kebiasaan tidak patuh terhadap aturan menjadi tontonan normal, yang sebenarnya tidak hanya di RSU namun juga hampir diseluruh tempat di Aceh Tengah. Kebanyakan keluarga pasien, terutama yang jaga malam, mendadak buta huruf. Spanduk-spanduk larangan merokok sepertinya terlihat seperti garis putih di atas kampas. Banyak sekali anggota keluarga pasien yang merokok di bawah spanduk besar tentang larangan merokok. Ketika semakin dipelototi, gaya perokok dibuat semakin “macho” dengan sebatang rokok.
Banyaknya jumlah kunjungan keluarga besar pasien juga sudah menjadi pemandangan normal. Anak-anak bercanda, berlari dan bergaduh membuat perawat kewalahan emosi dan pikiran. Ruang inap dan kolidornya kerap mendadak menjadi ruang tamu “rumah pribadi” keluarga pasien. Beberapa perawat bahkan menceritakan beberapa fasilitas di gedung VIP RSU tersebut “salah bawa” pulang oleh keluarga pasien atau mungkin pasien sendiri. Mulai dari piss-pot seharga 10 ribu di apotek terdekat sampai gorden dan televisi juga “terbawa” pulang ke rumah.
Penjaga parkir juga kewalahan menghadapi kendaraan yang parkir seenaknya. Setiap harinya, pengatur parkir harus memberikan pengumuman tentang salah satu kendaraan keluarga pasien yang menutupi jalur masuk parkir di depan ATM. Malah, salah satu petugas parkir menceritakan pengalamannya ketika berhadapan dengan pengedaraan mobil Avanza plat merah yang tidak mau memindahkan kendaraanya. Pertengkaran mulut bahkan sampai ancaman terhadap petugas parkir tidak bisa dihindari.
“Kamu tunggu disini” kenang petugas parkir tentang ancaman orang tersebut untuk entah membawa teman atau akan kembali untuk “meladeni” petugas parkir, yang dibalas dengan “kami sangat senang sekali (melayani tantangan)” oleh petugas tersebut.
Kejahiliyah massif
Pada tahun 1982, James Q. Wilson, seorang akademis Amerika dan George L. Kelling, seorang ahli kriminologi dari Amerika, memperkenalkan teori Broken Window, Jendela Rusak. Sederhananya, toeri Jendela Rusak tersebut menjelaskan bahwa tindakan perusakan (tercela) rumah awalnya terjadi hanya karena sebuah jendela rusak yang tidak diperbaiki. Karena diabaikan, orang-orang yang tidak berbudi pekerti kemudian menambah kerusakan pada jendela, mencoret dan merusak dinding, menjadikannya tempat buang kotoran manusia dan sampah. Hingga akhirnya, bermula dari jendela, rumah tersebut benar-benar kacau dan sama sekali tidak layak dihuni.
Dalam pandangan Prashan Ranasinghe, seorang akademis dari Kanada, rasa takut merupakan bagian mendasar dari teori tersebut. Ketika rasa takut menghilang, maka semua jenis ketidak-teraturan akan terjadi. Ketika rasa takut terhadap hukum tidak ada, maka keteraturan sosial tidak mungkin terwujud. Atau mungkin dalam konteks masyarakat kita, karena tidak ada hukum dan hukuman, maka tidak ada rasa takut. Bagaimana mengantisipasi ketidakteraturan tersebut? Salah satu solusinya, dan yang dipercaya paling ampuh mengatasi penyakit sosial tersebut adalah control masyarakat, atau yang dikenal dengan informal social control.
Apa relevansi teori yang disandarkan pada kehidupan masyarakat Amerika tersebut dengan masyarakat Gayo saat ini? Keangkuhan, kesemberautan, tidak taat hukum dan norma, kehilangan empati, pertunjukan kelas dan stuktur sosial secara telanjang antara tukang parkir dengan pengendara mobil plat merah dan antara perawat yang merasa berkuasa dengan pasien yang terpaksa menerima setiap keputusan dan pelayanan, keluarga pasien yang merokok di samping kamar pasien, pencurian pisspot, gorden, TV dan fasilitas lainnya adalah pertunjukan arogansi dan tindakan vandalisme yang universal.
Bedanya, mungkin di Amerika hal-hal tersebut telah dikaji mulai tahun 1980an dan kemudian diantisipasi dalam bentuk kebijakan formal dan mengajak masyarakat sebagai control informalnya. Sayangnya, masyarakat kita memaklumi dan mentoleransi pertunjukan dan tindakan tersebut. Sehingga kebobrokan dan kejahiliyah massif dalam stuktur dan hubungan sosial serta dalam manajemen lembaga tidak bisa dihindari bahkan menjadi kebiasaan massif, bersama-sama melakukan pembenaran terhadap kejahiliyahan. Sehingga, berlomba-lomba untuk menjadi bodoh dan tidak teratur.
Rasa takut mungkin adalah penyebabnya. Kalau itu dianggap tidak relevan dalam konteks masyarakat kita, maka barangkali kehilangan rasa malu atau sumang, mungkin layak menjadi factor utama keboborkan sosial. Selama ini, dalam percakapan etika sehari-hari, sumang menjadi konsep tata kramah dan kesopanan utama. Anak-anak kecil diajarkan tentang sumang pelangkahan (malu dalam berjalan), sumang kenonolen (malu dalam duduk/tempat), sumang pecerakan (malu dalam berbicara), dan sumang penengonen (malu dalam melihat).
Mereka diajarkan tentang alang tolong berat berbantu (masalah dan beban dipikul bersama), yang merupakan sebagian konsep etika dan nilai sosial dasar yang harus dipahami dan dipraktekan oleh anak-anak kecil. Namun, ironisnya, hal tersebut sepertinya tidak berlaku bagi orang dewasa. Dalam praktek kesusilaan ternyata juga terdapat kelas sosial antara anak-anak dan orang tua.
Meskipun tulisan ini tidak bermaksud mengeneralisir, pemandangan di lembaga tersibuk di Aceh Tengah selama 13 hari merupakan gambaran kecil tentang stuktur dan hubungan sosial, manajemen kekeluarga dan perekrutan handai tolan di kantor-kantor pemerintahan Aceh Tengah, dan perilaku vandalisme masyarakat kita yang begitu liar tanpa rasa malu dan takut. Sehingga seperti yang sudah bisa kita lihat bersama, teori Jendela Rusak mewakili gambaran keadaan kita dan sejauh mana peradaban yang kita miliki saat ini. Kesalahan, kalau kata “kejahatan” dianggap terlalu besar, dipandang sebagai praktek yang wajar dan normal.
Lalu bagaimana menjadikan masyarakat sebagai informal social control? Ketika masyarakat/keluarga pasien juga terlibat dalam kebobrokan massif tersebut, menjadikan mereka sebagai informal social control memang terlihat menjadi rumit. Namun, dalam sebuah lembaga besar sudah seharusnya melibatkan masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan. Salah satunya dengan membentuk Devisi Monitoring and Evaluation, atau yang lebih dikenal dengan monev. Devisi Monev melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja seluruh karyawan. Memeriksa laporan dan meninjau capaian setiap karyawan secara teratur. Punishment and reward (hukuman dan ganjaran) tentu diterapkan. Namun, ini sulit dilaksanakan bila sebuah lembaga dihuni oleh “beberapa keluarga”. System kekerabatan, sikap toleransi masyarakat timur, dan surat sakti para elit membuat monev kesulitan meraih capaian tertingginya hingga pada pasca menerapan punishment and reward. Hanya pimpinan yang tidak takut akan kehilangan jabatan yang berani melakukannya.
Hal penting lainnya, Monev juga menampung setiap laporan dari pasien dan keluarga pasien. Setiap laporan adalah masukan berharga yang layak untuk ditindaklanjuti. Informasi-informasi dari mereka sebagai objek RSU merupakan informasi penting dan jujur meskipun mungkin laporan mereka terlihat tidak berkualitas.
Kotak saran dan laporan, yang hanya bisa dibuka oleh bagian monev atau unsur pimpinan, seharusnya jumlahnya lebih banyak daripada kotak-kotak amal pembangunan masjid di RSU tersebut.
Semoga dengan semakin banyak mendengar dan berbuat, kualitas rumah sakit kebanggaan masyarakat Gayo semakin meningkat dan benar-benar layak mendapatkan Akreditasi Paripurna dari Kemenkes RI dan memenuhi standard internasional.[]
*Perantau Gayo yang pulang kampung